Rss Feed

Someday You'll Look Back and Smile... (A Tribute to SMUN 10 Melati)

  
 
Pernahkah kamu mengenang masa lalu hingga tersenyum-senyum simpul?


Saya sering. Nyatanya, saat ini pun saya tengah melakukannya. Memutar roll memori dan merasa bahagia hanya dengan mengingatnya. Dan saya menemukan, bahwa kenangan pahit pun bisa jadi begitu menyenangkan dan bermakna, saat dilihat dari belakang.

Dulu, 10 tahun lalu (yeah it's been that long!), saya masuk ke SMA yang menerapkan sistem semi-militer boarding school. Saya menetap di asrama dengan segala rutinitas dan aturannya yang begitu menyiksa. Jam 5 subuh sudah bangun untuk senam pagi. Lanjut sarapan, apel pagi, sekolah pagi, makan siang, sekolah siang, apel sore, olahraga sore, kegiatan keagamaan sore, makan malam, sekolah malam, apel malam. 

Dulu, asrama ini neraka buat saya. Tak sedetik pun saya lewatkan tanpa berpikir bagaimana caranya bisa kabur tanpa sepengetahuan pak TNI yang berjaga. Tak sedetik pun saya tak menyesali keputusan masuk ke sekolah jenis ini. Sebagai anak muda yang mengedepankan kebebasan, hidup rasanya seperti dirampas kenikmatannya (seddaaaap..).

Saya ingat, dulu ada momok mengerikan yang namanya Pendadakan. Adalah seperti namanya, kami mendadak dibangunkan tengah malam buta dengan lonceng, dan dikumpulkan di tengah lapangan. Biasanya terjadi bila senior menganggap ada kesalahan besar yang telah kami perbuat. Semalaman itu kami akan dihujani caci maki, dimarahi, diteriaki, dan tentu tak lupa bumbu-bumbunya: push up, jalan jongkok, dan merangkak.

Itu belum lagi termasuk siksaan setiap hari, dimana bila kami ke sekolah setiap pagi, akan ada anggota TNI dan Pengasuhan yang mengecek ke kamar. Seyogyanya kamar (yang diisi berempat dengan bunkbed model di penjara) harus selalu rapi, seprei terpasang kencang, tidak ada sampah, pakaian terlipat sesuai ketentuan, tak ada kotoran dan debu sedikitpun, teras disapu bersih, dan capstock cucian disusun rapi. Baju harus dilipat 16cm, ditata berdasarkan warna gelap ke terang. Kalau ditemukan sedikiiit saja cela, pak TNI akan dengan senang hati menyuruh kami lari keliling lapangan, terkadang dengan bonus membawa barang bukti di TKP. Jadi, jangan heran kalau di sore hari yang indah melihat gadis manis sedang jogging sambil menyeret kasur, haha..

Ulah Para Pria

Singing on the Farewell Party

Dalam Seragam Kebangsaan

Basah Kuyup Setelah Dibantai :)

Tidur Di Kelas Adalah Hobi Saya

Karena jauh dari keluarga, disini kami memiliki keluarga replika yang tak kalah dekatnya dan menariknya. Masing-masing kami punya kakak dan adik asuh yang kepopulerannya disini mengalahkan pemilihan Miss Universe. Karena tinggal di asrama, pacaran pun punya aturannya sendiri. Mojok cuma boleh dilakukan di pojok-pojok yang direstui, seperti di bawah lonceng, di pojok kantor pengasuhan, di ruang makan, di depan warung kecil di bawah tangga, atau sambil lari sore.

Jika kalian pernah melihat para tahanan makan di penjara, persis begitulah cara kami makan. Makan dengan ompreng, susu cair, dan ayam goreng yang kadang-kadang masih berbulu. Waktu masih kelas 1 paling sial karena masuk ruang makan selalu paling bontot sehingga selalu dapet ompreng sisa yang lauknya bokong ayam. Kalau hari Jumat waktunya makan bersama keluarga asuh. Kalau ada yang ulang tahun, dimejanya ditumpukin ompreng sampai tinggi.

Belajar Malam
Kamar Penuh Kenangan
Kegiatan Keagamaan Setiap Sore

Dining Hall

Wong Pitoe - Wanita Kelas Accel
...

Tapi, menengok kembali ke masa itu, tak pernah gagal membuat saya tersenyum, bahkan terbahak-bahak sekalipun. Reuni bersama kawan SMA pun tak pernah sunyi dan lepas dari nostalgia-nostalgia penuh kegilaan ini. Masa-masa itu ternyata memberi kenangan yang sangat berbekas di ingatan. Dan heyy, bahkan masa-masa terpahit saat itu selalu menjadi momen yang lucu bila diingat kembali. Tak pernah sekalipun kami berpikir betapa menderitanya kami kala itu, yang ada adalah betapa menggelikan, betapa tak terlupakan semua momen yang kami lewati.

2 Years Later - Gilagilaan di Jatos

4 Years Later - Pose Favorit with Besties

6 Years Later - Acara Favorit Bersama: Karoke!
10 Years Later - Reuni Besar

Satu petuah menarik dari (Alm) Steve Jobs yang selalu saya ingat adalah tentang bagaimana kita connecting the dots:
“You can't connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something — your gut, destiny, life, karma, whatever. This approach has never let me down, and it has made all the difference in my life”

Connecting the Dots

Mengingat kembali ke masa-masa itu, akan membuat kita menyadari, bahwa seberat dan sesakit apapun, perjalanan itulah yang menjadikan diri kita seperti saat ini. Duri-duri itulah yang menempa dan membentuk kita.

Jadi lain kali, saat Anda merasa hidup sedang sangat tak bersahabat, ingatlah. Ingatlah, bahwa someday you’ll look back. No matter how hard it was, no matter how painful it was. Someday you’ll look back and smile.
 
   

NB: Didekasikan untuk kawan-kawan terbaikku yang pernah senasib seperjuangan di asrama. Really miss those old times, buddies :) 

  
      
  

That's It, I Quit!

  
Hari ini sebulan saya bekerja di divisi yang baru.

Yup, setelah 3.5 tahun bekerja sebelumnya di divisi X (berasa kayak cerita di rubrik Oh Mama Oh Papa, hihihi), saya akhirnya memutuskan untuk angkat kaki dan mencoba peruntungan di tempat baru. Tak ada asap bila tak ada api. Tak ada hujan bila tak ada awan. Tak ada reaksi bila tak ada aksi. Cukup lama saya memantapkan tekad, tapi berbekal niat mengikuti hati nurani, saya yakin insya Allah akan dituntun ke jalan yang lebih baik. Amin.


Sudah sejak lama saya mengendus ketidakberesan di dept saya itu. Beberapa hal mengganggu dalam skala yang bisa diabaikan. Beberapa hal bisa ditolerir. Tapi beberapa hal lain terasa makin lama makin menyesakkan dada. Saya tahu dan sangat sadar, bahwasanya tempat kerja yang ideal nyaris mustahil adanya. Dan dengan kesadaran tersebut, saya mulai mereka ulang, menelaah kembali, baik dan buruk, untung dan rugi.

Mari mengingat yang baik dulu.

Saya pertama kali bekerja disini. Bahkan sudah bekerja di tempat ini 3 bulan sebelum saya lulus. Sebagai fresh gradĂșate yang zero experience, saya belajar segalanya disini. Selain belajar tentang pekerjaan, juga tentang dinamika dunia kerja. Dan yang saya maksud belajar, adalah betul-betul belajar. Maklum, saya kuliah di industrial engineering dan terjun sebagai scheduler konstruksi. Saya belajar dari nol, hingga saya yakin now I’m pretty expert at it! Jadi saya tidak akan lupa baiknya orang-orang disini dalam mengajari saya dari awal hingga akhirnya saya bisa berjalan sendiri. Juga pada betapa sabarnya mereka dalam mencontohkan, memberitahu, dan berbagi ilmu.

Lalu pada kawan-kawan yang saya temui disini. Some of them became the best friends of my life. Saya punya sekumpulan teman-teman menyenangkan yang selalu berbagi bersama, dengan rasa kekeluargaan yang luar biasa. Meninggalkan mereka pasti berat, tapi saya meyakini kawan sejati tercipta bukan karena jarak, sehingga tak akan putus karena jarak. Benar begitu?

Saya juga punya bos paling baik sedunia! Bos yang sangat mengerti karakteristik dan potensi saya. Yang meskipun kadang-kadang terlampau cerewet mengingatkan, tapi saya tahu dia melakukannya dengan tulus demi saya. Yang meskipun rajin menyindir, tapi tak pernah benar-benar menyalahkan. Yang meskipun sering ngedumel karena kenakalan saya, tapi tak pernah men-judge nilai manusia dari luarnya saja. Yang sadar betul bahwa adalah prestasi dan performansi saya yang harusnya dinilai, bukan dari pandangan dangkal dan stereotyping. Yang paham bahwa saya ini insomnia akut, dan akhirnya maklum kalau saya kadang-kadang terlambat, tapi selama pekerjaan saya selesai dengan baik, tidak pernah complain. Yah, bos seperti ini layaknya seperti permata, saya tak pernah tahu apakah di masa nanti akan dapat menemui atasan yang jauh lebih pengertian lagi.


Nah, mari kita mulai berjustifikasi...

Kalau ada kerjaan dengan pressure paling besar, tapi dengan reward yang paling menyedihkan, itu mungkin pekerjaan saya. Kalau ada pekerjaan dimana satu frontliner memegang sendirian puluhan project dari skala besar sampai ecek-ecek, itu mungkin yang saya kerjakan. Mungkin bagi mereka yang bekerja dengan prinsip “kerja sesuai basic” gak akan sepusing saya mungkin ya. Tapi saya terlahir dari sananya dengan kromosom sifat yang bernama perfeksionis. So here I am, mempelototi drawing sampai pusing, berdiskusi, belajar, cek lapangan, dan bertengkar dengan konstruksi, semua demi schedule dan eksekusi proyek yang sempurna. And I’m not bluffing, this is much appreciated by all the parties I’m working with, but apparently not so to my bosses. Sesukses apapun proyek yang saya pegang, sesempurna apapun schedule yang saya terapkan, yang saya dapatkan justru hanya cibiran. Tanya kenapa?

Hal berikutnya mungkin umum terjadi di perusahaan lain, tapi entahlah saya rasa praktiknya di tempat saya bekerja agak sedikit berlebihan. Nepotisme parah. Disini, kalian mungkin tak akan terkejut lagi mengetahui bahwa si A adalah keponakan si manajer. Lalu si B dan si C adalah ipar si A. Si B ternyata bersaudara dengan si D. Dan Si D ini adalah sepupu si E. Semua orang nampak berbondong-bondong memasukkan keluarganya ke divisi. Saya basically tidak mengatakan bahwa mereka tak boleh merekrut anggota keluarga mereka. In fact, mereka boleh merekrut satu RT sekalian, I really don’t mind. Yang penting, sekali lagi, yang terpenting adalah, tetap objektif saat menilai performansi mereka. Saya tak pernah keberatan mereka membantu keluarganya mencari mata pencaharian, tapi bekerjalah secara professional. Di tempat saya dulu, ada bonus tahunan $5.000 yang diberikan pada mereka dengan performansi kerja yang anggaplah, beyond outstanding. Nyatanya, bonus itu digilir pada anggota keluarga sang manager, yang sejujurnya, nyaris tak memberi sumbangsih (sigh).

Hal mengerikan lain yang saya temukan selama bekerja di tempat yang lama adalah mereka yang hobinya menusuk dari belakang. Mereka ini, tipe-tipe manusia yang paling saya benci di seantero jagad raya ini. Kata orang bijak, di setiap kantor akan selalu ada manusia yang penjilat boss dan penusuk rekannya. Tapi kadar disini menurut saya, dari pengalaman yang saya rasakan sendiri, sungguh kelewat batas. Adalah bos saya yang pertama, yang dulu saya kira sungguh baik dan peduli. Sampai suatu ketika, semua terkuak dengan indahnya. Ceritanya adalah ketika saya tak kunjung dipermanen, padahal sepertinya performansi saya tidak mengecewakan. Datanglah saya pada pak bos ini menanyakan musababnya, dan beliau meyakinkan saya bahwa dia sudah berusaha mati-matian agar saya dipermanen, tapi sang manager yang belum membolehkan dengan alasan attitude. Saya bahkan dibuatnya percaya bahwa pak manager-lah yang sepertinya agak tidak suka pada saya. Tidak mau berburuk sangka, saya menghadap pak manager, bertanya ada masalah apa yang membuat saya tak kunjung dipermanen hingga sekarang. Jawaban manager saya itu, membuat saya shock. Beliau berkata bahwa sudah dari dulu beliau berniat mempermanenkan saya, tapi bos saya sendiri yang memberi kesaksian bahwa saya belum patut dipermanen. Damn damn damn, seketika itu juga semua kebaikan dan manis kata si bos yang sok peduli itu terlihat benar-benar palsu. Beberapa waktu kemudian, saya baru mengetahui bahwa si bos ternyata memang tak pernah suka pada saya, khususnya melihat performansi saya yang somehow dianggapnya melampaui beliau. Di titik itu pula, saya berjanji untuk tak percaya pada siapapun lagi di dunia kerja ini.

Sebagai seorang anak TI yang baik, saya selalu yakin, customer success adalah (harusnya) key value perusahaan manapun yang bergerak di bidang manapun. Dan bekerja di divisi yang tidak mengedepankan hal ini membuat saya frustasi. Saya percaya bahwa kepuasan client adalah juga kepuasan kami sebagai provider jasa, sedangkan iklim bekerja disini menekankan bahwa selagi kita satu-satunya penyedia jasa sejenis, maka biarkan customer yang mencari kita. Kadang-kadang point of view ini berusaha saya luruskan lewat percakapan sehari-hari, tapi kalau tidak digagas dan dibiasakan sebagai budaya divisi, memang sepertinya agak susah. Yang lebih menakutkan adalah kalau kebiasaan ini turut mendarah daging menulari saya, better kick my ass out of here a.s.a.p!


But anyway, there’s always priority in life. Untuk beberapa kawan lain, prioritas itu mungkin merenda hidup baru dalam rumah tangga, mungkin merawat ibunda tercinta di luar kota, mungkin mencari penghasilan yang lebih menjanjikan. Bagi saya, prioritas itu adalah my own life values. Hal-hal yang saya anggap prinsip hidup, pilar utama, dan kebutuhan hakiki saya. Dalam hal ini, saya bekerja tidak semata untuk uang. Adalah aktualisasi dan pengembangan diri yang membuat saya passionate dalam bekerja. Oleh sebab itu bekerja di lingkungan yang tidak mengerti rewards and appreciation ibarat berjalan di atas duri. Tidak mustahil dilakukan, tapi pasti menyakitkan. Seorang kawan baik pernah berkata ‘Kerjalah di tempat yang bisa menghargai prestasi dan potensimu’, dan yeah inilah yang akan saya pegang.



Saya selalu ingat petuah yang sangat membekas dari Alm. Steve Jobs yang suatu ketika berkata:
"Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice. And, most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary"
Maka, here I am, mencoba peruntungan di tempat baru, di tempat yang sama sekali asing dan baru. Dan saya siap belajar lagi, siap beradaptasi lagi, siap melangkah lagi, dan siap mengaktualisasi diri lagi. Kali ini, semoga semua prestasi ini dihargai…



  

Rasa Keadilan - Freeport case

  
Disclaimer:

Sejak Juli 2009, telah terjadi penembakan misterius terhadap karyawan Freeport Indonesia. Semenjak itu, jalan utama yang menghubungkan Highland, Tembagapura dan Lowland, Timika – ditutup dan tambahan personel keamanan dikerahkan.  
6 Agustus 2011, sejumlah karyawan yang mengatasnamakan serikat pekerja berunjukrasa dan melakukan mogok kerja dengan tuntutan menaikkan upah karyawan, atas dasar keadilan dengan site Freeport lainnya di dunia. Karyawan ini merasa tidak ada keadilan karena sebagai site Freeport yang paling besar, paling menguntungkan, dan medan kerjanya paling berbahaya, mereka justru menerima upah paling sedikit. Para pekerja akhirnya terbagi menjadi 2 kubu: yang mogok atau pro serikat dan yang terus bekerja atau pro manajemen. 
Mogok kerja ini terus berlangsung hingga saat ini, dan dalam perjalanannya juga turut merenggut total 11 nyawa dan 41 cidera, baik saat bentrok dengan petugas keamanan maupun mereka yang ditembak secara misterius. Para karyawan yang masih terus bekerja kini dihinggapi rasa takut. Komisi IX DPR yang mengurusi ketenagakerjaan lalu melakukan kunjungan ke Papua dan menggelar temu bicara dengan ketiga pihak: serikat pekerja, masyarakat Tembagapura, dan management Freeport Indonesia. 

Tuntutan Pekerja Freeport -taken from detik.com

Merinding. Cuma satu kata itu yang pantas menggambarkan yang saya rasakan saat menghadiri pertemuan tersebut. Betapa temu bicara itu telah menjadi arena menumpahkan segala uneg-uneg, menyuarakan ketakutan yang pekerja dan keluarganya yang tinggal di site rasakan. Dan ketakutan itu telah menjadi begitu akutnya, hingga yang keluar bukan lagi sekedar tuntutan dan permohonan, tapi telah menjadi kemarahan. Lelah atas situasi yang tak kunjung membaik, frustasi karena ketidakpedulian pemerintah.

Dan mereka yang sudah diliputi sinisme ini tak lagi bisa mengontrol kata-katanya. Aku mencatat beberapa komentar yang begitu ajaib dan begitu membekas. Pekerja tambang yang tangguh berbicara tanpa tedeng aling-aling, dengan suara menggelegar mempertanyakan pajak yang dipotong begitu besarnya dari penghasilan mereka, yang tak menghasilkan apa-apa, pun jaminan keselamatan mereka sendiri. Para ibu yang sentimentil, berkisah dengan dramatis, sebagian sambil berpuisi, sebagian bahkan sampai meneteskan air mata, bercerita bagaimana was-wasnya mereka setiap hari menanti para suami pulang, bagaimana ngerinya membayangkan kelangkaan supply makanan karena container yang terus dibakar. Putra daerah asli Papua, yang dengan tajamnya mempertanyakan kedatangan para anggota komisi itu, yang disebut hanya omong kosong dan tak pernah menyelesaikan masalah.

Tanggapan DPR yang hanya berkisar pada akan membawa masalah ini lebih lanjut ke komisi III DPR yang mengurus masalah keamanan, hanya membuat suasana lebih keruh. Beberapa mempertanyakan, mengapa kasus penembakan sejak 2009 tak kunjung juga dikuak. Densus 88 yang di TV nampak seperti pahlawan-pahlawan penumpas kejahatan dan penangkap teroris jitu itu, nyatanya hanya mondar-mandir tanpa hasil di sini. Yang lain berkomentar tentang DPR yang baru datang setelah sekian nyawa hilang. Tapi komentar favorit saya adalah dari seorang pekerja maintenance yang berkata bahwa kami tak perlu semua retorika dan keindahan tutur kata para anggota komisi ini, betapa jawaban mereka akan meneruskan masalah ini ke presiden, sungguh tak lebih bijaksana dibanding tukang ojek. Juara!

Dari pengamatan saya, pekerja dan kalangan keluarga dan komunitas yang hadir sore itu, sebagian besar mendukung manajemen. Mereka juga mengemukakan bahwa jumlah pekerja yang mogok dan yang terus bekerja adalah 4ribu banding 18ribu karyawan, sehingga jelas siapa yang harusnya dipentingkan dalam kasus ini. Dan bahwa pemberitaan media telah menganakemaskan pihak serikat, dan menjatuhkan perusahaan yang sebenarnya sudah sangat beritikad baik.



Aksi Unjuk Rasa dengan Konvoy ke Lowland -taken from halo nusantara
 
Hingga terjadilah satu hal yang sangat saya sesalkan. Seorang ibu yang di akhir acara tetap ngotot ingin berbicara mengungkapkan, bahwa ia adalah istri seorang pekerja serikat yang ikut dalam pemogokan. Beliau menggarisbawahi bahwa, terlepas dari jumlah pemogok yang lebih sedikit, bukan berarti bahwa hak mereka bisa diabaikan. Bahwa bila dikatakan banyak pemogok yang mengintimidasi mereka yang ingin bekerja, banyak pula pihak manajemen yang melakukan intimidasi terhadap para pemogok. Seketika, sang ibu ini nampak menjadi pihak oportunis yang dimusuhi semua peserta acara, diejek, dan di-huuuuuuu.

Dan demikianlah yang selalu saya khawatirkan. Saat rasa ketakutan yang demikian besar itu akhirnya membuat mereka menyalahkan apa yang bisa disalahkan. Berpikir pendek dan merasa karena mereka mayoritas, berarti merekalah yang harus diprioritaskan. Seketika menghakimi bahwa kaum serikatlah biang keladi dari semua rentetan malapetaka ini. Saya sepakat untuk mengusut tuntas akar dari semua permasalahan ini, menangkap dan menindak mereka yang memang terbukti melakukan penyelewengan dan kekerasan. Tapi saya sama sekali tidak sepakat untuk langsung menyalahkan serikat sebagai pihak yang bertanggung jawab di sini.

Heyy, tiap orang punya rasa keadilan yang berbeda-beda. Yang tak bisa kita samakan, juga dipaksakan. Dan rasa keadilan itu tak ada hubungannya dengan jumlah, maka mari jangan bermain dengan angka-angka. Oleh sebab itu, selain atas dasar ketuhanan, tak ada rasa keadilan yang sifatnya absolute; yang mungkin hanyalah mengkompromikan rasa keadilan dari pihak yang bertentangan. Tapi yang pasti, setiap orang berhak memperjuangkan nilai keadilan mereka.

Mungkin bagi mereka yang tidak turut merasakan keadaan disini tak akan mampu betul-betul berempati, maka mari kita analogikan secara lebih ringan. Coba bayangkan sebuah keluarga dengan dua anak, dimana si sulung diberikan uang jajan yang lebih banyak dari si bungsu. Perhatikan rasa keadilan yang dimiliki keduanya. Jika anda jadi si sulung, mungkin anda merasa keadilan sudah terpenuhi di situ, dengan alasan anda tentu butuh lebih banyak uang untuk kebutuhan lain dibanding adik anda. Tapi kalau anda jadi si bungsu, apakah anda masih merasa rasa keadilan terpenuhi di situ? Anda pasti berpikir bahwa orangtua anda telah berlaku tidak adil karena membeda-bedakan perlakuan mereka dengan sang kakak. See? Rasa keadilan ini adalah menyangkut objektivitas personal, mustahil membuatnya sama rata.

Dan tahukah anda, bahwa manajemen menyediakan insentif 200ribu hingga 1 juta perhari untuk mereka yang tetap bekerja dan membantu produksi selama mogok berlangsung? Jika para anggota serikat ini sampai melewatkan kesempatan untuk memperoleh upah 1jt perhari, maka tentulah apa yang tengah mereka perjuangkan itu begitu pentingnya bagi mereka, jauh lebih penting melebihi pundit-pundi itu. Mari kita berandai-andai lagi. Kalau misalnya perjuangan mereka dalam menuntut kenaikan upah itu suatu saat terkabulkan, apakah kita yang pro manajemen ini akan dengan tegas menolaknya? Atau tanpa banyak bicara justru ikut menikmatinya?

Saya rasa, masing-masing kita tidak berhak menghakimi satu sama lain. Biarlah kita mencari dan membela keyakinan atas rasa keadilan masing-masing. Yang seharusnya kita perjuangkan, adalah menciptakan situasi yang kondusif untuk proses kompromi itu. Kebenaran hakiki mungkin mustahil diperlihatkan, tapi pasti bisa diusahakan. Pelaku penembakan, pembakaran, tindak anarkis, dan provokasi, itulah yang harus diciduk. Mereka yang berjuang dengan nurani dan kepercayaan masing-masing, mari kita hargai sebagai saudara kita yang tengah tergugat rasa keadilannya, tidak lebih dari itu. 
    

Demo Buruh Freeport -taken from monitor indonesia

Dan well, hingga mulut berbusa dan sindiran-sindiran tak kunjung henti, toh semuanya hanya sampai di situ saja. Satu-persatu kami meninggalkan community hall hanya dengan kelegaan telah menceritakan, dan bukannya ketenangan karena masalah terselesaikan. Akankah semua yang kami curahkan ditindaklanjuti, atau hanya menjadi sebuah acara kunjungan tak berbekas, let’s see…

 
  

Karimunjawa, Surga Bahari

  
Liburan bulan July kemarin, karena cerita seorang teman, saya jadi tertarik untuk menjajal wisata bahari di Kepulauan Karimunjawa. Dan inilah catatan perjalanan yang saya buat (butuh waktu 3 bulan melawan kemalasan untuk mendokumentasikannya, hehehe). Semoga bisa menambah referensi itinerary kalian...


Karimunjawa adalah gugusan pulau yang berada di Jawa Tengah, yang bisa ditempuh dengan menyeberang lewat ferry dari pelabuhan Kartini, Jepara. Perjalanan kami kesini dimulai dengan menumpang bis malam dari Bogor ke Jepara yang ditempuh dalam 12-14 jam (dijamin berhasil membuat pantat langsung kempes, haha). Jepara dan Karimunjawa dipisahkan oleh selat yang hanya bisa diseberangi dengan menumpang kapal ferry yang berangkat sekali sehari Jepara-Karimunjawa dan Karimunjawa-Jepara keesokannya. Ini berarti kalau mau kesini, pastikan sudah mengecek jadwal keberangkatan ferry supaya tidak salah hari. Alternatif lain menuju Karimunjawa adalah dengan menggunakan kapal cepat yang berangkat dari Semarang, tapi hanya berangkat sekali seminggu.

Peta Kepulauan Karimunjawa

Sungguh nasib sedang sial karena saat kami berlibur ke Karimunjawa bertepatan dengan libur anak sekolah, jadi bisa dipastikan pengunjung sedang banyak-banyaknya. Walhasil, kami tidak kebagian tiket ferry, bersama puluhan pengunjung lainnya. Walaupun pihak ferry berjanji akan ada keberangkatan tambahan esok harinya, tetap saja membuat kami harus menginap di Jepara selama semalam.

Kapal Ferry Muria - full loaded

Menginap di Jepara, meskipun tak masuk ke dalam rencana awal liburan, kami anggap sebagai bonus travelling. Setelah memilih penginapan terdekat dari pelabuhan Kartini, malamnya kami hanya jalan-jalan ke pusat kota. Jepara, seperti yang sudah terkenal, memang menumpukan kehidupan bisnisnya di bidang ukiran furniture dari kayu. Bisa dilihat dari berbagai shop dan toko kerajinan ukiran kayu yang tumpah ruah di sepanjang jalan, dari yang skala rumahan sampai yang skala megah. Disini alat transportasi utamanya adalah dengan becak, yang sangat nyaman memang, tapi selalu membuat saya tak tega pada sang bapak pengayuhnya, hehehe.

Abang Tukang Becak

Tapi yang menarik dari Jepara, adalah kota ini surprisingly bersih, di atas rata-rata kota lain pada umumnya. Di jalan-jalan utama dan di public space-nya disediakan tong sampah untuk 2 jenis sampah, jadi sepertinya penduduk disini sudah dibiasakan untuk membuang dan memilah sampah secara baik dan benar. Hal lain yang menarik adalah ketersediaan trotoar yang sangat memuaskan untuk skala kota kecil. Karena kelelahan, kami hanya sempat jalan-jalan malam harinya untuk mencari makan malam yang enak di pusat kota. Disana kami mencicipi ayam dan tempe penyet yang rasanya masih sangat original, tipe makanan yang sangat saya sukai. Setelah itu kami hanya duduk-duduk di alun-alun kota menikmati malam, dan pulang karena esok paginya perjalanan panjang sudah menanti.

Tugu Pancasila
Alun-alun Kota Jepara

Hari ini peruntungan kami lebih baik, karena tiket ferry sudah ditangan. Tapi perjalanan panjang yang sesungguhnya adalah di ferry itu sendiri, karena perjalanan ini akan memakan waktu kurang lebih 6 jam, dimana bila ombak sedang besar, akan sukses mengombang-ambingkan dan membuat kita mabuk laut. Saran saya, bila duit mencukupi, sebaiknya book tempat duduk di ruangan VIP yang tempat duduknya lebih manusiawi. Karena di ruangan VIP ini saja saya sudah cukup mabuk laut, apalagi di kelas ekonomi yang tempat duduknya hanya dari kursi plastik keras. Ferry berangkat jam 9 pagi dan kami tiba di pelabuhan Karimunjawa jam 3 sore. 

Dermaga Karimunjawa

Tiba di pelabuhan Karimunjawa, kami disambut travel organizer kami, dan diajak berkumpul dengan rekan se-trip lainnya. Kami diberi penjelasan singkat tentang denah perjalanan kami dalam 2 hari kedepan, yang kurang lebih terdiri dari 2 bagian: menjelajahi Karimunjawa dari bagian barat dan dari timur. Setelah itu kami diantar ke penginapan masing-masing. Ada beberapa hotel besar di Karimunjawa: Escape, Dewadaru, dan Nirwana Lodge. Selebihnya adalah homestay-homestay yang jauh lebih murah. Karena travel organizer kami ini lebih bersifat backpacking, maka kami diinapkan di homestay, selain lebih murah juga agar lebih menyatu dengan penduduk disana.

Welcome to Karimunjawa!

Hal unik lainnya tentang Karimunjawa adalah disini listrik hanya nyala jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Pagi dan siang hari, tidak ada listrik sama sekali. Bahkan untuk mandi, kami diberi lampu portable yang menggunakan baterai, jadi seperti mandi remang-remang, hihi. Oleh sebab itu kalau mau bepergian seharian, pastikan jangan sampai lupa untuk mem-full-charge semua equipment dan alat komunikasi malam harinya. Dan tidak seperti resort besar lainnya dimana semua fasilitas dan tourist centre sudah lengkap, disini relatif masih belum berkembang. Oleh sebab itu, cobalah untuk bergaul lebih akrab dengan hostess anda, karena mereka bisa memberikan petunjuk dan bahkan bantuan yang kita butuhkan. Hostess saya misalnya, bersedia mencucikan baju dan wetsuit kami (dengan biaya tambahan tentunya), agar bisa dipakai lagi esok harinya. Karakteristik penduduk asli Karimunjawa memang sangat menyenangkan, ramah, bersahaja, humoris, tidak sungkan membantu, dan sangat terbuka pada pendatang. Jadi jangan sungkan untuk merengkuh mereka juga layaknya keluarga.

Rumah Adat Asli Karimunjawa

Sebagai pengisi acara sore itu, kami dibawa ke pantai Nirwana, yang sebenarnya merupakan private beach dari Nirwana Lodge, hotel nomor satu di Karimunjawa. Pantainya bersih dan indah, dengan jejeran pohon kelapa di sepanjang garis pantainya. Di sini kami hanya duduk dan jalan-jalan di tepi pantai, dan belum sempat menikmati sunset-nya karena sayangnya keburu hujan deras.

Nirwana Beach

Acara pertama kami di malam pertama adalah makan malam dan perkenalan dengan yang lain. Menu kami hari itu adalah ikan bakar dan pesta seafood, yang dimakan dengan lesehan dan sangat merakyat, dan dilanjutkan dengan acara perkenalan. Selain berkenalan dengan travel organizer kami, tentunya juga berkenalan dengan rekan-rekan seperjalanan kami. Cukup beragam orang-orangnya, total sekitar 20 orang, bahkan ada yang sedang honeymoon rupanya!

Ikan Bakar Segar

Malam pertama adalah waktunya acara bebas. Daripada ngendon di kamar, kami memutuskan untuk menjajal satu-satunya cafe di Karimunjawa, yang namanya Amore CafĂ©. Konon, cafĂ© ini milik orang besar. Dan rupanya, cafĂ© ini sama sekali tidak mengecewakan, benar-benar nyaman, nampak sekali dibangun dengan cita rasa tinggi. Nampak sangat biasa dari luar, tapi sangat mengejutkan setelah berada di dalam. Kita bisa bersantai di sofĂĄ-sofanya yang besar dan empuk (yang beberapa bahkan nyaris sebesar kasur, hahaha). Lokasinya pun sangat strategis karena langsung menghadap laut. Bangunannya berbentuk Joglo dan furniturenya bergaya Jepara. Ada juga beberapa mainan tradisional yang bisa dimainkan seperti congklak dan banyaaaaak pajangan barang antik. Di malam hari seperti saat kami datang, kita juga bisa melihat pemandangan perahu-perahu yang bersandar di pantai dan menikmati angin laut yang segar sambil menyantap makanan.

Amore Cafe

Esoknya kami bangun dengan segar bugar dan siap melaut! Sampai di dermaga wisata sekitar jam8, kami bersiap-siap menggunakan jaket pelampung dan naik ke kapal. Ada dua jalur yang akan kami tempuh dalam 2 hari, dan karena hari itu jalur timur anginnya sedang kencang, maka diputuskan untuk mengambil jalur barat terlebih dahulu. Seperti biasa, saya mengambil tempat duduk di anjungan kapal paling depan. Perjalanan ke pulau pertama makan waktu sekitar 2 jam. Angin bertiup agak kencang sehingga tempias air laut menerpa kami dengan segarnya. Kesan pertama saya saat melihat lautan Karimunjawa adalah lautnya yang sangat biru. Biru yang benar-benar biru. Biru yang menenangkan. Biru yang menakjubkan. I've seen most of the seas, dan tak pernah menemukan lautan biru yang secantik ini.

See, how blue is it?
Siap Nyebur!

Setelah kurang lebih 2 jam, kami tiba di spot snorkeling pertama kami di Pulau Menjangan Kecil. Kurang lebih visibility-nya level moderate, cukup jernih meskipun masih standar. Ikannya cukup banyak, tapi jenisnya tidak terlalu beragam. Di beberapa titik terdapat banyak spot dimana coral sangat dekat dengan permukaan air, jadi hati-hati terkena goresannya. Rupanya banyak teman-teman yang baru pertama kali snorkeling, tapi tidak perlu khawatir karena akan dipandu oleh para pemandu kami. Pemandu disini semuanya penduduk asli Karimunjawa, jadi mereka sangat mengenal lokasi.

Me Snorkeling
Free Dive

Setelah sekitar 2 jam snorkeling dan lelah luar biasa (eitsss jangan salah, snorkeling itu melelahkan loohhh, apalagi yang berenang manual tanpa pelampung). Waktunya makan siang, dan kapal melanjutkan perjalanan ke pulau berikutnya yaitu pulau Geliang. Pulau ini,,, indescribably beautiful. Pulau kecil tak berpenghuni yang luar biasa indahnya. Pasirnya putiihh dan sangat lembut. Lautnya hijau tosca berkilauan terkena sinar matahari. Para pemandu kami yang berjumlah sekitar 5 orang lalu menggelar tikar dan membuka bekal berbagai jenis ikan laut. Kami menyiapkan panggangan lalu beramai-ramai bakar ikan. Sungguh makan siang yang nikmaaaat. Beres makan siang, kami bersantai sebentar sambil menurunkan makanan di perut. Waktu melihat ada penjual es kelapa dan rumput laut, kami pun tak urung memesan. Dengan perut kenyang, bersandar di pohon, kaki diselonjorkan, menghisap rokok dalam-dalam, dan es kelapa rumput laut dingin,,, itulah yang saya sebut surga dunia!

Lovely, Isn't It?
Super Tanning!
Sudut Indah Pulau Geliang

Setelah dirasa cukup untuk beristirahat, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Pulau Menjangan Besar. Di sini ada beberapa lokasi penangkaran antara lain untuk hiu, penyu, dan elang, tapi karena sudah agak sore kami langsung menuju Penangkaran Hiu. Di sini kita bisa langsung turun ke kolam dengan ukuran sekitar 10x10m, dengan air setinggi perut, dan berenang dengan hiu-hiu lucu ini. Ya, hiunya sama sekali tidak mengerikan, hiu-hiu mini yang relatif tidak berbahaya dan bisa diajak berfoto! Di kolam ini juga ada banyak bintang laut beraneka warna, ada yang kurus panjang dan ada juga yang gemuk seperti Patrick-nya Spongebob, hihi.

Hiu Pari yang Unyu, hahaha
Me, Surrounded by These Cutes Sharks

Setelah puas bermain-main dengan hiu-hiu lucu ini, kami kembali pulang ke dermaga wisata. Waktu sudah hampir maghrib saat kami tiba, dan saya pun duduk di jembatan dermaga dan menyaksikan sunset saat semburat jingga melayang sedikit demi sedikit dari balik laut, bersamaan dengan datangnya kapal-kapal yang berlabuh dan bersandar di dermaga. Di dekat dermaga ada alun-alun, berupa sebuah lapangan bola luas yang dipakai warganya dan para pengunjung untuk bersantai setiap malamnya. Di pinggir lapangan bola ini, penduduk setempat memasang gerobak tenda mereka dan berjualan aneka makanan dengan harga yang sangat bersahabat. Kita bisa makan di tenda atau lesehan di atas tikar. Saya mencoba hampir semua gerobak yang ada, dan jatuh cinta pada mie ayam ala Jawa-nya yang super enak. Bumbunya jauh berbeda dengan mie ayam ala Sunda, tapi justru lebih enak!

Sunset di Dermaga Wisata

Malamnya saya tidur dengan pulas dan siap melanjutkan perjalanan. Hari ini kami mengambil jalur timur yang nampaknya masih cukup berangin, menuju spot snorkeling kami yang pertama. Kami tiba di Pulau Tengah, pulau cantik dengan jembatan kayu panjaaang. Perahu disandarkan di jembatan tersebut dan kami menceburkan diri di sekitar jembatan. Disini coralnya jelas lebih indah dari spot snorkeling hari sebelumnya. Visibility sangat jelas, ikannya banyak, bergerombol, cantik dan berwarna-warni. Jangan lupa membawa roti atau panganan ringan untuk memancing ikan-ikan kecil menyerbu kita. Saya sempat memisahkan diri dengan peserta lain dan berenang lebih jauh, dan menemukan coral bulat super besar yang dipenuhi anemon laut, daaaan primadona laut Nemo-nemo kecil berwarna oranye dan hitam. Sempat juga mengambil bintang laut besar berwarna biru, tapi diminta oleh pemandu untuk melepaskannya kembali ke laut.

Come to Mamaaaa!
Try Snorkeling A Lil Bit Far
Cute Clown Fishes

Seperti hari sebelumnya, kami berlabuh lagi di Pulau Cilik untuk makan siang. Pulau ini tak kalah indahnya dengan Pulau Geliang, dan sudah dibangun cukup infrastruktur untuk pengunjung seperti meja kursi kayu, toilet, dan beberapa bangunan rumah kayu. Di sini juga ada penjual gorengan yang langsung diserbu pengunjung yang kelaparan. Menu makan siang kami hari ini sama seperti kemarin, ikan bakar fresh dengan nasi, cumi, dan sambal kecap. Setelah kenyang, saya bahkan sempat tidur siang karena perut terlampau penuh, dan hembusan angin laut yang sepoi-sepoi sungguh memanjakan mata.

Breathtaking Cilik Island

Setelah puas menjelajah pulau, perahu kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Gosong. Gosong ini adalah istilah untuk gundukan pasir ditengah laut, tidak terlalu luas, hanya tampak ketika air laut sedang surut dan tenggelam ketika air laut sedang pasang. Sungguh ajaib. Untuk ke pulau ini kapal pun harus menambat tali kebatu karang ditengah laut. Menjejakkan kaki di pulau Gosong ini membuat kita serasa jadi satu-satunya makhluk di jagat raya ini, hahaha.

The Incredible Gosong Island
Malamnya saya menyempatkan ke toko souvenir. Teman-teman yang lain pulang ke Jepara malam ini, tapi saya extend satu hari special untuk diving. Toko souvenir ini terdiri dari sekitar 7 toko berderet yang menjual kaos dan pakaian dengan label Karimunjawa, berbagai kerajinan dari kerang, hiasan dan pajangan, rumput laut kering, gantungan kunci, juga tasbih dan keris dari kayu langka khas Karimunjawa yaitu dewadaru, kalimasada, dan setigi. Harganya juga murah-murah loh, jadi jangan sampai lupa mampir ke sini sebelum pulang untuk membeli oleh-oleh.

Souvenir Shop

Setelah dua hari full yang dilewati dengan snorkeling dan menikmati keindahan permukaan laut Karimunjawa, esok harinya saya siap menjelajahi biota bawah laut Karimunjawa dengan diving. Kami hanya berdua, ditemani dengan dive guide kami, pak Nurul. Beliaulah yang akan menunjukkan dive spots dan menyediakan tabung serta equipment kami. Dive spot pertama kami berada di lautan sekitar Pulau Menjangan. Visibility sedang kurang baik karena banyak partikel pasir yang terbawa gelombang. Ikannya tidak terlalu banyak, tapi kalau teliti, di antara terumbu kita bisa menemukan banyak spesies ikan yang tidak biasa. Salah satunya ikan batu atau rock fish, ikan jelek berduri dan beracun yang berkamuflase dengan pasir di sekitarnya dengan sangat baik, sehingga kalau tidak disentuh pak Nurul, mungkin kami tak akan bisa menemukannya.

Me, Happy Diving
Mimicri Master - Rock Fish
Corals and Reefs

Setelah sekitar 50 menit berkeliling dan oksigen sudah hampir habis, perahu diarahkan menuju pulau terdekat untuk makan siang. Pulau ini seperti pulau lainnya yang telah dikunjungi, tak berpenghuni selain penjaga pulau. Kami makan siang berupa bekal yang sudah dibungkus dari pagi (karena kami sudah tidak tergabung dengan kelompok lagi) dan air kelapa murni yang dijual penduduk setempat. Setelah makan siang, kami mengitari pulau dan menemukan pohon unik ini, yang sangat nyaman dipakai untuk bersantai sambil merokok.

Very Cozy Tree

Setelah kenyang, istirahat cukup, dan memastikan isi perut sudah cukup stabil sebelum melaut, kami melanjutkan perjalan ke dive spot yang kedua di sekitar lokasi Pulau Gosong. Ada banyak dinding coral besar di sini. Visibility hampir sama dengan dive spot pertama, sepertinya memang kami diving di waktu yang kurang tepat. Di sini hanya sempat diving setengah jam karena partner diving mengalami sedikit masalah teknis. Selain ikan kecil biasa lainnya, kami juga menemukan kelinci laut atau sea rabbit ini.

Us, On The Spot
Cute Sea Rabbit
Biota Laut - Anonymous
Colorful Corals

Dan demikianlah. Sore itu saya hunting makanan di alun-alun, lalu packing, pamit pada yang empunya homestay, dan dengan diantar pemandu kami ke dermaga untuk kembali ke Jepara dengan kapal ferry. Apesnya kelas VIP sudah full-booked, sehingga harus duduk di kelas ekonomi. Untungnya ada yang menyewakan matras, jadi daripada tidak bisa tidur selama 6 jam, saya cuek menggelar matras, just like others, hihihi. Sampai di dermaga, kami lanjut naik becak ke travel agent terdekat yang menyediakan jasa travel ke Semarang, lalu dari Semarang kembali ke Jakarta dengan naik Garuda. Melaut selama 3 hari membuat kami tak kuat lagi bila harus naik bis malam.

...

But anyway, Karimunjawa is a lovely destination. Pulau-pulaunya luar biasa. Sangat cocok untuk yang tidak berbudget besar, karena sangat murah. And what's great adalah, dikelola dengan sangat baik oleh penduduk setempat. Jadi devisa dari turis akan masuk ke kantong negeri sendiri. Harus coba kesana kapan-kapan, tapi siapkan fisik yang prima, karena that's gonna take a very long long long trip...