Rss Feed

Teori Pertemanan..

 
Pernahkah heran, kenapa kita bisa sangat cocok dengan beberapa teman, tidak terlalu cocok tapi masih bisa menjalin persahabatan dengan beberapa teman, dan sama sekali tidak bisa berdampingan dengan beberapa teman lainnya?

Teori saya sederhana, karena kita semua berbeda. We're simply different. Diciptakan unik dengan kekhasannya. Juga kesukaan dan ketidaksukaannya. Penerimaan dan penolakannya. Dan kita semua punya rentangnya masing-masing, range of acceptance yang berbeda jenisnya, berbeda kutubnya, dan berbeda amplitudonya. Begini versi matematikanya.

Aku misalnya, punya range of acceptance yang cukup panjang, yang artinya: dapat menerima banyak tipe manusia, karakteristik orang yang berbeda-beda sebagai teman. Tidak terlalu panjang, karena saya pun tidak terlalu gampang langsung tune-in dengan kawan baru. Tapi juga tidak pendek, karena aku, secara personal, bukan tipe pemilih teman.

Jika himpunan karakteristik kawan ini berdistribusi normal, dengan kata lain sangat sedikit orang (approx.5%) yang berada di kutub esktrimnya, maka aku bisa membagi kedua kutubnya menjadi kutub (A) sifat ekstrim yang paling-akan-get-along-with-me, dan kutub (B) sifat ekstrim yang-paling-akan-saya-hindari-sebagai-teman. Dalam kasus saya, kutub (A) itu diisi oleh sifat-sifat yang merupakan value saya: jujur, dapat dipercaya, tidak ikut campur. Sedangkan di kutub (B) diisi oleh sifat-sifat yang merupakan pelanggar prinsip pertemanan, dalam kasus saya adalah para penjilat, dan backstabber.

Teori saya, isi kutub B tidak selalu oposisi kutub A. Sifat-sifat negasi A, selama tidak sama dengan B, masih dapat diterima karena masih berada dalam range of acceptance. Karena karakteristik seorang manusia mencakup berbagai jenis sifat yang complicated, maka mari kita simplify aturannya seperti ini.
  1. Seseorang dinyatakan tidak acceptable sebagai teman bila ada minimal satu sifatnya yang berada di kutub B.
  2. Sifat seseorang dikatakan acceptable sebagai teman bila tidak ada satu pun sifatnya yang berada di kutub B.
  3. Seseorang dinyatakan makin besar probabilitasnya menjadi teman baik, bila semakin banyak sifatnya yang berada di kutub A.
  4. Bila dalam kasus langka, dimana seseorang memiliki sifat di kutub A namun juga memiliki sifat di kutub B, maka mari kita sepakati bahwa kutub B akan memiliki daya tolak yang lebih besar dibanding daya tarik kutub B, maka sebagai konklusinya, kembali ke poin 1.
Begini versi grafiknya. 
Kurva Normal Prinsip Pertemanan - my version

Dan begitulah. Everyone is simply different. Tak perlu memaksakan jadi teman seseorang, atau jadi teman baik seseorang. Kita semua punya kompatibilitasnya masing-masing.


*Inspired by a backstabber friend, who indeed, reminds me that for me, some principles in friendship do exist.
*Heyyy, my statistical mind is back! Ohh how I missed analytical research..

If Life Is As Free As Hadza

Freedom, kalau kata wikipedia adalah free will, the ability to make choices. Freedom, seringkali diartikan sebagai kebebasan dari segala bentuk penjajahan, tapi dalam hidup manusia sekarang ini, bagian mana yang tidak bisa disebut penjajahan? Tak ada manusia yang bisa hidup sebebas yang mereka mau, karena suka tidak suka, kita hidup dalam aturan, dalam norma, dalam hukum yang mengungkung kita.

Dalam pelajaran PPKn semasa SD dulu, ada kalimat yang lazim: Jangan sampai kebebasan kita mengganggu kebebasan orang lain. Katanya, kita bebas mendengarkan musik sesuai selera kita, tapi jangan terlalu kencang hingga mengganggu tetangga. Lalu kalau begitu, apa kita masih bisa dibilang bebas? Apa ini bentuk kebebasan yang paling kita inginkan - kebebasan yang tidak terlalu bebas?

Sekarang coba tengok hidup ala suku Hadza berikut. http://nationalgeographic.co.id/featurepage/118/orang-orang-hadza/1

Orang-orang Hadza, taken from NGI

Bayangkan kehidupan mereka. Imagine living the way they live. Kata saya, ini mungkin salah satu bentuk kebebasan yang paling absolut yang ada di dunia saat ini. Saya sepakat dengan Michael Finkel, sang reporter yang bilang "Beberapa hal dari suku Hadza membuat saya iri, terutama kebebasannya yang saya lihat. Bebas dari keinginan untuk memiliki. Bebas dari sebagian besar tugas sosial. Bebas dari aturan keagamaan. Bebas dari banyak tanggung jawab keluarga. Bebas dari jadwal, pekerjaan, atasan yang menuntut, tagihan, kemacetan lalu lintas, pajak, hukum, berita, dan uang. Bebas dari rasa cemas. Bebas untuk kentut dan bersendawa tanpa harus minta maaf."

Do you feel like wanting such kind of life? I do. Khususnya untuk orang-orang yang benci dikekang seperti saya, hidup seperti ini pasti seperti hidup di surga. Free, as free as the most free we can be. Tapi kalau ditawarkan, untuk hidup seperti ini, will you?

Siapkah untuk menjalani hidup yang keras dan liar, menjelajah tanpa batas hanya untuk mencari makanan? Siapkah untuk meninggalkan semua hal-hal duniawi, target-target, dan keinginan manusia pada umumnya, which we used to have? Siapkah melepaskan keluarga, pekerjaan, agama, dan segala bentuk pengekangan?

Nyatanya, saya tidak siap. Kebebasan absolut yang menggiurkan itu ternyata harus diganjar dengan banyak sekali perubahan besar dalam hidup. Kita yang telah terbiasa berada dalam lingkungan bebas-yang-tidak-sebebas-bebasnya kemungkinan besar tidak akan sanggup menjalaninya. Kita, in fact, memang membutuhkan aturan, norma, dan hukum, sebagian karena kita secara harfiah memang membutuhkannya, dan sebagian karena kita telah terbiasa hidup dengannya.


PS: Imagining living the way they life is pleasant enough anyway :)

Menang..

Apakah makna kemenangan itu sesungguhnya? Kalau menang hanya untuk membanggakan diri sendiri, kalau hanya untuk mengangkat nama baik, bisakah ia disebut menang sejati?

Sepenting apakah untuk menang? Kalau menang menjadi tujuan utama hingga kita menghamba padanya, kalau setelah menang kita ternyata tak bahagia, masih pentingkah menang kalau ia tak hakiki?

Seberapa keras kita perlu berusaha untuk menang? Kalau untuk menang menghalalkan segala cara, kalau demi menang kita tak lagi menikmati prosesnya, masih wajarkah usaha yang dilakukan untuk menang?

Apa yang kita lihat dari sebuah kemenangan? Kejayaan, keagungan, kepuasan, dan kebanggaan? Hadiah, reward, ganjaran, ketenaran? Atau kematangan, hasil dari proses, pembelajaran, dan latihan? Yang mana sebenarnya motivasi utama kita?

Bisakah kita melihat perbedaan tipis antara kebahagiaan karena memenangkan dan kebahagiaan karena mengalahkan?

Bisakah kita berbesar hati atas kemenangan orang lain? Bisakah kita menerima kenyataan bahwa kita tak sebaik dan setangguh lawan? Bisakah kita menegakkan kepala dan menjabat tangan mereka? Atau justru memupuk kesumat dan ke-tak-terima-an.

...

Karena seharusnya menang itu datangnya dari hati. Karena hanya kejujuran yang menjadikan kita pemenang sejati.

my squash medal
*diinspirasi oleh olimpiade freeport