Rss Feed

Tentang Mantan



...

Saya selalu heran dengan orang-orang yang bersikukuh untuk bermusuhan dengan mantannya pasca putus cinta. Entah itu dengan menghapus namanya dari contact hp, menghindar untuk bertemu, atau seandainya bertemu lalu membuang muka, membakar barang-barang peninggalan mantan (mulai anarkis), you name it. Mungkin tidak semua cerita bisa digeneralisir, tapi secara garis besar, saya pribadi, merasa hal-hal seperti ini tidaklah perlu. Marilah kita berantas tindak-tanduk generasi lebay semacam itu.



Pernah dengar pepatah Barat bahwa a dog will behave just like his man? Well, mungkin maksud sebenarnya adalah, seiring waktu, sadar atau tidak sadar, tingkah laku kita akan semakin menyerupai orang yang kesehariannya dekat dengan kita, atau dengan orang yang banyak menghabiskan waktu bersama kita. Tak jarang, saat kita menjalin hubungan dengan seseorang, terjadi pertukaran value dan kompromi. Yang namanya dua individu disatukan, mau tidak mau kita akan berusaha menerima, atau setidaknya bertoleransi dengan value individu masing-masing.

Nah, saya punya beberapa kisah unik tentang kebiasaan-kebiasaan mantan saya, tentang pertukaran value ini. Seorang mantan saya dulu, selalu misah-misuh kalau setelah makan di warung saya membuang abu rokok ke piring. Menurutnya, pada prinsipnya, piring merupakan tempat makanan, dan adalah penting untuk menghormati makanan. Dulu sih saya sering sewot dan merasa direpotkan, tapi ternyata semenjak itu, kini saya yang mengingatkan teman-teman saya untuk berbuat serupa.

Mantan saya yang lain membuat saya lebih dekat Yang Kuasa. Karena dia rajin sholat, saya akhirnya tak pernah absen diingatkan terus-menerus untuk tidak melewatkan sholat. Kalau sudah waktunya sholat, daripada saya bengong saya lalu ikut dia sholat. Begitu seterusnya sampai saya merasa bahwa sholat dan berkomunikasi dengan Tuhan adalah kebutuhan saya sendiri. Alhamdulillah yaaaahhh :)

Para mantan ini juga kalau diingat-ingat, tak jarang menjadi pintu kita untuk berkenalan dengan dunia lain yang selama ini mungkin tak akan kita jumpai sendiri. Saya sendiri, berkenalan dengan dunia komik, jatuh cinta pada diving, tergila-gila dengan basket, dan mengenal air-soft gun, berkat mereka. Mereka ini tanpa sadar ternyata sudah menjadi guru kehidupan kan ?

...

Dalam kasus saya, mereka bahkan mengajarkan hal-hal yang jauh lebih berarti, jauh lebih hakiki. Hal-hal dalam hidup yang mempelajarinya paling baik adalah dengan mengalaminya langsung, tak ubahnya seperti mereka yang harus jatuh dulu sebelum bisa naik sepeda. 

Pasca putus dengan mantan dari hubungan selama tujuh tahun, saya akhirnya menyadari bahwa sama sekali bukan durasi yang menjadi tolak ukur cinta sejati.

Sekali patah hati paling dashyat menyadarkan saya bahwa simply rahasia jodoh itu ada ditangan Yang Kuasa. Sekuat apapun kita berusaha, sekuat apapun kita menahannya, kalau Tuhan bilang tidak, ya apa mau dikata. Dan setelah berjibaku sekian lamanya dengan hati, here I am, ternyata saya baik-baik saja. Jadi saya belajar bahwa move-on itu susah, mungkin nangis darah, tapi pasti bisa. Been there, done that. Saya belajar jadi orang yang tidak memusingkan cinta, yakin sudah ada yang mengatur, yang akan memberi yang terbaik pada waktunya nanti.

Pernah sekali punya mantan yang jadiannya hanya beberapa saat pasca putus yang sebelumnya. And just like another story, that fragile girl fell into this man. Setelah putus, saya belajar banyak hal bahwa, jangan pernah memulai sebuah hubungan sampai hatimu benar-benar sudah siap memulai kembali, bahwa hati tak akan pernah bisa bohong, dan bahwa waktu selalu bisa membuka semua tabir. 
 
Tapi saya pun, - dan saya yakin juga most of you - pernah juga beberapa kali punya mantan yang setelah dilihat-lihat lagi, hanya bisa membuat saya berpikir "What the hell was I thinking? How could I?" Hahahaha... 

...

Jadi, kalau dibilang putus cinta itu meninggalkan luka, mungkin itu benar. Tapi bisa jadi mereka memberi hikmah dan pembelajaran yang jauh lebih banyak bagi kemajuan kita. Itulah sebabnya saya tak pernah menyesali putus cinta. Meskipun kita tak lagi berada dalam satu bahtera, bukan berarti kita harus bermusuhan, bukan? Jika kita pernah menjadi orang terdekat, kenapa sekarang harus jadi orang jauh dan asing? 

Ada pepatah twitter yang bilang: What begins with “I love you”, doesn't have to end with “I hate you”, just say “Thank you” and “Nice to know you”. Terima kasih untuk semua pembelajaran dan hikmah yang didapat bersama mereka, hingga saat waktunya nanti kita bertemu "the right one", kita sudah jadi orang yang lebih baik. Amiiin :)




PS: And someday someone will walk into your life and make you realize why it never worked-out with anyone else. 

Adik Kecil Bervisi Besar..

 
Meet Nova, my lil' sister. Si adek paling bontot yang kedatangannya mengejutkan kami semua. Saya ingat saya duduk di semester 6 waktu itu, tengah bersantai di kosan, dan nyaris keselek sendok - waktu Evi, adek saya menelepon dan memberitahu bahwa sang nyokap tengah hamil (lagi). Saya bangkit dan bercermin, menyadari bahwa saya berumur 20 tahun dan bertanya-tanya seperti apa rasanya punya adik lagi.

Lalu lahirlah bocah ini ke dunia. Dengan status bungsunya dan kemanjaannya yang segera merebut hati semua. Wajahnya manis dan menggemaskan, sudah pasti lebih cute dibanding kakak-kakaknya yang dekil itu. Suaranya cempreng memekakkan telinga, yang dijadikannya senjata untuk mengadukan orang-orang yang mengganggunya. Hobinya menangis dan berteriak. Manjanya bukan kepalang. Adik kecil ini sepertinya sadar betul potensi anak bungsu, dan bisa memanfaatkannya dengan baik untuk mendapat hal-hal yang dia inginkan. Hahaha...

She is sooooo irresistible!

Tapi dibalik kemanjaannya yang kadang-kadang bikin saya kepengen mengiris nadi, rumah kami akhirnya jadi semarak kembali. Meskipun tiap hari adegannya tetap saja sama, - sang kakak menjahili si adik, si adik nangis dan mengadu, gantian si kakak dimarahi bokap nyokap. Si kecil ini selalu berhasil bikin kami mengurut dada, tapi di saat yang sama juga sayang dan gemas bukan kepalang.

Kini, dia tumbuh, begitu cepatnya! Saya yang hanya pulang ke rumah setahun sekali dua kali ini, selalu takjub melihat betapa cepatnya seorang bayi lucu bertransformasi menjadi gadis kecil yang ceria. Ia kini tumbuh menjadi anak yang cerdas, kritis, sangat menggemaskan dengan celetukan-celetukan spontannya dan pertanyaan beruntun yang tak habis-habisnya. Tapi yang bikin saya luar biasa kagum, ia punya pemikirannya sendiri yang sangat dewasa yang dihasilkan lewat alur berpikirnya yang lugu dan bersahaja.

Isn's she so cute?

Tumbuh sebagai anak bontot yang kakak pertamanya bekerja di luar pulau, kakak keduanya bekerja di luar kota, kakak ketiganya duduk di bangku SMA dan jadi remaja gaul yang jarang pulang, - praktis si Nova ini jadi satu-satunya yang menemani orang tua kami di rumah. Entah karena pesonanya yang susah ditampik atau memang karena orang tua kami sudah berada di titik dimana mereka sudah jenuh menjadi orang tua yang keras, si Nova benar-benar menjadi anak kesayangan. Setengahnya mungkin karena rasa terima kasih mereka akan hadirnya seseorang yang menemani hari-hari mereka dengan keceriaan yang sudah lama lenyap dari rumah, ikut terbawa anak-anak mereka yang pergi merantau.

Suatu ketika, saya menanyakan cita-citanya, hendak jadi apa besar nanti. Pertanyaan lumrah yang ditanyakan ke anak kecil bukan? Dan saya tidak berharap jawabannya akan jauh-jauh dari sekitar dokter, presiden, astronot, artis, atau pilot. Tapi jawaban adik kecilku ini luar biasa: ingin jadi guru ngaji sambil buka warung di depan rumah. Alasannya pun sederhana, supaya bisa tetap menemani sang ibu agar tak sendirian di rumah.

Saya merasa telak tertampar. Rupanya ia menyaksikan betapa kakak-kakaknya kini sibuk dengan kehidupannya, dan cita-citanya jelas menggambarkan bahwa ia tak ingin seperti kami. Saya tertegun. Sungguh tak sekalipun pernah terlintas di benak untuk mencari pekerjaan yang dekat dari rumah, yang saya pikirkan hanyalah berkarir setinggi-tingginya, mengaktualisasi diri, hidup dengan nyaman dan bercukupan.

Calon ibu guru ngaji kami!

Adik kecil, terima kasih telah membukakan mata kami. Bahwa kebahagiaan tidaklah selalu berbanding lurus dengan kemapanan. Bahwa terkadang bahagia itu bisa didapatkan dengan membahagiakan orang lain. Bahwa membahagiakan orang tua tidaklah melulu dengan uang dan harta, melainkan cukup dengan hal-hal kecil yang justru sering luput dari kita - berada di sisi mereka, mendampingi hari-hari mereka, mendengarkan cerita dan keluh kesah mereka...


PS: Tumbuhlah, tumbuhlah menjadi gadis yang penuh cinta pada sesama :)






What's Wrong with Us, People?

 
Disclaimer:
Teman sekamar saya tadi bercerita, kemarin malam saat saya sedang tak dirumah, ia menyaksikan hal yang membuatnya shock tak terkira. Tepat di depan rumah kami, seorang wanita nyaris diperkosa pria bertubuh besar yang nampaknya sedang mabuk. Kejadiannya tepat di jalan raya, diantara rumah-rumah yang penghuninya hampir semua berada di dalam. Sang wanita malang berteriak memecah keheningan malam, panjang dan penuh ketakutan. Sekian lamanya ia berteriak, dan nampak tak ada yang keluar. Teman sekamar saya yang shock segera menelepon Security, yang ternyata datang bagaikan pahlawan kesiangan, ketika penjahatnya sudah berniat kabur.


Mengerikan! Yeah, bagi kami para wanita ini mengerikan. Tapi tahukah yang lebih mengerikan? Kenyataan bahwa tak ada satupun yang tergerak hatinya untuk menolong. Kenyataan bahwa nilai humanitas dan moralitas kita, somehow sudah terdegradasi begitu parahnya, nyaris hilang, binasa. Saat rasa takut ternyata mampu mengalahkan rasa kebenaran. Saat ketidakpedulian menyingkirkan nurani.

Apa yang terjadi dengan kita hingga tak lagi punya seonggok benda, yang kata orang anugerah tertinggi seorang manusia,,, hati? What's wrong with us, people?

...

Dan sepertinya, beginilah gambaran sebagian besar manusia jaman ini. Sadar tidak sadar, kemajuan dunia yang begitu pesatnya, teknologi yang begitu canggihnya, membuat kita menarik diri, atau tertarik dari lingkungan sosial kita. Kita, somehow merasa bahwa kita tidak membutuhkan kehadiran orang lain dan tetap merasa nyaman. Media sosial yang tumbuh menjamur membuat kita merasa terhubung dengan orang lain secara virtual. Perlahan tapi pasti, kemanusiaan itu terkikis sampai habis, digantikan apatisme yang tumbuh subur.

Lalu suatu ketika, saat ada seseorang berteriak minta tolong, Anda terlalu malas untuk beranjak dari TV, terlalu sibuk bekerja mengejar deadline, atau terlalu asyik meng-upload foto di facebook. Beberapa menit kemudian saat teriakan tak kunjung hilang, Anda menyadari bahwa there's something wrong, mulai mengintip dari balik jendela, dan menyadari ada seorang wanita malang di seberang jalan yang membutuhkan bantuan. Beberapa dari kita merasa kasihan tapi merasa takut berhadapan dengan pria sangar disana, kasihan tapi hanya bisa melongo dan membatin, atau kasihan tapi terlampau malas ikut campur, atau merasa kasihan tapi merasa tak perduli, atau bahkan tidak merasa kasihan sama sekali... Are you one of them?

And yeah, what's wrong with us, people?

Suddenly remembering this heart-breaking Pulitzer-prize winning photograph :(

PS: Wishing I was there, throwing bloody rocks to that bastard, very badly..

Mereka Yang Panen Pahala Setiap Hari...

  
Dulu, aku ingat pernah mendeskreditkan sang adik yang hendak meneruskan sekolah di Akademi Perawat. Aku paparkan fakta-fakta bahwa perawat adalah profesi yang tak akan berkembang kemana-mana. Setekun apapun bekerja, sepandai apapun belajar, posisinya tak akan pernah melampaui sang dokter. Selamanya hanya akan jadi pihak pelengkap, pelaksana, dan bukannya sang pengambil keputusan. Pendapatan pun tak usah dipungkiri, tidaklah seberapa. Itulah aku, rasional selalu.

Hingga suatu ketika, aku jatuh sakit, demam berdarah dan tipes sekaligus. Betul-betul tak berdaya, hingga (untuk pertama kalinya) butuh bantuan suster untuk mandi dan ke kamar kecil. Baru saat itulah aku menyadari betapa mulianya profesi yang satu ini. 

Pada mereka yang bekerja atas nama kemanusiaan ini, kedudukan dan pendapatan bukanlah opsi signifikan. Dan betapa beruntungnya mereka ini, karena pada setiap usapan lembut dan senyum teduh, mengalir pahala yang tak pernah putus. Pada setiap detik jaga mereka, setiap bel yang berdenting memanggil mereka, mengalir kemuliaan yang tak kunjung henti. Pada setiap curahan kasih untuk merawat sepenuh hati, mengalir terima kasih dan doa dari para pasiennya.

My lil sista :)

Dan aku yakin, beberapa orang memang terlahir untuk mengabdi seperti ini. Some people just was born to do it. Semenjak aku mulai bekerja, aku perlahan menyadari, adalah penting untuk mencintai pekerjaanmu. Jika tidak, carilah pekerjaan yang bisa kau cintai, yang bisa kau lakukan setiap hari dengan segenap hati. Aku sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mereka yang sungguh tersiksa bangun setiap paginya, menjalani hari dengan pekerjaan yang tak mereka nikmati.

Mungkin adikku salah satu dari mereka yang memang terlahir untuk mengabdi. Mungkin dia salah satu dari mereka yang beruntung bisa panen pahala setiap harinya. Dan sudah seharusnya aku bangga padanya…


PS: Dedicated to all nurses all over the world, yang pahala tak pernah berhenti mengalir untuk mereka :)

Mimpi...




Saya sering bermimpi. Bermacam-macam mimpi... Kadang-kadang saya memimpikan sebuah pulau mungil di tengah hamparan danau hijau dengan jembatan kayu, begitu damainya hingga saya terbangun dengan bahagia. Kadang-kadang saya bermimpi orang tua meninggal dunia setelah kami berselisih hebat, begitu sedihnya saya lalu terbangun dengan air mata bercucuran. Kadang-kadang saya bermimpi dikejar makhluk halus tak berbentuk yang menggapai-gapai dari atap rumah, begitu mengerikannya hingga saya terbangun dengan letih. Kadang-kadang juga saya hanya bermimpi jalan-jalan di pasar dan belanja sayur-mayur , begitu tak pentingnya.

Saya sering bermimpi. Melibatkan beraneka orang... Kadang-kadang teman terdekat. Kadang family dan sanak keluarga. Kadang tetangga. Kadang 0rang yang hanya pernah dijumpai selintas lalu. Kadang-kadang entah siapa. Kadang-kadang manusia jaman prasejarah. Kadang tokoh superhero dalam komik. Kadang makhluk di dimensi berbeda. Kadang hewan peliharaan. Saya bahkan pernah tiba-tiba bermimpi menikah dengan seorang senior masa kuliah yang saya hanya tahu nama dan mukanya, tak pernah bicara dengannya, bahkan tak pernah mengingatnya sedetik pun.

Saya sering bermimpi. Yang unik dan yang abstrak... Saya pernah mengalami empat mimpi sekaligus dalam satu tidur, yang masing-masing berbeda scene, pemeran, dan jalan ceritanya. Saya pernah mimpi indah yang bersambung di mimpi keesokan harinya. Saya juga pernah mimpi bekerja, mengecek konstruksi jalan di antara excavator dan alat berat. Saya kadang mimpi menjadi tokoh dalam karakter DotA, membunuh creep, mengintai hero, sembunyi di hutan dan memanah the Scourge.

Saya sering bermimpi. Yang nyaris selalu terlupa saat esok pagi... Tapi saat saya melintasi sebuah pasar saat tengah berlibur di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, saya sadar saya pernah berada disana,,, dalam mimpi.

Saya sering bermimpi. Yang ternyata punya arti... Suatu hari saya bermimpi gigi tanggal, yang kata orang konon berarti akan ada kenalan yang meninggal. Keesokannya saya langsung mengabsen seisi rumah, dan Alhamdulillah mereka sehat-sehat saja. Keesokan harinya, ayah teman dekat saya meninggal dunia. Di hari yang lain saya bermimpi melihat mantan dalam busana baju koko dan sarung. Esoknya saya sempatkan bertanya apa ia baik-baik saja, dan baru direspon seminggu kemudian, berkata pada hari itu ternyata ia sedang tahlilan 40 hari ibunya meninggal dunia.

Orang bilang, mimpi itu bunga tidur, jadi tak perlu dipikirkan terlalu jauh. Ada juga yang bilang bahwa secara tak terduga mimpi adalah firasat yang disampaikan Ilahi. Beberapa mengatakan, bahwa semua mimpi mempunya tafsirnya masing-masing, dan bahwa selalu ada maksud di baliknya. Ilmuwan mengatakan bahwa mimpi merupakan terjemahan dari pikiran atau kerisauan mendalam. Apapun itu, mimpi mengisi tidur lelap kita dengan sebuah cerita hingga ia tak lagi membosankan.


Dan saya selalu bertanya, mimpi apa saya malam ini? :)


Bisnis vs Nurani

  
       
Penembakan terjadi lagi. Di tempat kami. Kali ini sadis setengah mati sampai kami bergidik ngeri. Bayangkan. Seorang karyawan ditembak dan mati di tempat. Yang lainnya sempat melarikan diri, lalu tertangkap, digorok, dan dibakar.

Ini mungkin terdengar wajar seperti berita kriminal yang biasa Anda dengar di berita setiap hari. Tapi tidak demikian, bila yang demikian terjadi di tempat Anda, dengan frekuensi yang naik tajam, tendensi sadisme yang makin mengerikan, dan bahwa itu bisa terjadi pada siapa saja, dimana saja, termasuk Anda.


...

11 January 2012, kami bertemu dengan sang VP, meminta penjelasan tentang situasi keamanan pada beliau.

Beliau menerangkan tentang gamblang, bahwa semua hal ini terjadi diluar kuasa mereka. Bahwa manajemen telah melakukan hal terbaik yang mereka bisa. Saat mereka berasumsi bahwa penembakan yang terjadi ada hubungannya dengan mogok kerja beberapa waktu lalu, maka mereka akhirnya bersedia menerima para pemogok bekerja kembali. Itu belum lagi berbagai upaya lobbi pemerintah, mendatangkan langsung pembesar perusahaan dari Phoenix, serta ribuan aparat yang dikerahkan ke segala penjuru.

Manajemen kehilangan arah. Tak tahu apa yang dimau para pembunuh berdarah dingin tersebut. Tak ada petunjuk, tak ada motif, tak ada yang mengaku bertanggung jawab.

Sebuah wacana muncul sebagai alternatif: LOCKDOWN. Shutdown semua operasi, dan pulangkan semua karyawan karena keamanan tak lagi kondusif. Tapi markas besar bertitah: Lockdown tak mungkin dilakukan, karena kerugian materilnya terlalu besar.

Dan pilihan itu jatuhlah pada Anda, para karyawan, - kata beliau, untuk tetap tinggal atau pergi, stay or leave.



Jujur, saya kecewa. Kecewa pada perusahaan yang masih saja memikirkan kerugian material saat situasi genting begini. Saat satu-persatu asset terbesarnya berguguran secara mengenaskan, dan semakin banyak anak menangisi bapaknya. Saat kami bekerja dengan was-was dan bertanya-tanya kapan akan jadi giliran kami. Saat berita kematian secara ironis sudah terlalu sering terdengar di telinga, dan kami jadi mati rasa, menangis sesaat lalu menjadi terbiasa.

Dan bila dikatakan kita tak punya pilihan lain, harusnya lockdown justru dilihat sebagai pilihan yang paling memungkinkan. Dan harusnya itu dilakukan bukan atas dasar untuk memberi shock therapy kepada pemerintah atau atas embel-embel lain, melainkan karena memang itulah yang harus dilakukan. Because it’s simply the right thing to do. Ini adalah etika bisnis menyangkut kemanusiaan. Alasan moral, harusnya sudah cukup fundamental dalam situasi seperti ini. There shall be no place for moral or ethical arguments. Ini adalah nyawa manusia yang sedang kita bicarakan, bukan asset, bukan materil, bukan mainan, bukan sekedar mesin penghasil uang mereka.

Saya teringat sebuah inspirasi yang tidak akan pernah saya lupa.
Alkisah, dulu terdapat perusahaan Johnson & Johnson (J&J) yang memproduksi Tylenol. Tahun 1982, tujuh orang diketahui meninggal secara misterius setelah mengkonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki ternyata Tylenol tersebut diindikasikan mengandung racun sianida.
Meski penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang bertanggung jawab, J&J segera menarik 31juta botol Tylenol di pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti mengkonsumsi produk itu hingga pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI dan FDA menyelidiki kasus itu, dan berhasil membuktikan bahwa keracunan tersebut disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol.
Biaya yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100juta dollar AS, namun karena kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus dan masih dipercaya konsumen hingga kini. Begitu kasus itu terselesaikan, Tylenol kembali diluncurkan di pasaran dengan penutup yang lebih aman dan bahkan menjadi market leader di Amerika Serikat.
Secara jangka panjang filosofi J&J yang meletakkan keselamatan konsumen di atas kepentingan perusahaan akhirnya berbuah menjadi keuntungan yang lebih besar bagi perusahaan.

Karena in the end, melakukan hal yang benar, tak pernah merugikan. Kita mungkin jatuh tertatih dan nyaris binasa sebagai konsekuensi yang harus diterima, tapi pada akhirnya melakukan hal yang benar, adalah selalu benar.



Seandainya manajemen kami punya keberanian sebesar manajemen J&J. Keberanian untuk mengindahkan aspek bisnis, demi nyawa yang bisa diselamatkan. Keberanian untuk menjunjung tinggi etika di atas kerincingan dollar. Keberanian yang dibutuhkan untuk melakukan hal yang benar. Untuk jatuh demi menyelamatkan idealisme. Seperti mereka yang bersedia digebukin karena berkata jujur atau yang bersedia dapat nilai jelek karena enggan menyontek. Keberanian dan nyali besar, sangat besar, yang hanya dimiliki oleh para pemimpin sejati yang tidak menghamba pada uang.

Seandainya…






Wakatobi, Heavenly Underwater

 
  
Akhirnya,, akhirnya,, akhirnyaaa,,, *nyanyikan dengan nada ayu tingting* rencana trip ke Wakatobi yang sudah diidam-idamkan sejak lama kesampaian juga! Dan inilah catatan perjalanan lengkap saya, maaf bila terlalu panjang, I simply don’t wanna miss a thing! :) Semoga itinerary dan infonya bisa berguna. Happy reading!


Seperti yang sebagian besar kalian pasti sudah tahu, Wakatobi sebenarnya adalah singkatan 4 nama pulau utama di kepulauan ini, yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Masing-masing pulau punya keunikan dan keindahannya masing-masing. Wakatobi juga bagian dari Tukang Besi Archipelago, disebut demikian karena konon masyarakat asli sini dulunya kebanyakan bekerja sebagai tukang besi.

Wakatobi, part of Tukang Besi Archipelago

Perjalanan hari pertama dimulai bertolak dari Makassar menuju Wangi-wangi. Wakatobi memang sudah makin berkembang belakangan ini dan wisata baharinya dipromosikan dengan gencar oleh pemerintahannya, jadi untungnya meskipun sangat terpencil, sudah ada maskapai yang mengambil rute kesana. Nama maskapainya Express Air, dengan pesawat jenis Dornier 328-100. Ini pesawat paling kecil yang pernah saya tumpangi loh. Total hanya 3 seat di setiap barisnya, dengan jumlah total 12 baris, dan pramugarinya pun hanya satu! Kejanggalan aneh di pesawat ini adalah nomor seat-nya yang di-sortir dengan sangat aneh. Coba perhatikan apa yang ganjil? :p

Inside Dornier Express Air

Penomoran kursi yang aneeehhh -___-"

Harga tiketnya masih sangat mahal, maklum masih satu-satunya maskapai yang kesini. Kata orang, Makassar-Wakatobi normalnya sekitar 900rb, tapi karena saya kesana bulan December, saya dapat tiket seharga 1.3 juta, dengan daerah transit di Bau-bau. Kalau merasa tiketnya terlalu mahal, ada alternatif rute kesini yaitu ke Kendari terlebih dahulu. Dari sini silakan pilih mau naik Express Air seharga 400rb atau naik kapal seharga 130rb ke Wangi-wangi. Tapi pastikan fisik yang oke kalau mau naik kapal, karena perjalanannya akan memakan waktu sekitar 10 jam, bisa lebih lama kalau ada badai atau ombak besar.

Bandar Udara Betoambari, Bau-bau

Penampakan dari udara

Kami sampai di bandara Matohara di Wangi-wangi sekitar pukul 12 siang, dan langsung disambut oleh teriknya matahari yang membakar kulit. Di bandara kami sudah dijemput oleh driver dari Patuno Resort, tempat kami akan menginap. Jadi, Wangi-wangi adalah pulau terbesar dan pulau utama di Wakatobi, dan Wanci yang merupakan ibu kota Wakatobi juga ada di pulau ini. Kalau diperhatikan struktur pulaunya mirip dengan Nusa Lembongan, dimana jalan utama yang mengelilingi pulau ada terletak sekitar 10m dari bibir pantai.

Yeah, WELLcome to Wakatobi! Hihihi...

Nah, Patuno resort tempat saya menginap ini adalah resort yang sangat nyaman. Kamarnya berbentuk rumah-rumah kayu yang menghadap langsung ke pantai. Nampak sederhana dari luar tapi cukup mewah di dalam, dengan ruang tidur dan kamar mandi luas, dan tentunya kasur empuk, TV, serta AC. Di bagian depan tiap-tiap rumah ada pondok kayu nyaman untuk berjemur dan bersantai, dengan jejeran pohon kelapa di sepanjang jalan setapak. Suasananya sangat sepi dan tenang. Quite and very peaceful. Sepertinya pilihan bagus buat pasangan-pasangan honeymoon yang mau menikmati dunia berdua saja, hihi.

Rumah-rumah kayu di Patuno Resort

Fasilitas kamar standard dengan rate 500rb

Teras kayu yang menghadap langsung ke pantai

Hari pertama saya habiskan untuk bersantai, istirahat, dan tidur cepat. Hari kedua rencananya akan diving, tapi karena saya sedang sedikit pilek hari itu (orang pilek agak berbahaya untuk diving), maka hari itu saya nikmati dengan hanya menikmati resort. Apalagi suasananya memang super mendukung untuk berleha-leha menikmati angin pantai. Sorenya, waktu matahari sudah agak teduh, tinggal ngesot sedikit ke laut dan nyemplung! Airnya hangat, nikmat buat berendam berlama-lama. Berasa seperti satu-satunya makhluk di samudra maha luas. Alhamdulillah yaaahh :)

Owyeahhh,, what could've been better? :)

Kelomang unyu yang berkeliaran di pantai

Yup, the ocean is alll yours!

Agak sore sedikit kami ke anjungan atau jetty yang lokasinya pas di depan restoran. Hanya dalam diam kami menikmati angin laut yang samar-samar. Satu persatu kapal mulai berdatangan dan merapat. Menjelang senja, semburat-semburat sunset keluar perlahan, indahnya luar biasa. Yah, pulau ini memang menakjubkan secara sederhana.

Menikmati Senja di Anjungan

Resto nyaman tepat di samping laut

Hari ketiga, jiwa petualang sudah menggelegak di dalam jiwa (seddaaaap). Maka dengan bersemangat, kami bertemu sang divemaster dari resort untuk mem-planning-kan dive trip kami ke depan. Rencananya, kalau biayanya bersahabat, kami berniat untuk mengambil sertifikat diving open-water sekalian. Tapi sayangnya, sang dive master ternyata mau ke luar kota menghadiri pernikahan adiknya, jadi buyarlah rencana kami. Diving disini ternyata tidak semahal yang diduga, 450rb untuk non-certified diver dan 350rb untuk certified diver, untuk sekali nyemplung, plus 150rb untuk sewa equipment per harinya. Akhirnya hari itu kami sepakat untuk mengambil paket 2x diving.

Siap tempur, di depan lokasi dive tools Patuno

Siang hari jam 10 kami diantarkan ke lokasi, sebuah anjungan beton yang disebut jetty Sombu (anjungan pantai Sombu). Di kiri-kanan jetty saja sudah nampak coral-coral dan ikan kecil yang menarik kita untuk snorkeling. Dari jetty ini kita lalu diantarkan dengan perahu karet menuju dive boat, karena kapal besar memang tidak bisa menambatkan jangkar di jetty. Selama saya dive, inilah dive boat yang paling keren yang pernah saya pakai, mungkin seimbang sama harganya yah, haha..

Transfer dari perahu karet ke dive boat

Dive boat kami yang kece

Divemaster kami bernama pak Arif, beliau adalah penduduk asli sini. In term of diving, beliau ini sangat mementingkan aspek buoyancy, yang kata beliau adalah hal kunci dalam dviving. Sekali kita menguasai skill ini, maka diving akan menjadi hal yang sangat menyenangkan. Jadi, dalam bahasa primitifnya, buoyancy adalah kemampuan untuk floating dan mengendalikan tubuh dalam menyelam. Bagi diver amatir, termasuk saya, seringkali mengandalkan udara dalam BCD, atau dengan kata lain mengendalikan kedalaman dengan mengempeskan atau mengembungkan BCD. Sementara buoyancy mengendalikan kedalaman dengan jumlah udara dalam paru-paru. Kedengarannya gampang yah, tapi prakteknya naujubilah susahnya, butuh jam terbang yang cukup tinggi.

Pak Arif, divemaster dari Patuno Resort

Dive spot pertama kami di Sombu (saya tak tahu namanya), berbentuk wall. Arusnya sangat tenang, tapi visibility agak keruh sedikit. Kami banyak menemui staghorn coral, brain coral, soft coral, anemon, dan banyak tube sponge raksasa. Ikan-ikan besar tidak banyak ditemui selain beberapa bumphead, tapi penuh ikan kecil lucu yang berwarna-warni. Nudibranch-nudibranch cerah bertebaran dimana-mana. Kami juga dua kali menemui sea snake besar mungkin sepanjang 1.5meter yang meliuk-liuk genit tanpa menyadari kehadiran kami sama sekali. Ohya, ini launching pertama underwater camera saya, jadi masih coba-coba settingan. Dan hasilnya bisa dilihat, hampir biru semua, hahaha. Percayalah, aslinya jauh lebih colorful dibanding yang Anda lihat di foto-foto ini. Banyak pula obyek-obyek keren yang tak terfoto karena geraknya terlalu lincah sehingga tak terkejar. Maklum baru belajar :p
 

Suka sekali coral berbentuk bunga eksotis ini!

Tube sponge raksasa

The beautiful sea fan

Me, exploring the sea
Dive spot kedua di Sombu (masih tak tahu namanya) jauh lebih jernih dan visibility super clear. Masih berbentuk wall, dengan terumbu karang warna-warni yang sangat sehat. Ragam coral dan ikannya tidak jauh berbeda dengan di spot pertama. Disini kualitas fotonya sudah lumayan ada peningkatan, tapi baru beberapa menit dipakai langsung habis baterai saudara-saudara! Aaaarrggghhhh..

Hamparan coral sehat

Karakteristik wall

Another  coral captured

Another (more) coral captured

Oia, saya ini termasuk orang yang suka susah menghafal nama-nama ikan dan jenis coral. Gak lucu kan, kalau waktu cerita ke teman, "Eh tadi saya menyelam ketemu ikan kuning panjang loreng-loreng loohh!". Dijamin pasti gak keren dan bikin orang bingung. Untungnya, si pak Arif ini punya katalog biota-biota laut Wakatobi, jadi setelah bertemu ikan-ikan lucu, bisa langsung cari namanya di katalog ini. Bisa sekalian buat belajar dan menambah perbendaharaan nama-nama ikan juga. Tadinya mau minta katalognya buat oleh-oleh tapi ternyata gak boleh, hehe.

8-pages Katalog Ikan dan Coral Wakatobi

Malamnya setelah kelelahan pasca diving, kami makan malam di resto resort yang lokasinya di anjungan kayu. Tempatnya romantis dan menyenangkan, dengan lampu-lampu yang kerlap kerlip menerangi air laut. Tapi setelah dipikir-pikir, saya mulai bosan dengan masakan resto di sini. Maklum yang namanya resort, lokasinya terpencil dan jauh dari mana-mana, jadi sudah 3 hari ini saya hanya makan dari resto resort. Saya tiba-tiba rindu masakan gerobak, rindu jalan-jalan di keramaian pasar, pengen bercengkrama dengan penduduk asli, dan ingin merasakan jajanan tradisional khas lokal. I guess I'm not really a resort type, jadi setelah merasa cukup puas dengan suasana resort yang tenang, kami memutuskan untuk menyeberang ke pulau Tomia esok hari.

Santapan malam, apalagi kalau bukan seafood!

Duduk dalam keremangan *seddaaaaap*

Kapal yang menyeberang ke Tomia hanya berangkat dari pelabuhan di Wanci, jadi esok siangnya kami bertolak ke Wanci, diantar oleh driver dari resort (bagian dari servis resort). Patuno resort yang lokasinya di desa Patuno ini ternyata jaraknya agak jauh dari Wanci, sekitar 40 menit perjalanan darat. Kami lalu menginap di hotel Wisata, hotel yang cukup nyaman, fasilitas TV, AC, air hangat, dan kamar yang bersih - dengan rate 300rb per malam. Di sini kami berkenalan dengan pak Iksan. Begini kira-kira percakapan waktu kami berkenalan:

Eva: *celingak-celinguk*
Bapak-bapak pakai oblong dan celana butut: "Mau kemana mbak?"
Eva: "Mau nyari makan, pak..." *sedikit acuh tak acuh*
Si Bapak: "Makan di resto hotel ini aja mbak."
Eva: "Ohhh. Lagi pengen nyari makanan tradisional sini pak." *menolak halus*
Si Bapak: "Di resto hotel ini juga ada!" *semangat*
Eva: "Bapak ini koki di resto sini ya?" *polos*
Si Bapak: "Oh bukan. Saya yang punya hotel ini."
Eva: *nyembah minta ampun*

Clean and tidy room at Hotel Wisata
Kapal karam tepat di belakang Hotel Wisata

Menyenangkan rasanya bisa kembali ke hiruk pikuk kota (well, desa lebih tepatnya). Dengan merental motor mas-mas pegawai hotel seharga 50rb, kami berjalan-jalan mengelilingi kota Wanci. Kotanya relatif kecil, tapi nampak sudah berkembang. Mobil sudah lumayan banyak berseliweran di jalan, walaupun mungkin karena masih jarang, kok sepertinya para pengendara mobil ini nampak sangat angkuh dan berasa seperti penguasa jalan - ngebut dan klakson seenaknya. Rumah penduduk 80% sudah terbuat dari beton, sisanya masih rumah tradisional. Di seluruh Wakatobi, ATM hanya ada di Wanci, saya kemarin sempat menemukan ATM BRI dan BNI. Sayangnya, tak banyak toko souvenir yang ada, kami hanya menemukan sebuah toko dengan stok nyaris habis yang harganya juga mahal.

Rute kota Wanci. Not big heh?
Wanci, kota yang relatif sudah berkembang
Rumah tradisional yang masih bisa ditemukan di sudut-sudut kota

Malamnya sesuai janji kami pada pak Iksan, kami mencoba menu makan malam di resto Wisata, resto hotel yang ternyata justru berdiri lebih awal dari hotelnya yang baru dibangun sekitar 2 bulan lalu. Lokasinya tepat di belakang hotel, dibangun di atas tepi laut, sehingga cukup berangin saat malam. Menu utamanya kebanyakan sea-food, tapi menyediakan juga makanan khas tradisional. Saya lalu mencoba kasuami, yaitu makanan pokok pengganti nasi yang terbuat dari singkong yang diparut, diperas airnya dan dikukus. Lauknya adalah ikan parende kuah kuning, yang dibumbui dengan bumbu asam kadar tinggi. Saya memang tidak terbiasa makan karbohidrat selain nasi, tapi ikannya cukup lezat dan porsinya jumbo!

Kasuami dan ikan parende khas Wakatobi

Esok paginya, hari kelima, kami sudah siap berangkat menuju pelabuhan, dan bahkan sudah check-out dari hotel. Tapi kemudian hujan turun dengan sangat deras, deras yang benar-benar deras, membuat kami jadi berpikir ulang, takut bila bisa-bisa berbahaya di perjalanan. Ketika masih menimbang-nimbang, seorang supir taxi yang singgah di hotel memberitahu bahwa semua kapal ke Tomia sudah full oleh para jamaah yang baru pulang haji beserta pengantarnya. Konon kalau orang Sulawesi, 1 orang yang naik haji, pengantarnya bisa satu kampung, hihi. Jadilah hari itu kami batal menyeberang ke Tomia dan extend 1 hari lagi di Wangi-wangi.

Hari ke-enam esoknya, kami sudah siap berangkat ke Pelabuhan dengan ojek. Info dari pegawai hotel, kapal ke Tomia berangkat jam10. Kami sampai di pelabuhan pukul 10.10 tapi ternyata speedboat sudah berangkat 15 menit lalu karena sudah full, kapal kayu terakhir pun sudah berangkat beberapa detik yang lalu. Untungnya kapalnya mau balik kembali ke pelabuhan untuk mengangkut kami. Baik yaaaah... 
 
Pelabuhan Wanci

Nah, kapal kayu ini adalah kapal tradisional dengan motor yang powernya tidak sebesar motor kapal speedboat. Kalau speedboat bisa mencapai Tomia dalam 2 jam, kapal kayu butuh waktu 3.5 jam. Penumpangnya duduk lesehan di kabin penumpang, tumpang tindih kayak sarden. Penduduk asli sini yang sudah biasa menyeberang antar pulau, bahkan membawa karpet lipat dan bantal. Beberapa menit di kabin ini saya langsung pusing, jadi saya memutuskan naik ke bagian atas kapal, tempat barang-barang dan motor diletakkan. Dengan hembusan angin kencang, pusing saya hilang seketika. Pemandangannya pun cantik dan meneduhkan jiwa (halaahhh). Dari kejauhan kami bisa melihat perkampungan suku Bajo asli yang hidup di tengah laut. Mereka inilah satu-satunya penduduk lokal yang masih mempertahankan kehidupan berperahu tradisional dan hidup sepenuhnya bergantung pada laut.
  
Perkampungan suku Bajo, from a far

Sesekali menjumpai sampan-sampan kecil dengan layar nanggung :p

Yang lucu adalah setelah sekitar 2 jam perjalanan, kapal berhenti di tengah laut dan tak lama kemudian datanglah sampan-sampan yang ternyata dari pulau Kaledupa dan Hoga yang membawa 4-5 penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke Tomia. Kemudian secara agak kurang berkeperimanusiaan, penumpang tersebut ditransfer ke kapal kami,,, lewat jendela! Yup, lewat jendela saudara-saudara!! Satu-persatu mereka memanjat ke jendela, bagian kepala dibantu ditarik oleh penumpang di dalam kabin, dan bagian bokong dan kaki dibantu dorong oleh orang-orang di sampan. Saya jadi penasaran apa yang dirasakan 2 orang bule yang ada di antara penumpang transferan itu. This is Indonesia, everything can happen! Hehehe...
  
Seorang ibu yang susah payah memanjat jendela kapal
Saking nikmatnya menikmati angin laut, saya sampai ketiduran di dek atas, selama 3 jam, hanya menggunakan celana pendek, dan bodohnya, tanpa pakai sunblock sama sekali. Efeknya baru terasa keesokan harinya, sun-burnt level akut!  Kulit yang terekspos matahari langsung hitam legam teramat sangat, terasa panas perih dan terbakar, dan terkelupas sampai 2 minggu sesudahnya! 
 
Bersantai dan berjemur di kabin atas

Merapat di Tomia, kami sudah dijemput pegawai dari Tomia Dive Center yang sudah kami hubungi sebelumnya. Tomia Dive Center ini dikelola oleh dr. Yudi yang adalah seorang divemaster dan juga seorang dokter. Hebat yah? A great life balance. Jadi ceritanya dulu dokter ini ditugaskan PTT di Tomia, jatuh cinta pada underwaternya, belajar dive dari nol hingga jadi divemaster, sampai akhirnya membangun dive center sederhana dengan merekrut masyarakat lokal setempat. Tarifnya cukup murah, hitungannya kira-kira 800rb sehari sudah termasuk penginapan, makan 3x sehari, dan diving 2x. Bisa upgrade ke penginapan yang lebih nyaman kalau mau, tapi kalau soal makanan memang susah cari alternatif, karena disini warung masih relatif jarang.

Bangunan Tomia Dive Centre

Berpose di basecamp sebelum nyempluuung!

Sore harinya saya istirahat dan sedikit berjalan-jalan melihat-lihat pulau. Pulau Tomia ini jauh lebih sepi dan tenang dibanding di Wangi-wangi, bahkan tidak ada mobil yang melintas di jalan. Listrik biasanya padam selama siang hari dan menyala kembali sekitar maghrib. Yang menyenangkan disini adalah penduduknya yang sangaaat ramah, khususnya anak-anak kecilnya yang tak segan-segan menyapa kami dengan lucunya. Selain Tomia Dive Center, di sini juga terdapat resort milik investor asing yang kemashyurannya sudah terkenal di dunia, Wakatobi Dive Centre yang letaknya di Pulau Anemobaa, tak jauh dari pulau Tomia. Rate-nya gila-gilaan, puluhan juta dalam satu malam, dan konon selalu full-booked sampai tiga bulan ke depan. Dive resort ini punya helipad sendiri, pembangkit listrik sendiri, pengolahan air tawar sendiri, dan tamu yang menginap bebas diving kapan pun mereka mau. Bukan main!

Wakatobi Dive Center, photo taken from wakatobi.com 

Kalau mau menyelam di Tomia, pastikan didampingi oleh divemaster yang berpengalaman dan mengetahui seluk-beluk daerah tersebut. Karena ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan, yang paling penting adalah kalender arus. Musim kunjungan terbaik Wakatobi adalah bulan April s/d Juni dan Oktober s/d Desember setiap tahunnya. Sayangnya karena pemanasan global, perubahan cuaca jadi sering kurang menentu akhir-akhir ini. Waktu kedatangan kami di bulan December ini saja ternyata sudah memasuki musim barat. Bila dive di waktu yang tepat dan arus yang tepat, visibility perairan Wakatobi bisa mencapai 100m loh. Outstanding!

Dive boat Tomia Dive Center

Hari ketujuh, hari pertama di Tomia, kami bangun dengan segar bugar dan siap menjelajah dive site terbaik di Tomia. Setelah naik kapal sekitar 20 menit kami sampai di dive spot pertama, Mari Mabuk. Ini adalah dive spot paling terkenal di Tomia, yang memperoleh namanya karena konon keindahannya membuat para penyelam mabuk dan lupa diri, hahaha. Kami menyelam berdua, didampingi divemaster dr. Yudi. Mari Mabuk ini karakteristiknya coralnya berbentuk long ridge dari kedalaman 15 sampai 80 kaki. Coral yang umum kami temui adalah staghorn coral, brain coral, sea fan, tube sponge, table coral, banyak soft coral di antara karang, dan ada pula cabbage coral berbentuk bunga raksasa. Kami juga menemukan banyak schooling fish trevallies, clown fish cerah, sepasang bumphead sebesar 2x paha saya yang nampaknya sedang pacaran, nudibranch warna-warni, bintang laut gendut, teripang, manta (pari) yang terlalu lincah untuk difoto, barracuda, dan lionfish hitam super eksotis di akhir penyelaman.

Mari Mabuk - Tube Sponge

Mari Mabuk - Soft Coral

Mari mabuk menyelam di Mari Mabuk!

Mari Mabuk - Lionfish eksotissss

Setelah istirahat setengah jam, kami melanjutkan perjalanan ke dive spot kedua, Magnifica. Karakteristiknya berbentuk pinnacle jadi kami dive mengelilingi coralnya. Warna coralnya sangat indah dan warna-warni, arus pun sedang sangat bersahabat sehingga visibilitynya sangat jernih dan menakjubkan. Katanya ini juga salah satu dive spot paling keren di Tomia yang bahkan sudah bisa dinikmati hanya dengan snorkeling. Asal katanya saja kira-kira berarti magnificent. Disini kami terdapat banyak soft coral dan berbagai jenis gorgonians aneka warna dan kami menemukan nudibranch lucu dan crocodile fish yang bersembunyi.

Exploring the steep slope of Magnifica

Magnifica - Cute Nudibranch

What a magnificent Magnifica!

Magnifica - (Almost) Invisible Crocodile Fish

Sayangnya, baru 10 menit diving di dive spot yang direkomendasikan sebagai reef-dives terbaik di planet ini, saya mengalami gangguan teknis. Di kedalaman 19m, regulator saya terlepas cukup jauh. Ketika hendak dipasang kembali, saya sudah meminum banyak air laut, dan menjadi panik, hal terlarang bagi diver. Saya sempat memberi sign darurat pada sang divemaster tapi kemudian tanpa berpikir panjang langsung naik ke permukaan. Selama beberapa detik itu, I feel like I'm really going to die. Mengerikan. Ini adalah mimpi buruk bagi semua penyelam. Naik 19m itu berarti saya mengalami perbedaan tekanan 2 atmosfir hanya dalam beberapa detik, tanpa mengambil safety stop sama sekali. Besar kemungkinan saya mengalami decompression, yang terjadi akibat tumpukan nitrogen yang menyumbat saluran darah.

Untungnya memiliki pemandu yang juga seorang dokter adalah, beliau menyediakan oksigen di kapal. Jadi saya langsung diberi oksigen selama beberapa menit, dan terpaksa harus menghentikan diving hari itu. Sang dokter bilang, deco yang paling parah bisa sampai membuat lumpuh, paru-paru meledak, atau bahkan kematian. Untungnya saya hanya sedikit pusing, meskipun badan langsung lemas dan lunglai karena merinding mendengar penjelasan si dokter. Malamnya, saya dijemput sang dokter menuju Puskesmas tempat beliau praktek. Di sini sekali lagi saya diberi terapi oksigen murni selama setengah jam.

Tomia Divesite Map

Besoknya saya melewatkan diving pagi hari jam5.30. Selain karena ogah bangun pagi, sepertinya saya juga merasa butuh lebih banyak istirahat. Trauma? Yup, saya sedikit trauma. Tapi kalau hanya karena sekali nyaris-deco membuat saya harus melewatkan semua makhluk indah di bawah laut yang menanti untuk disapa, nampaknya terlalu sayang yahh. Toh, ini bisa jadi pengalaman berharga supaya lebih berhati-hati. Nah, pagi itu saya meleawatkan dive spot Ali Reef. Katanya, menyelam disini arusnya cukup kuat, jadi tubuh harus fit. Tapi sebagai gantinya, jutaan ikan-ikan akan siap menyambut Anda. Ini beberapa foto yang mereka dapat.

Ali Reef - Can you see that super big schooling fish?

Ali Reef - Eel yang hobi melotot

Ali Reef - Ohhh blue cuties!

Ali Reef - Nudibranch

Setelah makan siang, saya sudah siap untuk menyelam lagi. Kali ini kami menuju dive spot Fan 38 West. Dinamakan demikian karena ada banyak coral sea-fan yang berwarna-warni, sebagian berukuran besar. Karakteristik steep slope yang juga merupakan favorit sepanjang masa, khususnya untuk yang sudah certified untuk deep dive. Warna-warni coral dan ikannya yang sungguh beraneka ragam sangat memanjakan mata. Hampir semua jenis coral di tempat lain bisa ditemui disini, khususnya sea fan yang selalu indah jadi obyek foto. Kami juga menemukan bintang laut gendut, teripang, lion fish oranye, big-eye fish, trumpetfish, dan banyak jenis ikan yang belum tahu namanya.

Fan 38 West - Anemon yang subur sekali yahhh

Fan 38 West - Gorgonians is everywhere!

Fan 38 West - Beautiful lionfish

Fan 38 West - Ikan imyuuut, siapa namamu???

Fan 38 West - They're just... GORGEOUS!

Fan 38 West - Schooling big eye fish

Fan 38 West - Sea fan,,, again!

Saat istirahat, saya penasaran melihat sang nahkoda mengemudikan kapal. Iseng-iseng, saya lalu minta diajari caranya, dan ternyata menyetir kapal cukup gampang! Ada semacam tuas dua arah yang berfungsi sebagai gigi untuk maju, netral, dan mundur. Gasnya diatur dengan dari sejauh mana tuas tersebut ditarik. Sisanya hanya setir yang sama persis dengan mobil, hanya saja kalau mobil maksimum 2 putaran, di kapal ini putarannya banyak sekali! Sampai pegal memutarnya. But you know what? It feels sexy and I feel like Nami!

Do I look like Nami? :)

Setelah dirasa cukup istirahat, sejam kemudian kami nyemplung lagi di dive-spot berikutnya bernama Table Coral. Karakteristiknya berbentuk sea-mount dengan berbagai jenis table coral, staghorn coral, cabbage coral, sponges, brain coral, dan gorgonian. Di sini kami bertemu satu kompi barracuda besar yang berbaris dengan gagahnya, tak bergeming saat kami memandangi mereka. Selain itu juga ada sea-snake yang menari dengan genit, trevallies besar yang melintas sesekali, lizardfish yang bertengger di atas brain coral, puffer biru yang sangat amat boxy, anemone fish berwarna menyala di antara staghorn coral, teripang, dan bintang laut.

Table Coral - Soft corals

Table Coral - Sea snake dancing nimbly

Yihaa!! I'm swimming with the barracudas!

Lizardfish yang hobi nemplok

Table Coral - Sesuai namanya, table coral ada dimana-mana

Table Coral - Hey puffer!

Keesokan harinya, petualangan bawah laut kami masih berlanjut. Hari kesembilan dalam perjalanan kami dimulai dari dive-spot bernama Dunia Baru. Karakteristiknya berbentuk slope dengan sandy bottom. Warna-warninya menakjubkan, seperti aquarium bawah laut raksasa yang bahkan sudah dapat dinikmati dengan snorkeling.  Soft coral mendominasi dengan selingan brain coral, sponge, sea fan, dan anemone. Kami juga menemukan berbagai jenis ikan-ikan unik, seperti eagle stingray yang tidak sempat terfoto karena langsung terbang melenggang dengan anggunnya, teripang, aneka nudibranch cerah, sepasang trevallies besar yang sedang berkejaran, bintang laut biru, clown triggerfish dengan warna-warni mencolok mata, trumpetfish kuning yang langsing, dan lobster yang tengah bersembunyi di sarangnya. Kata dr. Yudi bila nightdive disini akan banyak menjumpai banyak lobster dan shrimp yang keluar dari sarangnya.

Definitely giant aquarium!

Bright nudibranch

Nice symbiosis

Blue starfish

Yellow Trumpetfish

Soft coral as far as you can see

Hey lobster, don't you wanna say hi?

Waktu beristirahat selama sejam lalu kami habiskan dengan island hopping ke sebuah pulau kecil cantik tak jauh dari lokasi diving. Namanya pulau Waha, dengan batu karang besar dan pasir putih yang lembut. Sayang banyak kotoran yang terbawa arus ke pantai. Di pulau ini kami duduk bersantai di pantai dan berendam di airnya yang hangat, sebelum siap nyemplung lagi di dive spot kami yang terakhir.

Pulau Sawa

Next stop kami bernama Gunung Waha, yang karakteristiknya berbentuk pinnacle yang terekspos arus. Tadinya kami berencana mengelilingi pinnacle dimulai dengan rute melawan arus terlebih dahulu, lalu kembali dengan drift dive (diving mengikuti arus). Tapi arusnya sungguh sungguh sangat kuat, dan inilah dive spot yang paling menguras tenaga. Beberapa kali kami berpegangan pada karang melawan arus, bahkan ada batu karang yang sampai terlepas saking kuat arusnya. Tapi sesungguhnya arus yang kuat adalah surganya ikan-ikan besar, yang sayangnya membuat kami tak bisa cukup steady untuk mengambil foto-foto terbaik.

Coral yang umum adalah soft coral, brain coral, table coral, staghorn coral, dan cabbage coral. Kami bertemu ikan bumphead besar, schooling tuna fish yang tak kalah besarnya (yes you would expect a BIG fish when you're diving on strong current), clown triggerfish yang kami temui berkali-kali, big-eye fish, lizardfish, serta crocodile fish yang cantik di akhir dive kami.

Gunung Waha

Ini cabbage coral favorit saya!

Corals in Gunung Waha

Ikan totol-totol

The clown triggerfish

Crocodile fish yang pintar menyamar
...

Dan demikianlah petualangan kami di Tomia ternyata harus berakhir juga. Selama beberapa hari kemarin rasanya seperti menjalani hidup dalam mimpi. Bangun, makan, diving, island hopping, makan, diving, makan, tidur. Tapi all good things comes to an end. Sebenarnya masih ada 2 pulau yang ingin kami datangi: Pulau Hoga di Kaledupa dan Pulau Binongko.

Hoga sejak dulu sudah terkenal pula akan dive-site-nya, in fact merekalah yang terlebih dahulu mengembangkan wisata diving di Wakatobi. Saya sangat tergoda untuk menjelajah dive-spot disana, yang katanya selain diving dan snorkeling, kita juga bisa Dolphin Watching dan melihat panorama sunset dan sunrise terbaik. Tapi informasi dari penduduk sini, di Hoga belum ada penginapan yang ber-AC. Di musim hujan seperti ini, tanpa AC bisa dipastikan kami akan jadi santapan empuk nyamuk-nyamuk ganas. Selain itu, belum ada fasilitas air tawar yang baik, alias masih asin. Sedangkan pulau Binongko tidak terlalu kaya dengan dive-site. Obyek wisata menarik disana hanyalah pakam pahlawan nasional Pattimura. Jaraknya pun cukup jauh, dan belum ada fasilitas untuk wisatawan. Dengan alasan tersebut, kami memutuskan untuk skip kedua pulau tersebut dan kembali ke Wangi-wangi.

Hoga dan Binongko yang belum sempat dijelajahi :(

Esok paginya, hari ke sepuluh dalam perjalanan kami, setelah sarapan dan pamit pada dr.Yudi, kami menyeberang kembali ke pulau Wangi-wangi dengan speedboat. Tidak seperti kapal kayu yang kami tumpangi kemarin, speedboat jauh lebih nyaman, meskipun sepanjang jalan kami ditemani lagu-lagu dari speaker buluk yang mendendangkan lagu pilihan awak kapal, yang berarti adalah lagu alay dan lagu dangdut, hahaha.

Nampak sangat nyaman yaah,,, hihihi

Sesampainya di Wangi-wangi kembali, setelah makan siang, saya segera menuju RSUD Wanci untuk menjalani terapi hyperbarik oksigen murni. Ini adalah konsekuensi accident kemarin, dimana terapi ini wajib dilakukan sebelum saya naik pesawat. Jadi, terapi hyperbarik atau disebut juga Recompression Chamber adalah terapi dimana pasien dimasukkan ke dalam tabung serupa kapsul besar, dan di dalamnya diberi tekanan udara seperti sewaktu kita menyelam. Dengan demikian buih-buih nitrogen yang menyumbat didalam aliran darah akan kembali melarut didalam darah, dan dinetralisir secara alamiah oleh tubuh melalui proses pernafasan.

Hyperbaric chamber yang nampak rumit :p

Untuk menjalani terapi chamber ini kami harus janjian dulu dengan yang staff penjaganya. Soalnya ternyata RS ini letaknya di ujung kota dan sepiiiii sekali. Tidak nampak ada kehidupan sama sekali saat kami kesana. Di dalam chamber yang katanya bisa untuk 6 orang ini ternyata sempit sekali, dan karena bentuknya yang bulat, saya jadi tidak bisa duduk dengan nyaman. Sebenarnya ada chamber seperti ini di lokasi terpencil seperti Wangi-wangi saja sudah ajaib, sepertinya diadakan sebagai konsekuensi dipromosikannya Wakatobi sebagai daerah wisata diving. Nah, tidak seperti fasilitas chamber di kota, di sini belum tersedia AC di dalam chambernya. Jadilah selama hampir sejam berada di dalam saya sukses terpanggang dan keringat mengucur deras sampai begitu keluar dari chamber rupanya seperti habis mandi sauna. Kata mas penjaganya, terapi oksigen murni ini bisa juga untuk kecantikan supaya awet muda atau untuk mempercepat recovery misalnya pasca patah tulang. Biayanya untuk sekali terapi adalah 350rb.

Hyperbaric chamber RSUD Wanci

Inside chamber

Esoknya, hari kesebelas yang juga hari terakhir perjalanan kami, adalah waktu dimana kami harus meninggalkan Wakatobi. Kami sampai di bandara Matohara dengan menyewa taksi seharga 100rb. Karena kemarin kami langsung dijemput, saya baru menyaksikan sendiri rupa bandara kecil ini. Hanya ada 1 counter check-in dan ruang tunggu kecil yang ACnya tidak menyala. Tadinya kami bermaksud naik Express Air yang jurusannya langsung Wakatobi-Jakarta, tapi harganya gila-gilaan, 2.5jt! Untung kami diberi tahu trik alternatif murah oleh dr.Yudi, yaitu naik Express Air ke Kendari dulu, lalu dilanjutkan naik pesawat komersil Kendari-Jakarta. Express Air yang ke Kendari memang lebih murah, 400rb fix, karena disubsidi pemerintah.

Adios Wakatobi!

Wangi-wangi - Kendari ditempuh dalam waktu yang cukup singkat, tidak sampai 1jam. Bandara Hauoleo di Kendari ini surprisingly cukup megah dan bagus bangunannya. Sampai disini kami segera ke counter ticket, tapi ternyata pegawainya masih banyak yang makan siang sampai jam2. Menyebalkan! Akhirnya setelah membandingkan tiap counter Lion, Batavia, dan Garuda, kami mendapatkan tiket seharga 1.2jt yang berangkat 2 jam kemudian (plus delay hampir sejam).

Bandara Haluoleo yang cukup keren


Dan dengan demikian, berakhir sudah petualangan bahari kami di jantung segitiga coral dunia, Wakatobi. Sungguh, tak habis-habisnya decak kagum mengagumi keindahan alam negeri kita ini. Tak heran, seantero dunia berbondong-bondong datang dari jauh untuk menyaksikannya. Jadi kalian, mari datang, saksikan dengan mata kepala sendiri, lalu kabarkan indahnya pada dunia!!