Rss Feed

Island Hopping di Belitung - Day 5




Selamat pagi Belitung! Pagi ini kami bangun dengan semangat dan bergegas sarapan gak pakai acara tunjuk-tunjukan siapa yang mandi duluan. Kenapa? Karena kami sudah janjian dengan seorang pemilik kapal di Tanjung Kelayang yang akan mengantarkan kami untuuuuuk,,, wait for it,,, island hopping! Jadi kalau dilihat di peta, di bagian utara pulau utama Belitung terdapat banyak pulau-pulau kecil yang kata orang tak kalah indahnya, tak kalah eksotisnya.
 
Si bapak yang jadi guide kami ini ternyata juga buka usaha warung di Tanjung Kelayang yang dikelola oleh istrinya. Jadi pagi-pagi kami sudah berangkat, dan duduk manis di warung beliau. Setelah si bapak melakukan final check di kapalnya, kami yang sekarang sudah jadi berlima dengan formasi Power Rangers segera berubah dan lompat ke kapal!


Kapal si bapak ini adalah kapal jenis klotok sederhana dengan 1 motor yang dicat dominasi warna biru dan diberi nama Laskar Pelangi. Seperti biasa, kalau duduk di kapal, lokasi favorit saya adalah di ujung kapal. Pagi ini langit super cerah dan angin super sejuk berhembus malu-malu menerpa wajah. Laut nampak biru tak bercela seperti mengundang kami untuk nyebur.


Sepanjang perjalanan si bapak banyak bercerita, dan ternyata beliau ini orang yang sangat menyenangkan loh. Beliau adalah orang menakjubkan kedua yang kami temui di Belitung setelah mas Kumbang, orang-orang cerdas di balik kulit mereka yang lusuh, yang bikin kami sadar bahwa orang-orang sungguh tak bisa dinilai hanya dari kulit luarnya. Cateeeeet.
 
Pengetahuannya luas, karena tiap topik yang kita omongin mulai dari fotografi sampai gosip seleb, si bapak ini suka ikutan nimbrung. Selain up-to-date sama hal-hal yang lagi in, si bapak juga lumayan mengerti bahasa Inggris. Nilai plusnya lagi, si bapak nampak sangat berusaha menyenangkan tamunya, sepertinya si bapak ini paham betul konsep customer success. Angkat dua puluh jempol anggota Power Rangers deh buat beliau!

 
Obyek pertama yang menarik mata kami adalah batu burung Garuda yang tersohor itu. Disebut demikian karena sebenarnya hanya berupa batuan yang menumpuk sedemikian rupa hingga dari jauh membentuk figur kepala burung Garuda.

 
Puas memoto sang burung Garuda, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini ke sebuah gosong di tengah laut. Tau gosong kan, semacam gundukan dari pasir di tengah laut yang hanya nampak ke permukaan bila air tidak sedang pasang. Di gosong ini kami menemukan banyak sekali bintang laut unyu yang berserakan di sepanjang pasir.


Kapal melaju kembali dan akhirnya setelah beberapa lama, merapat di pulau Lengkuas. Dari kejauhan sudah nampak bangunan putih menjulang yang tadinya kami kira adalah lengkuas raksasa (kebanyakan nonton pelem monster dubbingan indosiar) yang ternyata merupakan sebuah mercusuar.
 
Di sekeliling pulau Lengkuas juga terdapat batu-batu keren yang sayangnya kalah pamor oleh sang mercusuar. Tepat di depannya terdapat penangkaran penyu, dan kami juga sempat melihat tukik atau anak penyu yang ditangkarkan dalam perahu kecil.
 


Akhirnya, dengan rasa tak sabar kami pun masuk ke dalam mercusuar. Dari papan namanya yang berbahasa Belanda itu sih, konon bangunan ini dibangun tahun 1882. Jadi, kebayang kan suasananya agak horor-horor gimana gitu. Dan benar saja, aroma mistis langsung tercium begitu kami masuk ke lantai dasarnya.
 
Ada sejenis shaft yang berada tepat di tengah bangunan dan tangga melingkar yang melekat di sepanjang dinding mercusuar. Total ada 18 lantai dengan tangga spiral non stop yang harus didaki supaya bisa mencapai level yang paling atas. Dan ternyata kami adalah Power Rangers cupu yang sudah loyo karena baru dilantai 4 kami sudah ngos-ngosan, kaki gemetar, lutut kopong, dan nyaris semaput.


Tapi dengan tekad membara, akhirnya sampai juga kami di lantai puncak. Dan you know what, semua jerih payah melelahkan yang capeknya melebihi pendakian gunung Carstenz itu, segera terbayar dan terlupakan begitu saja begitu kami berada di atas. Di sini ada semacam platform tempat kita bisa duduk dan menyaksikan semua pemandangan di bawah.
 
Batu-batu nampak seperti kelereng yang terserak, perahu nampak seperti mainan kertas, dan laut bagai kain biru mahaluas yang terbentang tanpa batas. Dan dari atas sini, segala hal nampak begitu kecil, begitu jauh, begitu juga semua masalah dan problematika hidup, ceileeehhh. I swear I could sit over there all day long, kalau saja naga kepala sembilan di perut gak menggedor-gedor perut.


Puas menjelajahi pulau Lengkuas, kami melanjutkan kembali perjalanan ke area tak jauh dari pulau Babi. Kapal dijangkarkan disini karena kami akan nyebur dan snorkeling! Overall, underwater view-nya sebenarnya tidak jelek-jelek amat, tapi juga gak wow-wow banget.
 
Setelah snorkel, saya tiba-tiba merasa bersyukur tidak memplanningkan untuk dive di Belitung ini. Jujur, buat saya Belitung is not about the underwater, it is about the beach, gigantic rocks, and Laskar Pelangi. Tapi, lumayanlah buat nyebur, mendinginkan badan, say hi ke ikan-ikan kecil lucu dan bulu babi, serta tak lupa tentunya menyelam sambil pipis, hehehe.

Puas snorkeling, perahu hanya tinggal dijalankan beberapa menit dan sampailah kami di pulau Babi. Pulau dengan pasir putih yang halus, dengan beberapa rumah apung dengan tempat budidaya ikan tepat di seberangnya. Di pulau ini kami singgah sebentar untuk makan siang dan istirahat sejenak. Si bapak mempersilakan kami turun dan menunggu sementara beliau menurunkan bekal makan siang yang sudah dipersiapkan istrinya dari rumah.
 
Rupanya selagi kami snorkeling, si bapak sudah mulai membakar ikan supaya makanan siap tepat ketika kami sampai di pulau. Manajemen waktu yang luar biasa, saudara-saudara sekalian. Kami langsung terkagum-kagum dibuatnya dan langsung sepakat si bapak ini aset berharga kalau kita hire di perusahaan, hehe.

Nah, makan siang sudah siap, ikan bakar fresh from the grill, cah kangkung dengan aroma yang meneteskan air liur, nasi putih, sambal merah dan sambal kecap, cumi goreng tepung, dan sate udang. Disajikan di kala perut keroncongan, di atas pasir putih, bersama kawan-kawan, ditemani angin laut dan pemandangan hamparan laut tenang. Kombinasi dashyat yang bikin semua makanan ludes segera dalam hitungan beberapa menit saja, hehe.

Tak lupa tentunya setelah itu, selonjoran di bawah pohon, meluruskan kaki, merokok, dan tidur siang. Seketika pasir putih adalah kasur terempuk di dunia, semilir angin adalah ninabobo paling merdu yang pernah ada. Aaarrrghhh, surga dunia!

 
Akhirnya meski enggan beranjak, kami melanjutkan kembali perjalanan ke pulau berikutnya. Pulaunya tidak besar, dengan daya tarik utamanya berupa rangkaian batu-batu besar lebar dan pipih, yang dinamai pulau Batu Berlayar. Disini kami singgah tak lain dan tak bukan untuk foto-foto (teteuuup) sampai puas kemudian lanjut lagi ke destinasi berikutnya. 
 
 
Pulau terakhir kami adalah Pulau Burung, yang letaknya di seberang batu burung Garuda. Kalau tadi di awal perjalanan kami melewati burung Garuda dari samping, maka pulau Burung ini tepat di seberang moncong sang burung. Pesonanya, masih massive rocks spread all over the island.

 
Akhirnya, petualangan menyisiri garis pantai utara pulau Belitong berakhirlah sudah. Setelah menghaturkan beribu-ribu terima kasih atas pelayanan si bapak yang beyond expectation dan menyelesaikan urusan hitung-hitungan, kami pamit dan pulang. Sebelum kembali ke hotel kami singgah lagi di pantai Tanjung Tinggi untuk makan malam. Malamnya, kedua pria melewatkan Euro karena langsung semaput begitu menyentuh kasur. 

...

Dan dengan demikian, berakhirlah pula liburan di Belitung kali ini. Esok paginya kami menyempatkan diri membeli souvenir di toko pusat kerajinan KUKM di Pasar Kota Tanjungpandan sebelum terbang siang harinya. Tempatnya luas dan menyediakan semua hal khas Belitung, seperti t-shirt, batu satam, akar bahar, belacan, dll. Saya sendiri beli beberapa kaos, madu putih, dan gelang akar bahar untuk dibawa pulang.

Yang belum ke Belitung, cobalah kesana kapan-kapan kawan. Dijamin tak akan menyesal :)



Note:
1. All pictures copyright Hadi Firdausi, Maidy Putra, dan Eva Bachtiar.

2. Baca juga petualangan hari pertama di Halo Belitung - Day 1, hari kedua di Belitung, Negeri Laskar Pelangi - Day 2, hari ketiga di Belitung, Surga Warung Kopi - Day 3m dan di hari keempat di Belitung, Pesona Batu Raksasa - Day 4.


Belitung, Pesona Batu Raksasa - Day 4



Tak terasa sudah memasuki hari keempat kami di Belitung. Ritme liburan yang santai benar-benar membuai kami si anak hutan yang jarang bertemu pantai ini. Masih terbayang-bayang kenikmatan kopi hitam yang kami minum kemarin di Warung Kopi Ake, akhirnya pagi ini kami kembali lagi kesana dengan menu yang sama. Yup, tentu saja termasuk telor setengah matang yang katanya bisa menambah stamina lelaki itu, hmmm..
 
Yang agak beda kali ini adalah sarapannya. Tersebutlah sebuah warung di Belitung yang namanya sudah tersohor ke penjuru negeri. Namanya Mie Atep Belitung, lokasinya di tepi jalan protokol. Bentuknya mie rebus dengan kuah berbumbu dasar udang, dilengkapi potongan kentang, tahu, daging ayam, dan emping.
 
Konon sudah banyak artis yang kesini, terbukti dari foto-foto seleb yang dipajang di sepanjang dinding warung. Makanya waktu kami makan disini, saya sebenarnya agak-agak bingung, kok pemilik warung gak nawarin saya buat foto bareng yah? *minta digorok

 
Baiklah, perut kenyang, hati senang, mari kita berangkaat!
 
Agenda hari ini adalah ke pantai Tanjung Tinggi, lokasinya tidak jauh dari Tanjung Kelayang, pantai yang masih menawarkan pesona batu-batu raksasa sebagai daya tarik utamanya. Kalau ingat adegan di film Laskar Pelangi, tempat bocah-bocah tersebut berlarian dengan dramatisnya di antara batu-batu keren (dan saya ingat waktu nonton adegan itu, saya bersumpah suatu hari harus melihat sendiri batu-batu itu), disinilah pantai tempat adegan tersebut di-shoot, dan karena itu juga pantai ini di-klaim sebagai pantai Laskar Pelangi.


Tadinya kami sih tidak expect sesuatu yang berbeda dengan pantai-pantai lain, tapi begitu kami sampai disini, it’s just magnificent brader.. Pantai yang keren, pasir putih dan halus, dengan batu-batu menjulang disana-sini, memagari air laut warna biru zamrud yang menenangkan. Batu-batu disini tak terhitung jumlahnya, berserakan dengan pose yang eksotis.
 
Pantai ini juga sepertinya merupakan pantai paling ramai yang kami temui sejauh ini, entah karena reputasinya sebagai pantai Laskar Pelangi, entah karena ini hari Minggu, entah karena pantainya memang pewe buat liburan keluarga, atau karena mereka tahu bakal ada artis yang datang jauh-jauh dari Papua hari ini *ehem ehem *kibas poni.
 
 
Sayangnya oh sayangnya, di batu-batu langka yang tak akan ditemukan di belahan dunia lain inilah, tercoret beraneka tulisan-tulisan norak yang sungguuh tidak sedap dipandang. Masih mending kalau dicoret ala grafiti yang keren gitu yah, ini mah beneran coret-coret gak jelas khas anak baru puber gitu. Sediiiiih rasanya melihat betapa anak-anak muda kita kadang-kadang gak tahu betapa beruntungnya mereka dikaruniai Yang Kuasa surga landscape sebegitu indahnya, dan justru malah merusaknya dengan tangan mereka sendiri *mellow mode ON.

 
Nah, jadi apa acara paling pas buat tiga turis keren di pantai yang cihuii ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah membuka sesi curhat saudara-saudara (ngooook)! Setelah dehidrasi karena terlalu nafsu berfoto-foto, duduklah kami bersantai di bale-bale kayu, di bawah jejeran pohon, dan memesan es kelapa muda segar (yang gak tanggung-tanggung, disajikan si ibu bukan pakai mangkok, bukan pakai gelas, tapi pakai baskom, bujubuneeeng!).
 
Ditemani angin pantai yang bertiup sepoi-sepoi, mengalirlah curhatan melankolis yang sebaiknya tidak dibocorkan disini karena bakal bikin yang empunya curhatan bunuh diri kalau sampai diungkit-ungkit lagi, haha. Tapi pelajaran pertama yang kami pelajari hari ini adalah cara paling ampuh buat mengorek-ngorek cerita adalah dengan kombinasi pantai yang romantis, es kelapa muda, dan angin laut. Cateeeet.
 
Menjelang senja, saat matahari mulai menggeliat malu-malu dan semua curhatan sudah habis dikorek, kami lalu beranjak ke bagian pantai yang agak ke barat, menjauhi keramaian. Langit dan awan yang sedang bersahabat bikin sunset sore itu super kereen. Semburat merah ungu yang melatarbelakangi pantai dengan perahu-perahu yang ditambatkan. Juara.

  
Malamnya kami pulang ke hotel lalu menjemput dua kawan yang akan bergabung esok, lanjut makan malam sate ayam di warung terdekat. Berhubung kami libur di saat Euro 2012 sedang berlangsung (yang biasanya saya sebodo teuing), dan saya liburan bersama dua penggila bola, dan TV di kamar ternyata hanya menangkap stasiun TV lokal (yang pas acara Euro pakai diacak segala), - maka malam itu kami keliling Tanjung Pendam berburu café yang bikin acara nonton bareng.
 
Akhirnya kami ketemu Café Bunda yang sudah memasang screen besar di tengah café. Beruntung kami datang sejam lebih awal, karena ternyata ketika acara tempatnya benar-benar jadi penuh sesak. Selagi dua pria ini heboh nonton bola, yang saya pikirin sepanjang pertandingan cuma dua hal. Satu, pemain Portugal ganteng-ganteng. Dua, saya bingung kenapa café ini dikasih nama Café Bunda. 
Nah nah nah, segitu dulu catatan si boi hari ini. Besok kita sambung lagi dengan petualangan yang lebih cihuyyy! :)

...


Note:
1. All pictures copyright Hadi Firdausi, Maidy Putra, dan Eva Bachtiar.

2. Baca juga petualangan hari pertama di Halo Belitung - Day 1, hari kedua di Belitung, Negeri Laskar Pelangi - Day 2, dan hari ketiga di Belitung, Surga Warung Kopi - Day 3.
 

Belitung, Surga Warung Kopi - Day 3


 
Dan seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi hari ketiga ini masih diawali dengan nongkrong di gazebo sampai masuk angin, dilanjutkan saling tunjuk-tunjukan siapa yang mandi duluan. Belum lagi kalau ada yang pakai acara nyetor pagi-pagi. Akhirnya, meskipun sudah bangun dari subuh, tetap saja ujung-ujungnya kami baru bisa keluar begitu sudah tengah hari.


Nah, ini juga sebenarnya alasan kami enggan menggunakan jasa travel organizer atau sejenisnya. Kami lebih senang begini, bebas mau kemana, memilih destinasi yang mana, tidak dikejar-kejar waktu. Filosofi kami, liburan itu kalau gak santai berarti bukan liburan namanya. Tul gak?

Nah, sudah sejak kemarin kami ini penasaran pengen menjajal warung kopi yang, percaya atau tidak, jumlahnya mungkin ada ribuan di seluruh Belitung! Buat yang sudah baca buku tetralogi Laskar Pelangi pasti sudah paham. Jadi, yang unik di Belitung ini, masyarakatnya sangat gemar berkumpul, kalau kata anak muda jaman sekarang, hang-out dan nongkrong-nongkrong gitu deh.

Gak tua, gak muda, tiga generasi semua hobi sekali berkumpul di warung kopi. Disini mereka bisa nongkrong seharian, mengobrol, membual, dan menggosipkan apa saja. Warung kopi bagi Belitung adalah pusat informasi, media sosialisasi, dan juga sentra kehidupan masyarakat sini. Hebat yah?

Di antara ribuan warung kopi yang ada disini, ada satu nama yang paling menonjol. Referensinya pasti sudah ada di berita kuliner Belitung. Namanya warung kopi Ake, warung kopi legendaris yang sudah berdiri dari tahun 1922. ITB-since-1928 aja mah lewat, masih kalah tua sama umur warkop ini.

Menemukan warung kopi ini agak penuh perjuangan, karena ternyata letaknya ngumpet dibelakang toko. Harus melewati gang kecil selebar badan manusia. Hebatnya, perkakasnya masih sangat dijaga dan dipakai sampai sekarang. Ada 3 tungku yang dipakai, yang umurnya 90 tahun. Mungkin kerak-kerak di tungku itu yang bikin enak kali ya. Huahhh, saluuut!


Pak Ake ini adalah generasi ketiga penerus usaha ini. Disini kopi diseduh langsung setelah dipesan, dengan tungku arang. Jujur saya bukan penggemar kopi, jadi jangan tanya saya gimana rasanya. Tapi kopi susu saya rasanya cukup nikmat kok. Dan muraaaah – maklum mental kere. Kebayang gak sih betapa senangnya kalau yang biasa ngopi di Starbucks harus bayar 40ribu buat secangkir kopi, disini hanya perlu bayar sepersepuluhnya untuk kopi hitam otentik yang mungkin sama enaknya atau bisa jadi lebih enak rasanya?

 
Buat yang lapar, pas di sebelah warung kopi pak Ake ini juga ada yang jual makanan berat dan sudah terkenal juga di Belitung raya ini. Namanya Suto Belitung, umurnya selang 3 tahun dengan warung kopi Ake. Suto Belitung ini formatnya mirip soto, tapi berbeda sedikit. Isinya potongan lontong, irisan daging, kentang, soun, timun, dengan kuah daging bumbu rempah. Rasanya agak manis dan segar.  Jadi combo kenyangnya!

Beres sarapan, selagi masih ngopi, ngeroko, dan ngalor ngidul, tiba-tiba istri pak Ake, yang masih tampak cantik dan gesit di umurnya yang sudah paruh baya, mendekati meja kami, menatap dua pria ini, lalu nyeletuk dengan polosnya, “Mau telur ayam kampung setengah matang dek?” dan seketika itu juga saya ngakak sampai sakit perut. Entah ada angin apa yang ngebisikan si ibu sampai beranggapan bahwa  kedua pria yang bersama saya ini butuh telur setengah matang.

Sudah tahu kan, mitos telur setengah matang dengan khasiat bikin “greng” itu? Hehehe.. Ditodong begitu, dua pria ini tak bisa bereaksi lain selain mengangguk saja, entah memang gak bisa nolak atau memang mungkin “butuh”.

Bu Ake lalu dengan cekatan meracik 2 telur setengah matang dalam gelas, diberi garam dan pepper sedikit. Buat saya kayak agak gimana gitu ya, tapi kata mereka sih enak. Ohh tidak, kebayang gak sih, seharian ini saya akan berada di antara dua pria yang baru saja diberi asupan telur setengah matang, wkwkwk..


Baiklah, jatah hari ini adalah menjelajah Belitung Selatan! Yang juga berarti another 2 hours road trip, with no clue at all, as always. Tapi road trip disini gak akan pernah bikin bosan kok. Jalan yang mulus, petunjuk jalan yang lengkap, abang-abang pinggir jalan yang ramah dan selalu siap ditanya, persediaan cemilan yang cukup, pemandangan baru, dan teman seperjalanan yang mengasyikkan. None in this world compares to this perfect blend lah pokonya.

Rute menuju pantai pertama ini diluar dugaan, agak muter-muter. Nampaknya, karena ada banyak rute menuju kesana, abang-abang yang kami tanyai memberi jawaban yang berbeda. Waktu masih di area pemukiman sih tidak masalah, karena selalu bisa singgah mengkonfirmasi arah. Tapi begitu masuk ke jalan merah, sama sekali tidak ada rumah dan bangunan. Kendaraan hanya lewat sesekali. Beberapa kali kami hanya bisa cengok ketika bertemu perempatan. Tak ada petunjuk, tak ada tanda-tanda kehidupan. Kami tunggu 5 menit berharap ada kendaraan penduduk yang lewat, nihil.

Di saat-saat terdesak begini, keluarlah semua insting detektif sok-tahu kami. Menganalisa rute berdasar lebar jalan, jejak-jejak ban, sampai tingkat kerimbunan pohon di kiri-kanan jalan. Daaaan 10 menit kemudian, kami kembali ke jalan yang sama, di persimpangan yang sama, hakhakhak..

Oia, di perjalanan ini kami menemukan ada batu super besar yang nyaris setinggi bukit. Jumlahnya hanya satu tapi besarnya luar biasa. Bentuknya eksotis. Letaknya di pinggir jalan tapi sedikit terhalang oleh rumput dan ilalang tinggi. Kalau saja kami bawa sepatu, pengen rasanya mencoba memanjat batu tersebut!


Kami sampai di destinasi pertama tepat menjelang tengah hari. Namanya pantai Batu Penyabong di daerah Membalong Selatan. Pertama kali lihat, kesannya just like any other beach in Belitung, sarat batu. Bedanya, batu-batu besar disini bahkan sudah berserakan sejak dari bukit tempat mobil diparkir. Tapi makin ditelusuri, barulah kami sadar. Ini bukan batu biasa. Ini batu super besar, extra massive, gigantis, you name it. Mereka terhampar dengan gagahnya menantang lautan, terserak dibelai ombak - ahseeek.


Kalau mau memotret batu-batu besar ini, bahkan harus ada obyek lain sebagai pembandingnya. Supaya terlihat skala raksasanya. Berdiri di atas batu besar tersebut benar-benar membuat diri merasa kecil, seperti seutas debu di antara batu-batu dashyat dan samudera luas. Subhanallah. You know what, alam memang guru kehidupan yang terbaik, kalau saja kita mau berkontemplasi sejenak. Dan saya mendadak bijak, haha.. 


Saya sebenarnya penasaran, bagaimana batu-batu ini tercipta? Atau mungkin, bagaimana mereka bisa sampai disini? Di sebuah sisi, batu-batu besar ini membentuk sejenis curug yang cukup dalam, dan batu-batu tersebut juga sangat steady. Berarti besar kemungkinan, batu ini tertancap ke dasar laut. Saya pernah baca, katanya batu ini asalnya dari muntahan Gunung Krakatau yang terkenal itu, yang katanya bahkan sampai membelah pulau menjadi Bangka dan Belitung. Benar atau tidak, wallahu alam.

Puas memanjakan mata, giliran memanjakan perut! Bersantai di tepi pantai dan minum kelapa muda segar pastinya jadi penutup yang sempurna. Ahh life is good! Dan sedari tadi hanya ada kami, jadi serasa menguasai semua pantai Batu Penyabong ini bertiga saja! Even better! :)

Nah, lanjut ke destinasi berikutnya, adalah pantai di daerah pelabuhan. Pelabuhannya sendiri sebenarnya bisa dijadikan obyek wisata untuk fotografi dan human object, tapi waktu kami lewat kesana, nampak ada proyek dan alat-alat besar yang lalu lalang, jadi kami langsung menuju pantainya. Namanya Teluk Gembira di daerah Membalong.

Sejujurnya, pantai ini pantai yang biasa-biasa saja. Beberapa batu besar masih tetap ada disana, tapi tidak signifikan besarnya dan jumlahnya. Yang menyenangkan dari pantai ini adalah kesunyiannya. Sunyi, tapi tak sepenuhnya sepi. Riuh anak-anak yang bermain di pelabuhan masih bisa terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Kesunyian yang mengundang kami untuk nyebur ke dalamnya!


Akhirnya, setelah banyak pantai yang didatangi, pantai yang ini berhasil memanggil kami untuk put our shoes off and go swimming! Urmm, sebenarnya not literally swimming, karena saya gak bisa berenang saudara-saudara! Iya saya memang cupu, tapi gimana lagi dong. Mau belajar berenang sama pria-pria ini, tapi mereka mah paling bahagia kalau ngeliat saya kelelep, hiks. Minta diajarin berenang sama mereka sama aja dengan ngasih mereka alibi buat nenggelamin saya kalau ada kesempatan.


Jadi karena tahu diri, saya hanya berendam, nongkrong di pinggir pantai, rebahan di pasir dan menikmati dunia. Si pria satu sedang sibuk bergalau-galau ria, duduk termenung di batu, dengan pandangan kosong menghadap angkasa, mungkin lagi curhat sama jin laut. Saya sebenarnya kuatir kalau dia mau bunuh diri, tapi ya sudahlah yah, sejak dulu begitulah cinta, deritanya tiada tara.

Waktu saya sudah hampir merem dan mimpi jalan di pantai sama Leonardo Dicaprio di limbo, tiba-tiba si pria 2 bikin heboh, balik ke pantai habis berenang sambil ngacungin tangannya yang sudah berdarah-darah. Ternyata pas doi lagi berenang ke tengah, gak sengaja megang karang yang banyak tritip-nya. Wassalam.


Setelah sedikit P3K dan pria galau pamitan sama jin laut, kami memutuskan untuk pulang ke kota. Lagipula tanpa terasa ternyata langit sudah mulai gelap. Sampai di hotel dan membersihkan diri, kami menjajal warung seafood Bang Pasha yang masih di area pantai Tanjung Pendam. Memang mengenai opsi makan malam ini kami akui agak kurang kreatif. Maklum, balik dari nyetir biasanya perut sudah keroncongan, jadi sikat warung yang dekat saja, hehe. Kali ini, setelah makan tanpa bas-basi kami langsung pulang. Tepar.

Nah, that's a wrap for today! Tunggu kelanjutan petualangan trio kwek-kwek ini hari berikutnya di episode Day 4 yak!


...


Note:
1. All pictures copyright Hadi Firdausi, Maidy Putra, dan Eva Bachtiar.

2. Baca juga petualangan sebelumnya di hari pertama di Halo Belitung - Day 1, dan hari kedua di Belitung, Negeri Laskar Pelangi - Day 2.

Leave the Judging to Allah (Sebuah Catatan tentang Insiden Big Gossan)


Disclaimer: Tanggal 14 Mei 2013 pagi, fasilitas training tambang bawah tanah QMS Big Gossan collapse dan menyebabkan sebagian besar peserta kelas Annual Refresher hari kedua terjebak di bawah reruntuhan. Setelah 8 hari proses evakuasi yang penuh ketegangan dan doa, sinisme dan harapan, total 3 korban dinyatakan berhasil meloloskan diri, 5 korban luka ringan dan 5 korban luka berat, dan 28 meninggal dunia.


Satu lagi insiden yang menimpa tambang kami, seperti tak henti Yang Diatas memberikan cobaan. Longsor, demo mogok panjang, banjir bandang, dan kini insiden terbesar dalam sejarah operasi Freeport yang menelan korban paling banyak. Saya ingat berada di kantor seperti biasa pagi itu, ketika seorang expat mengumumkan kejadian dan segera mengabsen, memastikan tak ada dari kami yang mengikuti training tersebut. Dan yah kami memang lega, karena tak ada satu pun dari divisi kami yang dijadwalkan mengikuti training hari itu. Tapi kami mendengar banyak cerita dari divisi lain, beberapa rekan yang kami kenal yang kebetulan berada di sana. Beberapa hari setelah itu suasana gelap menjadi tak terbendung. Seperti awan hitam besar yang membuat hari menjadi suram dan tak bergairah. Campur aduk antara panik dan waspada. Kebanyakan masih shock dan tidak percaya. Panik dan tegang mengikuti setiap detail proses investigasi yang selalu kami tunggu kabarnya.

Ketika satu persatu korban dinyatakan berhasil diselamatkan, harapan itu membuncah. Yakin dengan sepenuh hati bahwa masih ada harapan selamat bagi mereka yang terkurung didalam sana.

Namun setelah beberapa hari berlalu dan mulai banyak korban yang berhasil dievakuasi sudah tak lagi bernyawa, pesimisme mulai mencuat dengan sendirinya. Tak mungkin mereka bertahan setelah hampir seminggu. Tapi kami masih berdoa. Berharap akan ada keajaiban, meskipun dengan peluang dan waktu yang semakin sempit. Acara pelepasan jenazah menjadi lumrah dihadiri tiap hari.

Hingga hari itu tiba. Hari dimana korban terakhir diumumkan dan dinyatakan sebagai hari berkabung. Seluruh warga berduka, itu pasti. Bagaimana tidak, ini kehilangan paling besar dalam sejarah operasi kami. Dan pemberitaan di media tidak membuatnya lebih baik. Media itu, sebagian besar berkoar-koar begitu besar dengan pengetahuan yang terlalu sedikit. Menganalisa berlebihan padahal tak mengerti setitikpun ilmu tambang.

Tak lupa membanding-bandingkan kasus ini dengan kasus Chili yang kalau boleh saya komentar kawan, sama sekali bukan kasus yang setara, berbeda circumstance dan kondisinya, tak bisa dibandingkan. Collapse di Chili terjadi di bagian akses, sehingga evakuasi bisa difokuskan untuk menembus akses dan probabilitas selamat juga jauh lebih besar. Yang terjadi disini adalah collapse tepat di kelas, tepat pada korban. Kalau mereka sedikit lebih cerdas pasti bisa melihat perbedaannya. Dua kasus ini jelas-jelas bukan apple to apple comparison.

Yang lebih parah lagi, berspekulasi bahwa manajemen sengaja membiarkan mereka yang terjebak di dalam karena sebagian besar mereka adalah orang-orang yang ikut dalam mogok pekerja tempo dulu. What the?!?! Sempat-sempatnya media berpikir sejauh ini ketika segala daya dan upaya dikerahkan untuk menolong orang disini. Menurut saya ini sudah merupakan su’udzon tingkat dewa!

Tapi yang paling membuat saya sedih, adalah bagaimana cara mereka menghakimi proses evakuasi siang malam yang boleh dibilang – penuh darah dan airmata. Sebuah berita di TV yang saya tonton dengan seenaknya menyebutkan bahwa sungguh aneh perusahaan sekelas Freeport melakukan proses evakuasi dengan cara manual. Well, kalau boleh sedikit sarkastik, yang aneh itu adalah analisa anda, Bung! Dalam evakuasi ada aturan utama yang tidak boleh dilanggar: amankan diri sendiri sebelum mengamankan orang lain.

Here’s the truth. Alasan mengapa beberapa hari pertama evakuasi dilakukan secara manual adalah karena medan ruang kelas yang sulit dan sempit dan batuan yang terus jatuh dari atas yang tidak bisa diprediksi banyaknya. Oleh sebab itu proses evakuasi awal difokuskan pada pemasangan penyangga batuan atau ground support untuk memastikan proses penyelamatan jangan sampai justru membahayakan tim evakuasi. Setelah proses ini selesai dan seluruh bangunan kelas sudah dibongkar, barulah evakuasi bisa dilanjutkan dengan bantuan equipment dan alat berat. 



Tapi hebatnya media, tentu saja, bagaimana mereka bisa mendapatkan info dan seolah lebih tahu dari kami sendiri disini. Ketika kami disini masih was-was menunggu kabar resmi dari Corporate Communication, TV dengan hebatnya menayangkan berita tersebut lebih dulu. Sebenarnya saya sendiri tidak tahu pasti, bagaimana cara mereka memperoleh info tersebut. Dugaan paling kuat: bocoran dari pekerja yang menjadi informan disini.

Saya pun orang yang mencintai transparansi informasi, tapi kalau boleh sedikit kritis, bijakkah menyodorkan berita yang didapatkan secara setengah-setengah tersebut pada khayalak tanpa disaring dulu? Siapa yang bisa menjamin bocoran itu bukan fakta dan hanya opini sepihak misalnya, atau berita yang terdistorsi, atau yang telah dibelokkan? Karena bahkan kami pun disini dibanjiri info yang berbeda setiap harinya, bisik-bisik yang tak kalah kontroversialnya. Tapi tentu saja, akal sehat akan menuntun kami untuk menunggu info resmi dari perusahaan. Kami tak mau berspekulasi atas nyawa manusia. Nyawa teman-teman kami.

Tapi tentu saja kami sepakat bahwa ada yang salah di sini. Insiden seperti ini tentu hasil dari kelalaian sebuah pihak, mungkin juga komplikasi dari kelalaian beberapa pihak. Pun saya sepakat bahwa hal tersebut harus diinvestigasi sampai tuntas, agar jangan sampai terulang lagi di kemudian hari, naudzubillahi min dzalik. Tapi memberikan informasi yang salah dan analisa dangkal tidak berbobot bahkan sebelum investigasi keluar? Come on, you guys can do better! Stop berasumsi. Jangan membuat statement yang tidak bisa kalian buktikan.


But you know what, seperti kata Zamen di Kite Runner, leave the judging to Allah.

Leave it to Him.