Rss Feed

Gadis Kece Goes to Amrik – episod Mengurus Visa!



Cerita di bawah ini bukanlah drama, bukan pula episode sinetron. Kejadian berikut, adalah kisah nyata yang ditulis oleh anak alay yang hobinya nonton Dashyat sambil joget-joget lalala-yeyeye-lalala-yeyeye.

Pada suatu hari, seorang gadis manis nan imut dan kece yang bekerja di perusahaan tambang, dikejutkan oleh kedatangan bosnya si bule Australi yang ganteng, masih muda, berbadan kekar, tapi sayang sudah gak single lagi – eitss salah fokus.
 
Si bos lalu bertanya: “Kamu sudah punya visa Amrik?”. Saya jawab “Gak punya bos.” Si bos lalu bertanya lagi: “Tapi kamu punya paspor?”. Saya jawab lagi, “Gak punya juga bos.” Si bos pun dengan pantang menyerah bertanya lagi: “Tapi kalau nomor telpon, punya kaaaan?”. Saya langsung pingsan.
 
Singkat kata singkat cerita, si bos ini menunjuk saya untuk ikut proses quarterly forecast di headquarter kami di Phoenix, Arizona, US. Business tripnya sendiri akan makan waktu sekitar 1,5 minggu. Waktu pertama diberitahu, bukannya semangat, saya malah lemas.
 
Pertama, karena sejak dulu saya bercita-cita pengen keliling seluruh Indonesia dulu, sebelum nanti ke luar negeri.
 
Alasan kedua, jangan bilang siapa-siapa yah. Ini sungguh alasan ajaib bin katrok bin udik bin kampungan. Saya sebenarnya takut di Amrik sono nanti gak bisa makan apa-apa. Bukaaan, bukan eating disorder ala model-model kerempeng itu. Ini eating disorder yang lebih parah lagi: saya gak bisa makan makanan bule.
 
Boro-boro makan steak dan kawan-kawannya – keju, sosis, mash potato, cream soup saja saya gak bisa makan. Perut saya cuma familiar sama ayam goreng, sayur lodeh, kerupuk, ikan asin, sambal terasi, dan sejenisnya. Lagipula, perut didikan enyak saya ini harus disupply nasi terus, tiga kali sehari.
 
Tapi gak mungkin kan, saya bilang ke beliau kalau saya menolak business trip ke US karena saya takut kurus? Mau ditaruh dimana dong muka saya yang kece ini kalau saya terus terang – saya butuh nasi buat tetap hidup? Belum lagi pesona si bos yang bikin saya kejang-kejang gak sanggup bilang apa-apa. Akhirnya, here I am, mengantri aplikasi visa bersama ratusan orang lainnya di depan Gedung Kedutaan Amrik di Tugu Tani, Jakarta.
 
Mengurus visa itu, jujur saja, frustating. Buat saya yang gak biasa mengurus dokumen dan tetek bengeknya (bahkan KTP dan SIM saya saja diurusin bokap gara-gara keseringan berantem sama petugas), saya jadi seperti anak ayam yang kehilangan induknya, seperti pungguk yang merindukan bulan, bagai menebar garam ke laut, – maaf, keterusan.
 
Satu-satunya hiburan ya, mau gak mau, cari pemandangan segar. Kali-kali saja bisa ketemu mas-mas kece berjambang yang paspornya jatuh, trus saya ambilin, trus kita kenalan, trus trus truuus – imajinasi terlalu liar.
 
Tapi sepertinya semua cowok ganteng sedang gak ada yang ditakdirkan Tuhan untuk mengurus visa hari itu. Jadi akhirnya saya cuma bisa duduk manis dan menunggu sambil manyun. Dalam hati masih berharap, kalaupun gak ada pemohon visa yang ganteng, semoga petugasnya banyak yang ganteng – teteuuuup.
 
Satu kejadian lucu waktu lagi mengantri dengan bosannya. Di sebelah saya ada mbak-mbak manis yang sepertinya mau memperpanjang visa. Di tangannya ada segepok buku paspor. Mata saya seketika tertuju pada sebuah paspor berwarna pink. Apakah ini paspor jenis baru? Atau mungkin memang sayanya saja yang kurang gaul. Maklum, baru pertama kali ke luar negeri.
 
Akhirnya karena penasaran teramat sangat dan dengan sok-sokan membuka obrolan biar gak bosan, saya pun bertanya nyerocos dengan semangat 45, “Mbak, saya baru tahu loh ada paspor pink. Saya kira paspor itu cuma ada warna hijau sama merah. Paspor pink itu paspor buat apa ya?”. Si mbak itu termenung sejenak, menatap wajah saya, lalu melihat saya dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan takjub – memang begitu reaksi normal kalau melihat orang kece. Lalu dengan suara tertahan si mbaknya bilang, “Ini cuma cover paspornya kok yang warna pink.”
 
Guhbraaakkk! Dasar anak katroook, saya baru tahu kalau paspor juga punya cover-cover edisi warna-warni gitu yah. Rasanya kayak mau langsung gali kuburan di taman dekat situ dan gak muncul-muncul lagi. Setelah itu, saya memilih untuk mengantri tanpa buka suara sama sekali. Hihi.
 
Akhirnya setelah menunggu hingga tengah hari, tiba juga waktunya untuk interview visa, bagian yang paling menentukan. Dan jauh dari bayangan saya akan interview one-on-one yang ideal, di ruangan tertutup sambil duduk di sofa, ternyata interview visa cuma dilakukan di depan counter. Pakai mic dan pengeras suara pula, jadi kita bisa mendengar dengan jelas interview orang yang antriannya di depan kita.
 
Tadinya saya gak gugup sama sekali. Boro-boro gugup, yang ada malah ngantuk dan lapar. Tapi sebuah fragmen interview tepat di depan mata saya langsung bikin saya nervous bukan kepalang.
 
Alkisah, ada seorang ibu dan anak gadisnya kira-kira umur SMA. Waktu ditanya, mau ngapain ke Amrik? Mereka bilang mau jalan-jalan. Tujuannya? Shopping. Mau kemana? New York. Dalam rangka apa? Si anak gadis baru lulus SMA. Lalu dengan ramahnya si mas-mas itu bilang, have fun yah di New York nanti, jangan habiskan uang kalian, katanya. Si ibu dan si anak cuma senyum-senyum girang.
 
Eh, setengah menit kemudian, si mas-mas mengumumkan. Dia bilang: Ladies, dengan sangat menyesal, permohonan visa kalian saya TOLAK. Silakan dicoba lagi nanti. Kontan senyum si ibu dan si anak gadis langsung sirna dan mereka langsung pulang dengan misah-misuh.
 
Ini trik psikologis mas-mas-nya hebat juga yah. Habis diangkat-angkat ke surga, eh tiba-tiba langsung ngebanting ke neraka. Itu padahal si ibu dan si anak gadis cantik dan seksoy loh, nah gimana kabar saya?
 
Akhirnya, tiba giliran saya. Sambil komat-kamit baca surat Yasin, saya maju ke depan dan akhirnya bisa melihat bentuk dan wujud si mas-mas. Ternyata bule India, umur sekitar 28-an, agak judes, muka gahar.
 
Saya coba-coba mengeluarkan jurus cewek kece pertama, yaitu dengan senyum malu-malu sambil blushing-blushing jijay. Eh si mas India malah buang muka.


Saya coba keluarkan jurus kedua, main mata sambil kibas poni. Eh si mas India langsung kejang-kejang gelisah, dan tanpa pikir panjang langsung mengabulkan visa saya. Ah, pesona saya ternyata masih belum lekang dimakan rayap.

 
Dan demikianlah. Setelah penantian beberapa hari yang saya habiskan di Bandung, begitu visa oke, saya langsung bertolak ke Bali. Tunggu ceritanya di postingan selanjutnya! :)

 

Pelengkap Kisah



Kamu tahu? Dalam setiap kisah cinta epik yang berakhir indah, selalu ada mereka. Pelengkap kisah, pencinta dengan hati dan pengertian seluas samudera.

Mereka, tempat berlabuh sementara, yang sempat yakin mereka telah bertemu cinta, hingga pada saatnya, begitu hidup menampar mereka dengan realita, mereka mengangkat kepala, dan melepas dengan sukarela.

Tanpa mereka, sang pelengkap kisah, maka ceritera tak lagi sama indahnya, tak lagi manis akhirnya. Mereka bukan tokoh utama, tapi kehadirannya mutlak adanya. Atau kisah itu tak lagi melibatkan petualangan indera, tak lagi luar biasa, tak lagi penuh romansa.

Tapi kamu tahu? Mungkin hanya sedikit sekali dari kita yang bisa melakoninya, secara utuh di dunia nyata. Karena yakinlah, perih rasanya. Perih itu, mungkin juga tak terkira.

Tapi toh mereka harus mengalah. Karena di buku ini mereka bukan sentra cerita. Mereka pelengkap kisah. Ini bukan tentang mereka.

Dan mungkin suatu saat kelak, jika beruntung, sang pelengkap kisah akan menemukan buku lain untuk mereka, dimana mereka bukan lagi pelengkap kisah. Mereka jadi tokoh utama. Percaya, hari itu akan ada.

Karena saya tak bisa. Tak kuasa. Saya menolak menjadi realita. Yang dipilih karena dekat, nyata, dan mencinta. Saya ingin, menjadi absurd, dalam mimpi yang fana, yang didamba.

Dan saya yakin kita akan bersua. Sesama pendongeng tak nyata. Yang mencinta dalam jiwa. Menjadi sepasang pemimpi yang mengarungi dunia. Mungkin bukan di buku ini, mungkin di buku milik kita. Bersama. 



NB: Tengah mempersiapkan hati, bila ternyata kita bukan Kugy. Bila ternyata kita hanya Joshua, Wanda, Luhde, atau Remi. Pun bila nanti demikianlah adanya, maka semoga bisa melepas dengan lapang dada, seperti mereka, sang pelengkap kisah.