Rss Feed

Cukup Kasih Sayang


Percakapan ini terjadi di suatu hari yang spesial, tepat di hari kedua Lebaran 2013. Berlangsung di dalam mobil, di atas jalanan Sangatta – Bontang yang naik turun membelah gunung  dan hutan. Sebuah perjalanan silaturahmi menengok keluarga di Bontang membuat kami, satu keluarga edisi komplit (saya masih kerja di Papua saat itu, dua adik kuliah di Surabaya dan Jogja), bisa berkumpul bersama dalam satu tempat kali ini. 

Kumpul Keluarga Besar Lebaran 2013

 Dan tentu saja, semua jenis percakapan mengalir tanpa terasa. Mulai update berita, interogasi dari orang tua, membongkar rahasia, tawa canda, sampai nostalgia. Menakjubkan betapa perjalanan darat selama sejam itu terasa lebih hangat bahkan dibanding ketika kami berada di rumah. Mungkin karena jarang-jarang kami bisa berkumpul begini. Atau pohon-pohon di luar sana dan alunan lagu Maher Zain membuatnya terasa melankolis. Entahlah. 

Lalu kami sampai di sebuah topik favorit yang mengorek-ngorek lagi cerita masa kecil dulu. Nostalgia semacam ini selalu menyenangkan. Selalu berhasil membuat kami serasa dilempar oleh mesin waktu, kembali ke masa-masa tanpa beban itu. Kami mulai membandingkan perlakuan orang tua kami kepada saya si anak sulung (27 tahun), si anak kedua (25), si anak ketiga (19 tahun), dengan si anak bungsu (9 tahun) yang sekarang tinggal bersama orang tua (baca tulisan ini). 

Dan kami semua sepakat. Menurut kami, perlakuan mereka terhadap si bungsu sangat jauh berbeda dengan perlakuan terhadap kami dulu. Tak lupa tentu menyebut contoh-contohnya. 

Dulu kalau kami tidak belajar, sudah bisa dipastikan sepanjang malam akan dipenuhi omelan bapak. Tapi si bungsu ini kalau malas belajar, paling banter hanya diingatkan, dan setelah itu dibiarkan. Dulu kalau kami berani membantah, jangan harap kami bisa kabur tanpa kena sentilan. Tapi kalau sekarang si bungsu ini melawan, malah diturutin. Dulu suara bapak yang menggelegar selalu memenuhi rumah setiap hari. Sekarang, beliau tampak sangat permisif dan melunak.

Kami bilang, bahaya kalau si bungsu selalu diturutin, nanti malah jadi manja dan tidak bisa apa-apa. Ibu saya, yang dari tadi hanya mesem-mesem lalu nyeletuk. 

“Kalian ini. Gitu aja kok cemburu. Kalian tahu? Hanya karena ibu memberi kalian cukup kasih sayanglah, kalian bisa melanglang buana kemana kalian mau. Cuma itu yang bisa ibu beri. Kasih sayang untuk bekal kalian kemana saja.”

Jleb. 

Enough said. 

Petualangan atas cita-cita saya berjuang menelusuri Indonesia untuk mengabdi, dibekali salah satu senjata terkuat di peradaban bumi ini, kasih sayang seorang ibu. 

Selamat hari ibu :) :)



Mengisi Amunisi Mengajar




Tepat 3 hari setelah resign, saya langsung terbang menuju Jakarta, bertemu dengan 50 sahabat yang datang dari seluruh penjuru negeri, dengan visi dan pandangan yang sama. Kami percaya bahwa, instead of cursing the darkness, better we light a candle.

Candle. Masing-masing kami memang mungkin hanya sebuah lilin. Tapi bila disatukan, insya Allah kami bisa cukup menerangi, itu doa kami. 

Dan berangkatlah kami ke Jatiluhur. Di sebuah bangsal sederhana, saya tidur bersama 32 wanita lainnya, berbagi kelas dengan 50 teman lainnya, untuk mendapat pembekalan selama 2 bulan. Dan tentu saja 2 bulan adalah waktu yang sangat singkat untuk mempelajari semua amunisi pertempuran setahun. Tapi dengan sebuah bismillah, kami memulai perjalanan ini. 

Materi yang kami dapat, jangan ditanya, luar biasa hebatnya. Meskipun pernah beberapa tahun mengajar di sejumlah komunitas jaman kuliah dulu, saya tak pernah berpikir bahwa setiap ucapan seorang guru di kelas dilakukan dengan sebuah alasan, dipersiapkan oleh begitu banyak teori. Every single thing. Yang dilakukan dan yang tak dilakukan guru. 

Kami belajar cara mengajar dengan memperhatikan fungsi dan perkembangan otak anak. Kami belajar berbagai jenis kecerdasan anak yang beragam. Kami belajar berbagai metode belajar yang kreatif, aktif,  dan menyenangkan. Kami belajar cara menangkap perhatian dan menjaga fokus anak. Kami belajar membuat kesepakatan kelas dan melatih disiplin anak. Kami belajar bahwa mengajar bukanlah sekedar berdiri di depan kelas, tapi wajib mempersiapkan materi mengajar hingga sedemikian detailnya. 

Kami jadi paham bahwa kelas perlu diatur sedemikian rupa hingga bisa merangsang daya tangkap anak. Kami jadi paham bahwa menakuti anak dengan memberikan hukuman adalah cara paling primitif untuk mendidik anak. Kami jadi paham bahwa kurikulum sejatinya adalah sebuah janji guru kepada murid kami, berjanji untuk mengerahkan segala daya upaya kami untuk mencerdaskan mereka. Kami jadi paham bahwa sebaik-baiknya mengajar, adalah dengan menjadi teladan. 

Kami jadi percaya bahwa tak ada yang namanya anak bodoh. Percaya bahwa pendidikan tak selalu menyoal nilai dan rengking, tapi justru membangun karakter dan kedekatan manusia dengan penciptanya. Kami percaya bahwa sebagai guru, kami harusnya lebih malu saat anak tak mampu mengantri dengan baik, dibanding saat anak tak naik kelas.  

Kami jadi mengerti bahwa ternyata tugas kami tak sesederhana (kalau bisa dibilang sederhana) mengajar. Adalah sebuah misi Indonesia Mengajar yang lebih besar untuk menggerakkan seluruh entitas dalam skala seluas yang bisa kami jangkau, untuk menjadi lebih peduli terhadap pendidikan. Kami jadi mengerti bahwa isu keberlangsungan di daerah adalah isu yang paling penting, yakni bagaimana caranya menggerakkan semua orang agar kemajuan yang diciptakan bersifat permanen, bukan hanya berpusat pada hadirnya Pengajar Muda. 

Terbukalah mata kami bahwa ini sungguh bukan tentang kami dan aktualisasi kami. Bahwa ini adalah tentang mereka, anak-anak di seluruh penjuru Indonesia yang berhak atas pendidikan yang layak, yang konstruktif, yang berpusat pada mereka. Terbuka mata kami bahwa terlepas dari semua keterbatasan, passion-lah yang akan menjaga kami nanti di sana.  

Subhanallah beratnya yah :)
 
Maka mesti tak jarang rasa kantuk menjajah, rasa letih mendera, kami mencoba terjaga dalam kelas. Fokus pada semua ilmu yang mungkin tak akan kami dapatkan di tempat lain. Menyerap sebanyak-banyaknya semua bekal. 

Beberapa hari lagi kami akan dilepas di hutan selama 4 hari untuk belajar survival dan bertahan hidup di alam bebas. Doakan kami yah :)


Selamat Tinggal, Zona Nyaman!




Baru saja saya mengganti status okupasi di laman Facebook. Dan tertegun saya cukup lama saat mengetik tanggal terakhir saya bekerja sebagai seorang underground mine engineer di sebuah perusahaan tambang tembaga dan emas, tempat saya banyak belajar selama hampir 6 tahun terakhir – untuk menjadi seorang Pengajar Muda.

Banyak orang yang heran dan menanyakan keputusan saya ini. Meninggalkan kemapanan. Menampik tawaran dari atasan yang mencoba menahan. Meninggalkan karier menjanjikan. Hey, are you sure about this?

Dan  hey, yes I am. Saya tidak bisa menjelaskan kenapa. It just felt right. Saya bahkan tidak berpikir panjang saat memutuskannya. Saya bahkan tidak merasa ini adalah pengorbanan sama sekali.

Cerita ini dimulai lama sekali, 4 tahun lalu tepatnya, saat saya pertama kali jatuh cinta pada program Indonesia Mengajar. Tapi saat itu kondisinya simply tidak memungkinkan, saya punya 2 adik yang harus dibiayai kuliah. Jadi saya lanjut bekerja.

Sampai bertahun-tahun berlalu, saya terjebak dalam zona nyaman itu. Zona dimana saya sempat merasa saya sudah cukup mengaktualisasi diri, dengan bayaran yang menjanjikan pula. Dan mimpi itu pun terdampar entah kemana. Mimpi itu berangsur pudar, nyaris tak berbekas. Saya terperangkap dalam rutinitas.

Sampai sebuah campur tangan Tuhan membuat saya menonton film 5cm. Film itu berkata, Biarkan keyakinanmu, 5cm mengambang di depan keningmu, dan sehabis itu yang kamu perlukan hanyalah kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa. Dan yah, ucapan itu seperti mengorek kembali mimpi yang sempat terkubur. Seperti menegur. 

Pulang dari situ pikiran ini tak kunjung sirna. Hingga suatu pagi saya terbangun dan dengan pikiran jernih yang belum terkontaminasi tetek bengek pekerjaan, saya membuat deal dengan diri sendiri. Mari kejar lagi mimpi itu, sudah terlalu lama ia membeku. 

Dan saya menyusun strategi. Satu tahun lamanya saya menabung, cukup hingga kedua adik bisa lulus kuliah tanpa kesusahan. Saya menahan diri untuk tidak travelling dan bahkan berhenti diving. Saya mencari dua rekan kerja yang saya persiapkan untuk mengganti posisi saya di perusahaan. Intinya, saya siap lahir batin untuk maju ke medan tempur. 

Tapi jangan kira keputusan ini bukannya tanpa aral. Berjam-jam saya habiskan bercucuran air mata untuk meyakinkan orang tua. Bagi mereka, konsep pengabdian adalah hal yang absurd, yang entah ada di dimensi dunia sebelah mana. 

Melepaskan pekerjaan yang sangat saya cintai juga cukup berat. Tapi seperti yang saya bilang, tekad itu sudah bulat. Banyak rekan kerja yang menganggap saya gila, saat saya justru merasa sangat waras. 

Ya, saya memang meninggalkan banyak hal. Tapi saya juga yakin saya akan mendapatkan lebih banyak lagi hal yang jauh lebih berharga. Mendapat kesempatan untuk membangun pondasi hidup sebagian kecil anak bangsa di pelosok negeri, sungguh suatu kehormatan buat saya. 

Farewell kantor, will surely miss ya' all guys :)

Jadi, selamat tinggal zona nyaman! :)