Rss Feed

Trans Studio Makassar (Karena Ia Lebih dari Sekedar Wahana)



Dulu, waktu masih kecil, saya paling senang jika bapak mengajak kami, saya dan sang adik yang terpaut 2 tahun – untuk jalan-jalan sore. Maka sedari siang kami pun mendadak rajin mandi, bersisir yang klimis, tak lupa tentunya pakai baju kembaran yang paling necis.

Padahal kami sebenarnya tak kemana-mana. Kampung kami tak mengenal kata mall atau pusat perbelanjaan. Sesungguhnya kami hanya ke taman kota dan makan bakso di warung langganan. Selebihnya, kami hanya duduk-duduk dan menikmati keramaian.

Ya, duduk-duduk di taman dan melihat orang yang berlalu-lalang memang sudah cukup membuat kami bahagia. Entah kenapa, sensasi berada di sebuah ruang yang sama dengan sedemikian banyak orang yang entah dari mana – terasa menghangatkan jiwa. Ada seuntai perasaan terhubung yang tak kasat mata, yang susah dijelaskan dengan kata-kata. Pokoknya rasanya bahagia, itu saja.

Perasaan ini terbawa hingga saya dewasa. Lebaran dan hari raya adalah momen yang selalu saya nantikan karena saat itu rumah akan dipenuhi sanak keluarga yang datang berkunjung. Saat kuliah, saya memilih untuk menyewa kamar kos bersama seorang roommate. Saya gemar ke bioskop dan karaoke bersama teman-teman di akhir minggu. Keramaian itu buat saya, menyenangkan.

Sekitar setengah tahun yang lalu, saya dan keluarga besar – bapak, ibu, saya, dan 3 adik – kebetulan berlibur ke Makassar dan berkesempatan untuk berkunjung ke Trans Studio Makassar. Antrian panjang di loket karcis tak menyurutkan niat kami untuk bersenang-senang, dan sebaliknya justru kami manfaatkan untuk bermain tebak-tebakan.

Semua wahana yang ada tentu saja kami coba.

Saya dan adik-adik menjerit histeris saat diayun dengan sadis di wahana Giant Swing. Tapi meski demikian, kami bahkan ikut antrian lagi saking senangnya. Di wahana Dunia Lain, kami mengompori sang adik yang penakut, dan sukses membuatnya menangis hingga kami harus rela dijewer bapak dan ibu. Kami tergila-gila pada Dragon's Tower yang super keren, sampai harus diusir petugas karena tak mau turun. Kami menikmati nostalgia masa kecil dengan bermain Bumper Car dan tertawa girang sekali hingga nyaris menangis. Suasana antrian wahana yang bagi sebagian orang membosankan justru dimanfaatkan dengan lihainya oleh adik lelaki saya, untuk berkenalan dengan gadis-gadis unyu. Bisa aja!

Bapak dan ibu tentu saja sudah tak berminat lagi mencoba wahana yang memompa adrenalin, tapi mereka sangat menikmati menonton atraksi teater musikal dan film di bioskop 4 dimensi. Selebihnya, ketika anak-anaknya berlarian entah kemana, mereka lalu jalan-jalan berdua, melihat-lihat hiruk pikuk manusia, sementara tangan ibu erat menggandeng bapak, seperti dunia hanya milik berdua. Kami sampai iri dibuatnya, hahaha.

Setelah suara habis karena berteriak-teriak, tentu saja kami tak melewatkan acara makan bersama dengan beraneka menu kedai di Trans Studio yang menggugah selera. Seperti biasa, saya akan mengoper semua sayur di piring kepada adik-adik, dan sebagai balasnya saya dapat jatah bawang gorengnya. Ibu akan selalu jadi sosok yang mengingatkan kami supaya tak kelewat semangat cerita saat masih mengunyah, sementara bapak akan selalu makan dengan anteng dan setia dengan air putih hangatnya.

Dan demikianlah Trans Studio telah menjadi bagian dari akhir pekan kami yang berkualitas. Saat mata terkantuk-kantuk di mobil dalam perjalanan pulang, saya baru menyadari bahwa sudah cukup lama keluarga kami tidak hang-out bersama dan tertawa-tawa lepas seperti hari itu. Trans Studio rupanya, secara ajaib dan tak disangka-sangka telah mengeratkan kembali kebersamaan keluarga kami.

Aku menengok adik lelakiku yang tengah menyetir. Lihat kini betapa akrab guyonnya dengan bapak setelah baru saja tadi pagi mereka cekcok hebat. Lihat bapak dan ibu akhirnya bisa kencan berdua saja setelah setiap hari disibukkan dengan tetek-bengek rumah tangga. Lihat saya dan adik-adik yang kini jarang bertemu karena kuliah di luar kota, kini bisa menghabiskan waktu dengan sorak kegirangan persis anak kecil, just like the old times.

Sungguh buat saya, Trans Studio bukan hanya sekedar aneka wahana. Jauh di atas itu, ada rasa keterhubungan yang ditawarkan dengan bersahaja, tersembunyi samar-samar dalam megah aneka atraksi dan hiburan, kios oleh-oleh di pojokan, bangku di kiri-kanan jalan, dan sayup-sayup ramai tawa di kejauhan. 

Dan tiba-tiba, saya tersenyum dan merasa hangat.

Mimpi Seorang Guru



Mimpi seorang guru tidaklah muluk. Bahkan kadang terlampau sederhana.

Mimpi seorang guru adalah melihat binar-binar mata anak didiknya kala diceritakan tentang lubang hitam di luar angkasa yang bisa menghisap segala rupa, planet Jupiter yang lebih besar dari raksasa, komet berekor yang hanya bisa dilihat 76 tahun sekali lamanya, dan astronot yang melayang-layang di bulan hampa udara.

Mimpi seorang guru adalah menjadi saksi atas tumbuh kembang siswa-siswanya. Seorang anak cengeng yang belajar pergi ke sekolah sendiri tanpa ditemani ibunya. Seorang anak pemalu yang belajar membaca dengan lantang di depan kelas. Seorang anak gugup yang belajar berani mengangkat tangannya. Anak-anak yang menjadi dewasa setiap harinya di depan matanya.

Mimpi seorang guru adalah menyaksikan muridnya tergesa-gesa hendak ke perpustakaan, tak sabar ingin tenggelam di tumpukan buku-buku, menjelajah lewat jendela dunia, bertualang ke negeri antah berantah, menembus sekat-sekat desa, dan melepaskan imajinasi tanpa batas.  

Dongeng saban Sabtu di kelas kecil kami :)

Mimpi seorang guru adalah melihat anak didiknya bersemangat menjinjing tasnya ke sekolah. Tak peduli jalan kaki melewati dua gunung dan menyeberang sungai. Tak peduli bertelanjang kaki karena sepatu tua satu-satunya telah robek dimakan usia. Tak peduli hujan semalam membuat kelas bocor di sana-sini.  Tak peduli seragam putih sudah menguning dan rok merah telah memudar.

Mimpi seorang guru adalah membimbing siswa-siswanya agar luhur budi pekertinya. Anak egois belajar membagi bekalnya. Anak hiperaktif belajar bersabar dan mengantri. Anak agresif belajar meminta maaf. Anak yang ditindas belajar memaafkan. Satu kelas belajar berempati dan menjenguk temannya yang sakit.

Mimpi seorang guru adalah melihat muridnya yang dulu ingusan dan pipis di celana bertransformasi menjadi dokter hebat, pengacara kondang, ustadz yang menjadi teladan, koki terkenal, politikus bersih, pengusaha sukses, hingga ibu rumah tangga yang dipuja anak-anaknya.

Mimpi seorang guru adalah melihat acungan tangan-tangan mungil bermunculan di udara, jawaban kritis serba logis, serta pertanyaan-pertanyaan unik penuh rasa ingin tahu. Mengapa kepiting jalannya miring, dari mana datangnya agama, dan kemana perginya air dari jemuran yang mengering?

Mimpi seorang guru adalah melihat setiap bakat anak didiknya yang beragam diapresiasi dan dihargai, melampaui sekedar angka-angka di kertas. Anak yang lihai melucu tapi takut kegelapan. Anak yang mahir menyanyi tapi tak bisa menari. Anak yang jago bulutangkis tapi lemah di matematika. Anak yang pandai melukis tapi enggan berolahraga. Anak yang hebat menganalisa tapi bingung berkata-kata. Tiap anak memukau dengan caranya.

Mimpi seorang guru adalah melihat muridnya tertawa lepas bermain di lapangan dengan teman dari semua golongan. Tak melihat sukunya, apalagi warna kulitnya. Tak peduli jenis kelaminnya, apalagi agamanya. Tak pandang status sosialnya, apalagi pekerjaan bapaknya.

Mimpi seorang guru adalah kontribusinya menjadi setitik noktah pengabdian untuk negeri. Mendidik sebuah generasi yang nantinya kelak akan jadi pemimpinnya sendiri. Menanamkan pondasi akhlak paling dasar di kehidupan muridnya yang kelak akan jadi ladang pahala untuknya.

Mimpi seorang guru adalah bukan untuk dikenang, melainkan untuk diamalkan ajarannya. Bukan untuk diberi pamrih, tapi untuk diteruskan ilmunya.

Mimpi seorang guru tidaklah pernah muluk. Bahkan kadang terlampau sederhana. Pun sederhana ia tidaklah mudah.

Mimpi seorang guru adalah adalah juga doanya, pintanya, nina bobonya, tembang hidupnya.  Aku percaya setiap guru berbagi mimpi yang sama, berbagi doa yang serupa. Bukan demi apa-apa, apalagi demi harta. Adalah semua semata demi bangsa.



~ Moilong, Agustus 2014
Education is the tranmission of civilization. – Will Durant



NB: Tulisan ini  diikutsertakan dalam blog contest Mimpi Properti

http://www.kontesmimpiproperti.com/

Sekeping Lima Ribu dan Rejeki yang Tak Kemana




Ini hanya satu cerita sepele. Tapi yang sepele ini, meninggalkan kesan begitu dalam dan sejujurnya, menampar.

Cerita berawal ketika saya hendak berangkat dari desa menuju kota kabupaten yang jaraknya sekitar 3 jam perjalanan via darat. Biasanya oto langganan – yang sedang tidak berangkat hari itu – akan mengantar penumpangnya sampai ke kota, tapi oto yang saya naiki kali ini menurunkan penumpangnya di terminal, yang jaraknya masih jauuuuh dari kota.

Saya coba melobi pak sopir untuk lanjut ke kota dengan tambahan biaya, tapi beliau bersikeras punya urusan lain. Saya tak bisa bohong bahwa saat itu saya cukup kesal. Kesal karena harus naik ojek, sementara cuaca sedang gerimis, dan saya sedang membawa cukup banyak barang bawaan. Tapi apa daya, decision has been made, dan saya pantang membujuk dua kali.

Tukang ojek saya seorang pemuda culun. Kami menembus hujan rintik-rintik dengan bawaan kanan kiri tanpa banyak bicara. Sesampainya di tempat tujuan, saya langsung memberinya uang 10 ribu. Saya tahu ongkos ojek berkisar 10 sampai 15 ribu. Saya bersikeras di margin bawah, setengahnya masih terbawa-bawa kekesalan pada sang supir oto.

Sang tukang ojek lantas meminta 15 ribu. Saya yang masih bad mood balik memprotes dengan nada nyolot, memangnya saya baru sekali ini naik ojek mas? – begitu kataku.

Pemuda ini dengan muka memelas bilang, sekarang ongkosnya 15 ribu mbak, semua ojek juga segitu. Saya tidak mau tahu.

Terus bawaannya mbak banyak banget, katanya masih berusaha mendapat bayarannya. Lah terus kenapa mas kalau bawaan saya banyak? – kataku sambil melengos.

Sampai di kamar, baru saya terhenyak. Astaga, ada apa dengan saya? Saya sama sekali bukan tipe orang yang sayang uang, sama sekali tidak. Lalu kenapa saya jadi sepelit itu? Masya Allah. Ingin rasanya berlindung di balik justifikasi bahwa: saya sedang kesal! Tapi bukankah tak adil namanya bila menumpahkannya pada tukang ojek yang tidak tahu dan tidak salah apa-apa?

Padahal cuma selisih 5 ribu. 5 ribu yang membuat si tukang ojek berlalu dengan muka tertekuk, mungkin mengutuki nasibnya hari itu. 

Tuhan toh membalas dengan cara-Nya.

Siang itu saya makan siang di sebuah warung bersama seorang teman. Kami asyik mengobrol lalu bergegas pulang. Sampai di rumah saya baru sadar bahwa kunci kamar saya tertinggal di tempat makan, dan akhirnya memutuskan untuk naik angkot untuk kembali ke warung lalu balik ke rumah, dengan ongkos pas persis exactly 5 ribu. Hahaha.

Siang itu saya sadar. Apa yang bukan milikmu tidak akan pernah jadi milikmu. 5 ribu hak tukang ojek yang saya tahan itu akhirnya diambil kembali oleh Tuhan. 5 ribu itu nyatanya, memang tak pernah punya saya, bukan hak saya.

Dan saya semakin meyakini bahwa, oleh Tuhan, rezeki kita tak pernah tertukar.
                                                   


Moilong, Sulawesi Tengah
- Masih menguatkan hati di tengah keuangan morat-marit

Jelajah Sehari Murah Meriah Belitung Timur!



Jadi, tebak kemana kita pergi kali ini? Yup, Belitung – yang akhir-akhir ini sedang trending di dunia pariwisata Indonesia. Rombongan kali ini terdiri dari tiga orang rekan kerja yang sudah saling kenal luar dalam, hehe.. Dengan berbekal itinerary acuan entah dari mana, e-book Lonely Planet yang surprisingly punya ulasan yang lumayan lengkap, dan memori hasil tontonan film Laskar Pelangi, berangkatlah kami, seperti biasa hanya berbekal keyakinan bahwa: what will be, will be :)


Pagi ini, jam6 kami sudah melek dengan segar bugar dan segera nongkrong ke gazebo di bagian belakang hotel murah meriah persis di tepi pantai. Belum mandi, belum sikat gigi, langsung sarapan nasi goreng, menyesap teh hangat, lalu menghisap rokok ditemani angin pagi dan aroma pasir pantai. Ahhh, nikmatnya tak terkatakan.. The beauty of doing nothing. Puas nongkrong di gazebo sampai masuk angin, akhirnya dilanjutkan dengan saling tunjuk-tunjukan siapa yang mandi duluan. Belum lagi kalau ada yang pakai acara nyetor pagi-pagi.

 

Agenda kami hari ini adalah jelajah ke Belitung Timur! Tengok dompet, eh cuma ada duit 50 rebu. Tapi tenang aja, yang namanya backpacker kere macam kami ini pasti banyak akalnya, hahaha. Pagi ini kami sudah bersiap-siap berangkat, mulai dari periksa motor Fino FI sebelum dipakai jalan-jalan, lalu isi bensin 2 liter – yang berarti sekarang duit saya sisa Rp 36 ribu. Nah, ini juga sebenarnya alasan kami enggan menggunakan jasa travel organizer atau sejenisnya. Kami lebih senang begini, bebas mau kemana, memilih destinasi yang mana, tidak dikejar-kejar waktu. Filosofi kami, liburan itu kalau gak santai berarti bukan liburan namanya. Tul gak? :)

Nah, sudah sejak dulu kami ini penasaran pengen menjajal warung kopi yang, percaya atau tidak, jumlahnya mungkin ada ribuan di seluruh Belitung! Buat yang sudah baca buku tetralogi Laskar Pelangi pasti sudah paham. Jadi, yang unik di Belitung ini, masyarakatnya sangat gemar berkumpul. Kalau kata anak muda jaman sekarang, hang-out dan nongkrong-nongkrong gitu deh.

Gak tua, gak muda, tiga generasi semua hobi sekali berkumpul di warung kopi. Disini mereka bisa nongkrong seharian, mengobrol, membual, dan menggosipkan apa saja. Warung kopi bagi Belitung adalah pusat informasi, media sosialisasi, dan juga sentra kehidupan masyarakat sini. Hebat yah?

Nah, di antara ribuan warung kopi yang ada disini, ada satu nama yang paling menonjol. Referensinya pasti sudah ada di berita kuliner Belitung. Namanya warung kopi Ake, warung kopi legendaris yang sudah berdiri dari tahun 1922. Sarung cap Gajah Duduk aja mah lewat, masih kalah tua sama umur warkop ini.

Menemukan warung kopi ini agak penuh perjuangan, karena ternyata letaknya ngumpet dibelakang toko. Harus melewati gang kecil selebar badan manusia. Hebatnya, perkakasnya masih sangat dijaga dan dipakai sampai sekarang. Ada 3 tungku yang dipakai, masing-masing umurnya sampai 90 tahun. Mungkin kerak-kerak di tungku itu yang bikin enak kali ya. Huahhh, saluuut!



Pak Ake ini adalah generasi ketiga penerus usaha ini. Disini kopi diseduh langsung setelah dipesan, dengan tungku arang. Jujur saya bukan penggemar kopi, jadi jangan tanya saya gimana rasanya. Tapi kopi susu saya rasanya cukup nikmat. Dan muraaaah, hanya 4 ribu per gelasnya, jadi uang saya sekarang sisa 32 ribu rupiah. Kebayang gak sih betapa senangnya kalau yang biasa ngopi di Starbucks harus bayar 40 ribu buat secangkir kopi, disini hanya perlu bayar sepersepuluhnya untuk kopi hitam otentik yang mungkin sama enaknya atau bisa jadi lebih enak rasanya?


Buat yang lapar, pas di sebelah warung kopi pak Ake ini juga ada yang jual makanan berat dan sudah terkenal juga di Belitung raya ini. Namanya Suto Belitung, umurnya selang 3 tahun dengan warung kopi Ake. Suto Belitung ini formatnya mirip soto, tapi berbeda sedikit. Isinya potongan lontong, irisan daging, kentang, soun, timun, dengan kuah daging bumbu rempah. Rasanya agak manis dan segar. Jadi combo kenyangnya! Tengok dompet, masih sisa 26 ribu rupiah.


Dalam perjalanan kesana, kami singgah dulu di destinasi pertama: Rumah Adat Belitung. Jadi rumah ini adalah semacam bangunan tradisional khas Belitung yang juga dijadikan museum mini, tempat pengunjung bisa belajar tradisi dan sejarah Belitung. 

Arsitekturnya berbentuk rumah panggung, didalamnya hanya ada satu ruangan luas tanpa sekat. Di sepanjang dindingnya dipajang foto-foto dari jaman baheula tentang sejarah Belitung. Banyak juga dipamerkan barang khas tradisional, replika pengantin adat, alat pertanian, dan diputarkan lagu-lagu adat yang bikin kita seolah terlempar seketika ke Belitung jaman jebot. 


Saya, perawan kembang desa yang belum pernah jadi penganten ini, jadi iseng-iseng pengen mencoba baju adat penganten wanitanya. Dan beginilah tampilan saya dalam balutan busana adat. Boook, ternyata ribet yah jadi penganten, selain aksesoris gelangnya yang bunyi kerincing-kerincing tiap bergerak dan hiasan kepala yang waktu dipasang di kepala berasa jadi kayak punya tanduk, gerahnya juga naujubile.


Setelah puas melihat-lihat, kami bersiap untuk perjalanan yang agak panjang menuju timur. Jadi, kalau dilihat di peta, rute yang akan ditempuh benar-benar dari ujung barat ke ujung timur pulau. Dan jujur saja, sebenarnya we have no idea tentang bagaimana rute dan kondisi jalan ke sana, but isn’t it the art of getting lost? Hehe.. Pokoknya selama kompas masih menuju arah timur, kami yakin akan baik-baik saja. 

Tahu apa yang paling menakjubkan dari Belitung? Jalan rayanya, saudara-saudara! Oh tidak, anda tidak salah baca, kami pun takjub betapa jalan raya di sini bahkan jauh lebih bagus dari jalan di kota-kota besar. Jalan disini luas, mulus diaspal, tanpa cacat, no bumpy road, dan yang paling penting: lengaaaang! There’s no such thing yang namanya macet, wong mobil juga hanya papasan sekali-kali. Not to mention marka jalan dan signboard yang komplit plit plit di setiap persimpangan. That’s why naik motor rame-rame dengan teman could be soooo fun disini, apalagi sambil merasakan langsung angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah. Ahhh, heaven on earth:) 

Menit-menit pertama, tiga sekawan ini masih antusias dan semangat. Ada yang nyetir sambil ngeceng, ada yang nyanyi-nyanyi galau, ada juga yang sampai koprol-koprol dan sikap lilin di jok motor *oke ini lebay. Dan setelah berkendara kurang lebih satu setengah jam, akhirnya kami melihat penampakan plang jalan bertuliskan GANTONG. Horee! Ternyata sudah sampai! 


Nah, siapa yang belum pernah dengar Gantong? Oh bukaaan, bukan tempat air, itu gentong. Bukan juga bendi, itu andong bro. Gantong itu nama lokasi di cerita Laskar Pelangi yang tersohor itu. Konon dengar-dengar, semenjak Laskar Pelangi difilmkan dan booming gila-gilaan, nama Belitung juga jadi ikut termashyur. Bahkan tidak jarang ditemui slogan-slogan di penjuru pulau yang mengklaim Belitung sebagai kota Laskar Pelangi. Dan berhubung Laskar Pelangi ini katanya kisah nyata, napak tilas Laskar Pelangi ini akhirnya dijadikan semacam daya tarik pariwisata tersendiri di Gantong.

Hanya saja ternyata lokasi Laskar Pelangi ini agak berbelit-belit rutenya, karena juga berada di dalam (bekas) kompleks PT. Timah yang tersohor itu. Kalau sudah begini, saatnya navigator kece beraksi dengan cara memikat siapa saja yang bisa ditanyai jalan. Dengan sedikit senyum manis dan keahlian negosiasi yang handal ala Black Widow, para tukang tambal ban atau penjaga warung kelontong pinggir jalan itu akhirnya mau buka mulut juga – hahaha.

Jadi memang orang Belitung itu pada dasarnya ramah-ramah, suka menolong, gemar menabung, dan rajin mengamalkan Pancasila, jadi tidak ada kesulitan sama sekali untuk bertanya pada mereka. Sayangnya, keterangan dari abang-abang ini juga kadang-kadang menyesatkan. Jadi pelajaran moralnya adalah, pastikan untuk paling tidak bertanya pada 2 orang, minimal ada pembanding lah, terus turuti saran abang yang lebih ganteng. 

Setelah beberapa kali nyasar, ditambah acara cekcok dan tampol-tampolan, akhirnya motor kami masuk ke belokan terakhir menuju SDN Muhammadiyah Gantong, sekolah Laskar Pelangi yang sudah kami damba-dambakan sejak tadi. Tapi eits, mata kami lalu tertumbuk pada sebuah rumah putih kecil dengan plang kayu bertuliskan “Laskar Pelangi Tourist Centre”. Karena merasa kami juga turis kan ya – meskipun turis kere – dengan penasaran membuncah, kami pun memarkir motor. 

Selagi 2 fotografer itu sibuk dengan tripod dan tetek bengeknya, saya iseng-iseng mengetuk pintu rumah tersebut. Hening. Saya beranikan diri mengintip, ternyata didalamnya semacam galeri begitu, banyak foto-foto dan lukisan di dinding, perkakas-perkakas nampak berserakan, seperti ada yang sedang dipersiapkan disana. Selain itu, ada seorang pria yang tengah tidur dengan lelapnya di tengah ruangan besar itu. Saya ketuk pintu lagi. Masih tidak ada jawaban.

Saya lalu mengamati foto close-up Andrea Hirata yang dipajang dekat pintu, tanpa sengaja menengok kembali pria yang entah tidur entah pingsan itu, dan ajaibnya kedua wajah itu,,, keritingnya mirip, hidungnya mirip, topinya mirip. Apakah ini fatamorgana, ya Alloh? Sebelum sempat menyimpulkan, saya terpekik, pria itu sudah didepan saya menghunus pisau berlumuran darah – ini efek kebanyakan nonton film pocong. Maksudnya, saya terpekik karena itu Andrea Hirata betulan, saya punya kesempatan foto bareng dengan artis, tapi saya kucel, rambut acak-acakan dan gak bawa Relaxa! Hahaha.


Kami lalu melanjutkan perjalanan ke SDN Muhammadiyah yang hanya berkisar 5 menit dari tourist-centre. Can’t believe I’m really here, menyaksikan dengan mata kepala sendiri replika sekolah legendaris ini. Bangunannya memang persis sederhana, agak miring, lengkap dengan balok kayu penyangga di satu sisi supaya tidak roboh. Kelasnya hanya 3 buah, masing-masing sudah reyot dengan dinding yang sudah jarang-jarang. 


Mungkin agak lebay yah, tapi saya merasa ada aura magis, semacam kehangatan yang menyusup seketika saat saya melihat betapa sekolah sebersahaja ini tak menyurutkan semangat belajar bocah-bocah pantang menyerah itu. Ah saya jadi malu.. Malu karena perjuangan sekolah saya dulu sebenarnya tak ada apa-apanya dibanding mereka, dan malu karena ternyata resleting saya belum dikancing. 


Disini kami juga bertemu dengan anak-anak asli penduduk sini yang sedang asyik bermain di sekitar gerbang sekolah. Ternyata mereka ini artis-artis cilik yang bermain di sinetron Laskar Pelangi versi TV, tepatnya pemeran Boreks dan Trapani. Sebenarnya kata orang, tokoh asli Laskar Pelangi pun sampai sekarang masih hidup dan tinggal di Belitung. Mungkin lain kali bisa kita lanjutkan liburan khusus untuk hunting tokoh dan artis Laskar Pelangi, tapi yang jelas semua wisata Laskar Pelangi ini bisa dinikmati tanpa keluar duit sepeser pun. Murah meriah kan? :)


Keluar dari Gantong, karena tuntutan perut yang menggedor-gedor, kami sepakat buat singgah di warung makan sederhana pinggir jalan. Makan yang banyak, recharge kembali energi untuk lanjut jalan-jalan seru. Buat makan ini, kami hanya mengeluarkan duit 10 ribu untuk nasi putih segunung, telor balado, tahu tempe, dan es teh. Yummeehh. Jadi duit kami sekarang sisa 20 ribu.

Masih di wilayah Belitung Timur, perjalanan lalu dilanjutkan ke Pantai Bukit Batu. Agak perjuangan juga buat sampai ke pantai ini. Jalan menuju kesana agak jauh jaraknya dan meskipun masih beraspal, setelah diperhatikan ternyata makin kedalam jalannya makin sempit, sampai akhirnya hanya jadi jalan setapak yang nampak jarang dilalui orang. Sempat kepikiran buat mutar balik, karena tidak nampak ada tanda-tanda kehidupan dan tak ada satu pun batang hidung yang bisa ditanyai, tapi insting James Bond kami membuat kami pantang kembali kalau misi belum tercapai.

Tapi semakin lama kok, kanan kiri jalan berubah jadi hutan yang makin rapat dan makin gelap karena cahaya matahari terhalang rimbunnya pohon dan semak. Belum lagi partisipasi deretan lampu antik di kanan kiri jalan, yang bentuknya agak kuno-kuno gimanaaa gitu, sungguhan bikin suasana makin horor. Kalau saja kami ini bukan anak-anak sholeh yang rajin sholat, gemar mengaji, dan kuat iman, pastilah saat itu juga kami sudah memutar balik motor.

Akhirnya rimbunan pohon makin berkurang, jalanan makin terang, dan sampailah kami di sebuah bukit yang asri. Disitu kami melihat sebuah mobil yang sedang parkir, dan seketika itu juga kami langsung sujud syukur dan bikin kenduri 7 hari 7 malam. Tidak terkatakan leganya ketemu indikasi eksistensi makhluk hidup disana. 

Di bukit ini nampak beberapa bangunan kecil, sepertinya bekas fasilitas wisata, tapi sudah sangat tak terawat. Jadi, masuk ke sini pun tak perlu bayar tiket alias gratis tis tis. Yah kalau dipikir-pikir lagi, siapa juga yang mau berkendara jauh-jauh kesini cuma buat lihat pantai yang sebenarnya juga ada banyak di seluruh penjuru Belitung. Pilihannya kalau bukan traveler gila dengan rasa penasaran terlampau tinggi kayak kami ini, ya muda-mudi yang lagi cari tempat mojok yang sepi kali ya. Itulah kesimpulan dari investigasi dan analisis sok tahu kami.


Menuruni bukit, ada jalan setapak kecil menuju ke sebuah bilik di seberang. Jalan setapak dan bilik itu membagi pantai menjadi 2 bagian. Dan seperti namanya, pasti sebenarnya sudah ketebak bahwa daya tarik utama dari pantai ini masih berupa batu. Disini batu-batunya tidak terlalu massive tapi banyaaaak, berserakan dan menumpuk tepat di bibir pantai. Ini tentunya berkorelasi positif dengan populasi udang di balik batu – ngook. Pasir disini putih dan halus, dan ombaknya malu-malu. 

  
Nah, di pantai ini lalu diisi dengan photo-session. Dan berhubung ini 2 pria pada bawa-bawa kamera gede dan sibuk motret-motret semua, sudah ketebak kan siapa yang jadi modelnya? Apa?? Saya?? Salah besar.. Yang jadi modelnya tetap batu-batu itu, saya cuma ornamen pelengkapnya, yang difoto di sebelah batu biar jadi pembanding ukurannya gitu. Sedih ya? Yah begitulah. Jadi, pelajaran di Belitung, berliburlah dengan fotografer supaya banyak difoto, tapi jangan fotografer yang lebih tertarik pada obyek batu daripada modelnya – halaaah.


Setelah puas foto-foto, nungguin pria-pria ini ngecengin cewek grup turis di bagian pantai sebelah, dan baca surat Yasin 7x juga tentunya, kami kembali melewati jalan setapak berdarah yang ternyata tidak berkurang level horornya, tapi kami akhirnya berhasil keluar dari sana hidup-hidup.

Destinasi berikutnya adalah Vihara Dewi Kwan Im, masih di wilayah timur tak jauh dari Bukit Batu. Masuk ke sini pun tak perlu bayar, memang yang namanya backpacker paling jago pilih tempat wisata yang murah meriah ya, hahaha.

Kesan pertama begitu melihat vihara ini adalah.. merah. Kenapa begitu? Sungguh pertanyaan yang tidak perlu, tentu saja karena viharanya dicat merah, makanya merah. Saya sih sebenarnya belum terlalu banyak melihat vihara, tapi bisa dibilang vihara ini cukup besar dan luas. Ada banyak pendopo, tangga, tempat berdoa, tungku, patung dewa, dan bau dupa yang menyeruak di udara. Kesannya sangat oriental, apalagi dengan ukiran-ukiran naga di pilar-pilarnya yang semuanya berwarna merah. 


Kalau boleh jujur, meskipun saya bukan penganut Budha, saya berani bilang bahwa ada aura spiritual sangat kental yang terasa begitu saya menjejakkan kaki disana. Itulah sebabnya, kami berusaha menghormati tempat ibadah ini, cukup melihat, memotret, tidak menyentuh apa-apa, tidak rusuh, dan tidak sompral. Bagaimanapun juga, meskipun sudah jadi obyek wisata, vihara tetaplah tempat sembahyang, tempat kontak vertikal penganut Budha dan penciptanya, terjadi disana. Jadi, ingat untuk jadi traveler yang menghormati budaya yah agan-agan:)


Pulang dari vihara, hari sudah sore dan langit nampak bersahabat. Kali ini insting kami memilih pantai Burong Mandi sebagai penutup. Pantai yang sebenarnya tidak tercantum dalam itinerary yang kami punya, tapi tiap abang-abang yang kami tanyai di jalan selalu merekomendasikan untuk kesana. Perjalanan menuju pantai ini sangat menyenangkan. Kami tak lagi menjejak tanah – kok jadi kayak kuntilanak – melainkan sudah berupa pasir. Di kanan kiri jalan berjejer rumah penduduk dari kayu yang sederhana. Jendela mobil kami buka, membiarkan wajah kami disapa angin laut sore. Beberapa penduduk lalu lalang dan tersenyum ramah. Ahh, perfect combination! 

Pantai Burong Mandi, diluar dugaan tidaklah berbatu-batu seperti yang kami prediksi, yang berarti juga gak ada udang dibaliknya – teteuuup yah. Hanya pantai sederhana, garis pantai yang lurus, air laut yang mulai pasang, ombak bergemuruh, dan pasir putih yang halus. Yang tidak biasa adalah deretan perahu warna-warni eye-catching yang ditambatkan rapi berjejer di sepanjang pantai. Cantik sekali, secantik wanita yang menulis ini.


Sempat dapat beberapa momen sunset, tapi tidak terlalu dashyat. Dan setelah sunset usai dan photo session selesai, tinggallah kami bertiga, duduk berselonjor, menghadap laut, dan bercengkerama dengan ombak – sudah mulai berhalusinasi. Masing-masing dengan khusyuk berkontemplasi, merenung, menggalau,dan apalah itu you name it, sampai akhirnya seorang bapak-bapak teriak dengan hebohnya, dilarang duduk di atas perahu katanya, sambil mengacung-acungkan jarinya, yang sukses bikin kami lari terbirit-birit sambil nyengir-nyengir. 


Seiring dengan tuntasnya perjalanan petang itu, sebuah PR masih menunggu kami. Berkendara pulang selama 2 jam, pemirsa! Sebelum pulang, kami isi bensin dulu tambahan, jadi uang sisa kami adalah 13 ribu rupiah. Dan untuk pertama kalinya selama saya hidup, saya bersyukur sekali dilahirkan sebagai perempuan, hihi. Let the boys handle such thing! Saya tinggal duduk dibonceng, nyemil, dan ngobrol.

Di tengah jalan kami sempat kelimpungan, tak tahu arah pulang. Maklum, sudah gelap dan kami sudah berputar-putar seharian tadi. Akhirnya saya didaulat lagi untuk kembali memikat abang-abang, bertanya jalan pulang. Abang-abang itu pun tak sanggup menahan pesona saya dan akhirnya membocorkan jurus pamungkasnya. Katanya, kalau mau sampai ke kota, ikutin saja tiang listrik di pinggir jalan, itu pasti jalan utama ke kota.

Dan benar loh, berbekal petuah si abang-abang, perjalanan pulang kami lancar car car tanpa nyasar lagi. Sungguh advice yang luar biasa sekali saudara-saudara, kami sampai sembah sujud ke abang ini. Nih abang, jurusnya ngalah-ngalahin tips and trick-nya Lonely Planet, sekaligus pelajaran yang paling cihuy yang kami dapat di Belitung. 

Sampai di kota, berhubung kami sudah keburu busung lapar, dan ini malam minggu lohh pliss deeh, mau liburan sampai ujung pulau juga yang namanya anak muda harus tetap eksis. Akhirnya kami ke pantai Tanjung Pendam, pantainya hanya 2 menit dari hotel tempat kami menginap, yang konon juga arena hang-out paling gaul warga sini. Banyak warung-warung makan seafood, gazebo kayu tepi pantai, penjual-penjual asongan, dan warga yang tumpah ruah di sini. Kenyang makan cumi bumbu dan cah kangkung seharga sisa uang 13 ribu, dengan mata kriyep-kriyep kami pulang ke hotel dan tidur pulas.


Nah, burung irian burung cendrawasih, cukup sekian dan terima kasih. Demikianlah petualangan seru kami menyusuri Belitung Timur sehari penuh dengan hanya berbekal uang 50 ribu! Ingat, kunci jalan-jalan seru adalah teman untuk gila-gilaan dan motor Fino yang irit :)