Rss Feed

Meniti Banggai: Upacara Tumpe



Sekitar seminggu kami, Pengajar Muda angkatan VII sampai di kabupaten Banggai, kami diajak oleh warga setempat untuk ikut serta menyaksikan upacara Tumpe. 

Nah, Tumpe ini sendiri adalah prosesi penghantaran telur burung Maleo yang dilaksanakan pada minggu pertama bulan Desember di kecamatan Batui, kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Upacara ini merupakan peristiwa adat dan budaya sakral masyarakat Kabupaten Banggai berupa syukuran atas panen telur burung Maleo. Masyarakat Batui percaya bahwa dengan menjalankan tradisi tersebut, mereka akan terhindar dari malapetaka. 

Karena kami datang di akhir bulan Desember, kami sudah melewatkan upacara penghantarannya. Acara yang kami datangi malam itu adalah semacam upacaranya yang sarat dengan nuansa mistis. Karena tidak ada gambaran, kami berangkat setelah sholat isya dan sampai sekitar jam 8 malam. Kami pikir upacaranya hanya maksimal 2 jam. Ternyata acara baru akan dimulai pukul 9 malam.  

Jadi kami makan malam dulu. Tidak perlu bingung makan dimana, karena di sini sudah disediakan dapur umum yang menyediakan makanan khas Batui. Tidak mewah memang, tapi cukup mengenyangkan. Setelah makan, kami duduk bersantai di salah satu tenda peristirahatan. Total ada puluhan tenda kayu yang terhampar. Memang khusus untuk hari ini, seluruh masyarakat berbondong-bondong berkumpul dan membangun semacam tenda sederhana dari kayu dan daun yang ditutup terpal. Ada yang bilang mereka menginap disitu selama beberapa malam. 

Dapur Umum

Tepat jam 9 acara dimulai. Kami dan ratusan masyarakat berkumpul di aula besar di tengah-tengah tenda yang seluruhnya dilapis kain merah. Para tetua adat dan pemangku upacara duduk paling depan menghadap ke arah kami. Bapak-bapak penonton duduk di depan, wanita dan anak-anak penonton di belakang. Di teras pun tak kalah banyak orang yang memadati area. 

Suasana Aula Utama

Acara dibuka dengan sambutan camat Batui. Kami terkaget-kaget ketika tiba-tiba beliau mengumumkan selamat datang kepada kami, para Pengajar Muda. Sontak satu aula menatap kami semua dengan pandangan ingin tahu. Ternyata kami terkenal juga, haha. Beliau juga bilang, kalau bisa kami harus menyaksikan keseluruhan upacara – sampai jam5 pagi besok. Dan seketika kami bertatap-tatapan satu sama lain, hampir pingsan. Kenapaaaa, kenapa tak ada yang bilang ini acara kenduri semalam suntuk? Baiklah, mari kita coba untuk tetap terjaga, demi nama baik Indonesia Mengajar, hehe. 

Upacara pun dimulai dengan alunan dua buah gong, lalu semua orang mulai menggumamkan shalawat bersama. Tak lama kemudian, seorang ibu mulai menari sendiri di depan selama beberapa saat, sebelum akhirnya memecah kerubungan penonton pergi ke arah luar, masih sambil menari. Lalu cukup lama tak terjadi apa-apa, dan kami mulai mengantuk, tapi segera bangun lagi, ketika kali ini gantian seorang bapak yang kesurupan. Beliau tidak menari, tapi duduk melompat dan menghentak lantai kayu, cukup mengagetkan dan membuat kami deg-degan. Seorang tetua adat lalu memegangnya dan entah bicara apa tapi kemudian si bapak mulai tenang kembali. 

Acaranya setelah itu relatif sama, hanya saja berbeda orangnya yang kerasukan. Kami di belakang mulai digigiti nyamuk dan tidak fokus. 2 orang dari kami bahkan sudah tidur dengan pulasnya. Jajanan tradisional mulai digelar dan saya seketika langsung fokus lagi, hahaha. Jajanannya enak-enak, beberapa di antaranya saya ingat pernah pernah dibawakan nenek dari kampung, yang lainnya sama sekali baru saya lihat. 



Sekitar jam 12 malam, suasana mulai memanas. Frekuensi kesurupan mulai sering, bahkan bisa empat sampai lima orang dalam waktu bersamaan. Para bapak yang kemasukan menghentak lantai membuat suasana sungguh-sungguh mistis. Beberapa teman mulai tak kuat dan keluar mencari tenda untuk memejamkan mata. Saya tinggal, karena jujur saya antusias pada kekayaan tradisi semacam ini, dan ini kali pertama saya melihat upacara yang melibatkan sekian banyak orang yang kerasukan bersamaan. 




Jam 2 dini hari, mata mulai mengambil alih dan kaki juga sungguh pegal duduk bersila, pemirsa. Kami lalu memutuskan untuk pulang, meskipun setelah itu masih harus dilanjut dengan drama mencari teman-teman yang tersebar di tenda-tenda. Mereka tentu saja tidak bisa ditelpon karena disana tidak ada sinyal. Haha. 

Saya baru tahu beberapa hari kemudian, salah seorang kakak Pengajar Muda yang ikut kesana yang kebetulan punya kelebihan melihat makhluk halus, berkata bahwa ada buanyaaak sekali makhluk-makhluk gaib yang malam itu berkumpul di sana. Itu sebabnya beliau memilih untuk tidur. 

Wuaoww! Just woww! Desember tahun depan, kalau masih ada waktu, saya tentu tak mau melewatkannya! :)


PS: Tidak merekomendasikan acara ini bagi mereka yang kagetan, epilepsi, atau punya kelebihan bisa melihat kawan-kawan kami dari dunia seberang :)

Masochist (A playlist story)



Saya baru saja punya playlist baru yang saya beri judul: Masochist. Diberi nama demikian karena setiap saya mendengarkan lagu-lagu di dalamnya, entah kenapa, I feel blue. Dan tak banyak artis yang masuk ke list ini: Sore, Payung Teduh, Float, dan favorit saya akhir-akhir ini, Banda Neira.

Sounds not familiar? Yup, mereka ini memang produk-produk indie yang tak akan pernah dilihat di billboard atau tangga lagu komersil. Tapi di menit pertama saya mendengar mereka, I know I’ve already fallen in love with this genre of music. 

Lagu-lagu jenis ini, saya pun tak mengerti harus mengkotakkannya ke jenis musik seperti apa. Ada yang bilang akustik minimalis, classic jazz, blablabla. And I don’t care. Yang saya tahu, ada dua alasan kenapa saya sangat respek pada mereka. 

Satu, lagunya simple, yet so beautiful. And powerful. Less is more. Efek pertama setelah mendengar lagu mereka biasanya adalah: meleleh. Lalu haru-biru. Lalu damai. Dan semuanya berjalan sooo smooth. Ajaib? Ya. (But don’t blame me if you don’t feel the same effect. Ingat, musik itu sangat amat personal, hehe). 

Yang kedua, adalah liriknya yang sangat kuat dan dalam. Meaningful. Puitis dalam arti yang denotatif. Mendengarkan lagu mereka seperti juga membaca karya sastra yang mengalun lewat nada-nada. Tak ada yang namanya kisah cinta picisan. Tak ada lirik eksplisit dangkal makna. Dan buat kita generasi muda Indonesia yang saat ini dibanjiri lagu-lagu yang, ah sudahlah – menemukan masih ada band yang punya rasa hormat pada lirik yang bermakna, masih ada musisi yang menghormati bahasa, rasanya seperti menemukan harta karun. Angkat topi!



Tapi rupanya, saya punya evolusi selera musik yang cukup lucu kalau dipikir-pikir lagi.
Pertama kali saya berkenalan dengan lagu komersil adalah dengan lagu-lagu lawas Tommy J. Pisa dan Endang S. Taurina yang suka diputar bapak saat masih sangat kecil. Usia sekolah dasar, saya berkenalan dengan era lagu Hanson dan lagu Titanic-nya Celine Dion yang melegenda kala itu. Lalu kakak tiri yang sedang puber mengenalkan saya pada idolanya, artis-artis Malaysia dengan lagunya yang mendayu-dayu. 

Memasuki usia SMP adalah era boyband. Teman-teman mulai ngefans (pake banget) dengan segerombolan pria-pria hobi lip-sync ini, dan mulailah era ketika pin-up menjadi koleksi paling hip kala itu. Reaksi saya, biasa saja, saya suka semua lagu itu karena itulah satu-satunya lagu yang saya tahu. Saya hafal lagu mereka karena saya terpapar sana-sini oleh lagu-lagu mereka.

Masuk SMA, saya berkenalan dengan musik punk dan hard-rock. Bukan hanya berkenalan. Jatuh cinta dan tergila-gila setengah mati. Saat itu saya sudah mulai nge-band dengan teman-teman, dan kebetulan semua anggota band kami punya selera yang sama. Klop. Saya ingat saya menabung untuk beli semua album Blink-182, Sum-41, System of a Down, daaaan teman-temannya. It was so cool back then. Haha. 

Masuk kuliah saya gabung di beberapa band berbeda, band jurusan, band di unit, dan band di tempat les piano. Selain itu, saya punya teman, soulmate tepatnya, ksatria bergitar yang hobinya curhat kisah cintanya, dan kita berdua sering nyanyi akustik di acara jurusan dan kampus. Saat itulah, saya baru sadar ada yang namanya lagu Top Forty. Bahwa ada lagu-lagu populer, yang sebagai vokalis band, saya harus tahu, karena lagu-lagu inilah yang disukai audiens. 

Dan demikianlah. Sebagai vokalis yang harus update dengan lagu-lagu hip, saya terjerumus cukup lama dengan lagu-lagu tipe ini. Lagu yang soooo well-known, selera sejuta umat. 

Semenjak bekerja saya dan teman-teman manggung secara rutin di Lupa Lelah club (well, it wasn't really a "club") memainkan lagu rock n roll semalam suntuk. Di lain waktu, bermain akustik di tempat makan kala malam minggu. 

Hingga sekarang. Saya tetiba saja muak dengan segala jenis lagu Top 40 ini. Muak dengan rhytm yang itu-itu saja. Muak dengan lirik yang kerap bikin mengurut dada. Muak dengan kepopuleran lagu-lagu dari penguasa bisnis musik whatsoever. Muak dengan status quo.

Di saat yang sama, saya join Indonesia Mengajar, dan ditempatkan di pelosok, dan lalu, punya lebih banyak waktu untuk berkontemplasi. Dan lagu-lagu akustik ini, with no reason, just sounds so good. Pas! 

Pas untuk didengar kala tiduran di pantai lelah berenang dan menunggui anak-anak bermain pasir. Pas untuk didengar kala melakukan perjalanan jauh bersama rekan-rekan penempatan ke pelosok kampung. Pas untuk disenandungkan saat angin meniup rambut di perahu klotok untuk menyeberang ke pulau. Pas untuk didengarkan kala malam, mengisi energi kembali untuk mengabdi lebih semangat lagi esok pagi. 

Semoga lebih banyak lagi lagu Indonesia yang bermutu, supaya playlist saya isinya tak hanya itu-itu saja. Amin.


NB: Dan saya tiba-tiba kangen Chabe, si gitaris melankolis. Kangen nge-band. Kangen bikin lagu. Ada yang punya kenalan di sekitar Banggai, Sulawesi Tengah yang mungkin mau bergenjrang genjreng bersama? :))
 

NB lagi: Special to Nadira: Thanks for introducing Banda Neira :)


1001 Kisah Kelas Dzikir



Masih dengan anak-anak ajaib saya, kali ini fragmen berada di kelas Agama (yes, you didn’t read that wrong, haha), saat saya tengah mengajarkan tentang dzikir. 


Saya      : Coba, kapan sih harusnya kita baca istigfar?

Irsa        : Pas lagi marah, nci! Kan mamak selalu bilang, istigfar istigfar..

Saya      : Baguusss! Sekarang, kalau tahmid, kapan harusnya dibaca?

Edil        : Kalau habis dapat rezeki, nci!

Alia        : Kalau kenyang, nci! Habis makan, sendawa, trus bilang Alhamdulillaaahh *elus-elus perut

Saya      : Nah, kalau tasbih kapan dibacanya?

Afdal     : Saya tau, nci! Pas lihat cewek cantik, nci, kita bilang subhanallaaaaah *sambil geleng-geleng kepala

Saya      : Oh okesip *ya bener juga sih, tapi kan ya banyak contoh lain yak   *langsung mengalihkan topik 

Ini ustadz-ustadz kecil saya :)

Tak lama setelah itu, saya meminta mereka mempraktikkan membaca dzikir setelah sholat dengan menggunakan ruas jari, satu persatu saya hampiri mereka. 


Saya      : Fauzan, coba praktekkan baca tahlil!

Fauzan : La ilaha illallah,  la ilaha illallah,  la ilaha illallah *dan seterusnya

Saya      : Nah, coba sekarang Edil, coba praktekkan baca takbir!

Edil        : Takbir, takbir, takbir, takbir, .... *pasang muka sholeh sambil menunjuk ruas jari

Saya      : *terdiam   *merasa gagal sebagai guru agama



Esoknya, saya menanyakan mereka tugas yang saya berikan untuk mempraktekkan zikir setelah mereka sholat Maghrib di mesjid. 


Saya      : Hayooo, siapa yang kemarin sudah mempraktekkan berdzikir setelah sholat?

Fadel    : Saya, nci! Habis sholat maghrib dan isya! Semua 33x!

Saya      : Hebat Fadel! Bagaimana dengan yang lain?

Rahmat : Saya tidak, nci!

Saya      : Kenapa tidak?

Rahmat : Sibuk saya, nci! Tak ada waktu untuk berdzikir! *muka serius

Saya      : *menelan ludah   *saya punya calon eksmud nampaknya