Rss Feed

Mimpi Seorang Guru



Mimpi seorang guru tidaklah muluk. Bahkan kadang terlampau sederhana.

Mimpi seorang guru adalah melihat binar-binar mata anak didiknya kala diceritakan tentang lubang hitam di luar angkasa yang bisa menghisap segala rupa, planet Jupiter yang lebih besar dari raksasa, komet berekor yang hanya bisa dilihat 76 tahun sekali lamanya, dan astronot yang melayang-layang di bulan hampa udara.

Mimpi seorang guru adalah menjadi saksi atas tumbuh kembang siswa-siswanya. Seorang anak cengeng yang belajar pergi ke sekolah sendiri tanpa ditemani ibunya. Seorang anak pemalu yang belajar membaca dengan lantang di depan kelas. Seorang anak gugup yang belajar berani mengangkat tangannya. Anak-anak yang menjadi dewasa setiap harinya di depan matanya.

Mimpi seorang guru adalah menyaksikan muridnya tergesa-gesa hendak ke perpustakaan, tak sabar ingin tenggelam di tumpukan buku-buku, menjelajah lewat jendela dunia, bertualang ke negeri antah berantah, menembus sekat-sekat desa, dan melepaskan imajinasi tanpa batas.  

Dongeng saban Sabtu di kelas kecil kami :)

Mimpi seorang guru adalah melihat anak didiknya bersemangat menjinjing tasnya ke sekolah. Tak peduli jalan kaki melewati dua gunung dan menyeberang sungai. Tak peduli bertelanjang kaki karena sepatu tua satu-satunya telah robek dimakan usia. Tak peduli hujan semalam membuat kelas bocor di sana-sini.  Tak peduli seragam putih sudah menguning dan rok merah telah memudar.

Mimpi seorang guru adalah membimbing siswa-siswanya agar luhur budi pekertinya. Anak egois belajar membagi bekalnya. Anak hiperaktif belajar bersabar dan mengantri. Anak agresif belajar meminta maaf. Anak yang ditindas belajar memaafkan. Satu kelas belajar berempati dan menjenguk temannya yang sakit.

Mimpi seorang guru adalah melihat muridnya yang dulu ingusan dan pipis di celana bertransformasi menjadi dokter hebat, pengacara kondang, ustadz yang menjadi teladan, koki terkenal, politikus bersih, pengusaha sukses, hingga ibu rumah tangga yang dipuja anak-anaknya.

Mimpi seorang guru adalah melihat acungan tangan-tangan mungil bermunculan di udara, jawaban kritis serba logis, serta pertanyaan-pertanyaan unik penuh rasa ingin tahu. Mengapa kepiting jalannya miring, dari mana datangnya agama, dan kemana perginya air dari jemuran yang mengering?

Mimpi seorang guru adalah melihat setiap bakat anak didiknya yang beragam diapresiasi dan dihargai, melampaui sekedar angka-angka di kertas. Anak yang lihai melucu tapi takut kegelapan. Anak yang mahir menyanyi tapi tak bisa menari. Anak yang jago bulutangkis tapi lemah di matematika. Anak yang pandai melukis tapi enggan berolahraga. Anak yang hebat menganalisa tapi bingung berkata-kata. Tiap anak memukau dengan caranya.

Mimpi seorang guru adalah melihat muridnya tertawa lepas bermain di lapangan dengan teman dari semua golongan. Tak melihat sukunya, apalagi warna kulitnya. Tak peduli jenis kelaminnya, apalagi agamanya. Tak pandang status sosialnya, apalagi pekerjaan bapaknya.

Mimpi seorang guru adalah kontribusinya menjadi setitik noktah pengabdian untuk negeri. Mendidik sebuah generasi yang nantinya kelak akan jadi pemimpinnya sendiri. Menanamkan pondasi akhlak paling dasar di kehidupan muridnya yang kelak akan jadi ladang pahala untuknya.

Mimpi seorang guru adalah bukan untuk dikenang, melainkan untuk diamalkan ajarannya. Bukan untuk diberi pamrih, tapi untuk diteruskan ilmunya.

Mimpi seorang guru tidaklah pernah muluk. Bahkan kadang terlampau sederhana. Pun sederhana ia tidaklah mudah.

Mimpi seorang guru adalah adalah juga doanya, pintanya, nina bobonya, tembang hidupnya.  Aku percaya setiap guru berbagi mimpi yang sama, berbagi doa yang serupa. Bukan demi apa-apa, apalagi demi harta. Adalah semua semata demi bangsa.



~ Moilong, Agustus 2014
Education is the tranmission of civilization. – Will Durant



NB: Tulisan ini  diikutsertakan dalam blog contest Mimpi Properti

http://www.kontesmimpiproperti.com/

Sekeping Lima Ribu dan Rejeki yang Tak Kemana




Ini hanya satu cerita sepele. Tapi yang sepele ini, meninggalkan kesan begitu dalam dan sejujurnya, menampar.

Cerita berawal ketika saya hendak berangkat dari desa menuju kota kabupaten yang jaraknya sekitar 3 jam perjalanan via darat. Biasanya oto langganan – yang sedang tidak berangkat hari itu – akan mengantar penumpangnya sampai ke kota, tapi oto yang saya naiki kali ini menurunkan penumpangnya di terminal, yang jaraknya masih jauuuuh dari kota.

Saya coba melobi pak sopir untuk lanjut ke kota dengan tambahan biaya, tapi beliau bersikeras punya urusan lain. Saya tak bisa bohong bahwa saat itu saya cukup kesal. Kesal karena harus naik ojek, sementara cuaca sedang gerimis, dan saya sedang membawa cukup banyak barang bawaan. Tapi apa daya, decision has been made, dan saya pantang membujuk dua kali.

Tukang ojek saya seorang pemuda culun. Kami menembus hujan rintik-rintik dengan bawaan kanan kiri tanpa banyak bicara. Sesampainya di tempat tujuan, saya langsung memberinya uang 10 ribu. Saya tahu ongkos ojek berkisar 10 sampai 15 ribu. Saya bersikeras di margin bawah, setengahnya masih terbawa-bawa kekesalan pada sang supir oto.

Sang tukang ojek lantas meminta 15 ribu. Saya yang masih bad mood balik memprotes dengan nada nyolot, memangnya saya baru sekali ini naik ojek mas? – begitu kataku.

Pemuda ini dengan muka memelas bilang, sekarang ongkosnya 15 ribu mbak, semua ojek juga segitu. Saya tidak mau tahu.

Terus bawaannya mbak banyak banget, katanya masih berusaha mendapat bayarannya. Lah terus kenapa mas kalau bawaan saya banyak? – kataku sambil melengos.

Sampai di kamar, baru saya terhenyak. Astaga, ada apa dengan saya? Saya sama sekali bukan tipe orang yang sayang uang, sama sekali tidak. Lalu kenapa saya jadi sepelit itu? Masya Allah. Ingin rasanya berlindung di balik justifikasi bahwa: saya sedang kesal! Tapi bukankah tak adil namanya bila menumpahkannya pada tukang ojek yang tidak tahu dan tidak salah apa-apa?

Padahal cuma selisih 5 ribu. 5 ribu yang membuat si tukang ojek berlalu dengan muka tertekuk, mungkin mengutuki nasibnya hari itu. 

Tuhan toh membalas dengan cara-Nya.

Siang itu saya makan siang di sebuah warung bersama seorang teman. Kami asyik mengobrol lalu bergegas pulang. Sampai di rumah saya baru sadar bahwa kunci kamar saya tertinggal di tempat makan, dan akhirnya memutuskan untuk naik angkot untuk kembali ke warung lalu balik ke rumah, dengan ongkos pas persis exactly 5 ribu. Hahaha.

Siang itu saya sadar. Apa yang bukan milikmu tidak akan pernah jadi milikmu. 5 ribu hak tukang ojek yang saya tahan itu akhirnya diambil kembali oleh Tuhan. 5 ribu itu nyatanya, memang tak pernah punya saya, bukan hak saya.

Dan saya semakin meyakini bahwa, oleh Tuhan, rezeki kita tak pernah tertukar.
                                                   


Moilong, Sulawesi Tengah
- Masih menguatkan hati di tengah keuangan morat-marit