Kali ini aku tak hendak bercerita tentang
betapa agresifnya anak-anakku. Sarapanku yang menggunung setiap pagi selalu
semata demi mempersiapkan energi kuli untuk menghadapi aktifnya mereka di kelas
setiap hari.
Aku pun tentu saja bersikap tegas untuk setiap
tindak kekerasan, sekecil apa pun yang mereka lakukan. Selalu kucoba untuk
tetap konsisten menjalankannya, mengingatkan mereka, meskipun terkadang alpa,
agar terpatri di benak mereka, bahwa adalah salah memperlakukan teman mereka
dengan melayangkan tangan di atas kepala. Sebagai wali kelas, aku merasa harus
awas. Perlu betul memupuk akhlak mereka, lewat detail-detail kecil yang terjadi
setiap waktunya.
Lalu suatu pagi, seorang muridku menangis
lagi. Kuminta ia jelaskan duduk perkaranya, lalu kupeluk ia, kuusap
punggungnya. Tak lama, redalah tangisnya dan kusaksikan sendiri betapa
nyamannya dia di sana, dalam peluk hangat gurunya. Ini memantik sebuah ide di
kepalaku, yang sama sekali baru dan aku jelas belum tahu apakah ampuh.
Siang itu, selepas kami membaca doa sebelum
pulang sekolah, seperti biasa aku membuat barisan perkalian. Barang siapa yang
bisa menjawab perkalian dengan tepat boleh pulang lebih dulu, sedangkan yang
masih keliru, harus bersabar kembali ke barisan paling hulu.
Tapi kali ini, yang menjawab dengan benar tak
kuperkenankan langsung ambil langkah seribu. Aku minta diberi satu hal, satu
hadiah... Pelukan untuk encinya.
“Siapa yang di rumah sering dipeluk mamak
atau papak?” tanyaku pada seisi kelas.
Hening.
“Kalau begitu, boleh enci peluk
masing-masing? Boleh enci minta dipeluk sebelum pulang?” kataku sambil mengulur
tangan terbuka.
Reaksi pertama mereka, persis yang aku duga. Beberapa anak, khususnya yang perempuan, segera memelukku tanpa bertanya dua
kali. Beberapa tak banyak bicara, tapi memelukku seadanya. Sebagian kecil
memutar bola matanya dan sedikit berjengit saat dipeluk. Aku mafhum. Bagi
mereka, pelukan dan sentuhan sayang adalah konsep yang bisa jadi sama sekali
asing. Mungkin nyaris tak pernah ditunjukkan apalagi dibiasakan.
Sebagian kecil lain mempertanyakannya dengan
gamblang, “Kenapa enci minta dipeluk?”, “Buat apa peluk-pelukan, enci?”,
“Memangnya kalau dipeluk kenapa, enci?”. Semuanya saya jawab singkat sambil
tersenyum, “Karena enci sayang kalian semua.”
Jawaban itu ternyata lebih dari cukup
membungkam segala penasaran. Hari-hari setelah itu, tak ada lagi yang
mempertanyakan. Kupeluk mereka semua dengan penuh rasa cinta, satu per satu,
setiap harinya. Dari samar aroma keringat mereka, kubisikkan pesan personal
untuk tiap anak, atau kadang sekadar agar berhati-hati pulang ke rumah.
Aku tak berani mengklaim, pendekatanku ini
memberi sebuah perubahan yang terukur. Aku bahkan tak tahu bila pelukan ini
nyata memberi faedah. Yang aku tahu, sebuah pelukan hangat dan seuntai pesan
sayang sederhana, mungkin bisa membuat mereka merasa diterima di sekolah.
Membuat mereka merasa dicintai, dan karenanya, semoga bisa mengejawantahkannya
kembali ke dalam perilaku mereka sehari-hari.
Yang aku tahu, pelukan yang datangnya dari sanubari,
semoga bisa mengencerkan semua kekerasan yang telah lebih dahulu tertanam dalam
kebiasaan mereka. Yang aku tahu, seorang anak yang tak banyak cakap dan dicap
paling ringan tangan, kini selalu
berlari paling depan setiap tiba waktunya pulang. Yang aku tahu, bila aku harus
meninggalkan sekolah selama beberapa hari karena urusan dengan dinas di
kabupaten, pelukan anak-anak itulah yang paling aku rindukan.
Yang aku tahu, pemberian dari hati, akan
diterima pula oleh hati.
Maka kali ini, bila tiba waktunya pulang, aku
selalu bersiap untuk diserbu oleh tubuh-tubuh mungil yang memekik kencang,
“Enciiiiii, peluuuuuk...”
Moilong, 29 Maret 2014
“Bolehkah aku percaya saja tanpa harus tahu kenapa?”
0 comments:
Post a Comment