Ini
hanya satu cerita sepele. Tapi yang sepele ini, meninggalkan kesan begitu dalam
dan sejujurnya, menampar.
Cerita
berawal ketika saya hendak berangkat dari desa menuju kota kabupaten yang
jaraknya sekitar 3 jam perjalanan via darat. Biasanya oto langganan – yang
sedang tidak berangkat hari itu – akan mengantar penumpangnya sampai ke kota,
tapi oto yang saya naiki kali ini menurunkan penumpangnya di terminal, yang
jaraknya masih jauuuuh dari kota.
Saya
coba melobi pak sopir untuk lanjut ke kota dengan tambahan biaya, tapi beliau bersikeras
punya urusan lain. Saya tak bisa bohong bahwa saat itu saya cukup kesal. Kesal
karena harus naik ojek, sementara cuaca sedang gerimis, dan saya sedang membawa
cukup banyak barang bawaan. Tapi apa daya, decision has been made, dan saya
pantang membujuk dua kali.
Tukang
ojek saya seorang pemuda culun. Kami menembus hujan rintik-rintik dengan bawaan
kanan kiri tanpa banyak bicara. Sesampainya di tempat tujuan, saya langsung
memberinya uang 10 ribu. Saya tahu ongkos ojek berkisar 10 sampai 15 ribu. Saya
bersikeras di margin bawah, setengahnya masih terbawa-bawa kekesalan pada sang
supir oto.
Sang
tukang ojek lantas meminta 15 ribu. Saya yang masih bad mood balik memprotes
dengan nada nyolot, memangnya saya baru
sekali ini naik ojek mas? – begitu kataku.
Pemuda
ini dengan muka memelas bilang, sekarang
ongkosnya 15 ribu mbak, semua ojek juga segitu. Saya tidak mau tahu.
Terus bawaannya mbak banyak banget, katanya masih berusaha mendapat bayarannya. Lah terus kenapa mas kalau bawaan saya
banyak? – kataku sambil melengos.
Sampai
di kamar, baru saya terhenyak. Astaga, ada apa dengan saya? Saya sama sekali
bukan tipe orang yang sayang uang, sama sekali tidak. Lalu kenapa saya jadi sepelit
itu? Masya Allah. Ingin rasanya berlindung di balik justifikasi bahwa: saya
sedang kesal! Tapi bukankah tak adil namanya bila menumpahkannya pada tukang
ojek yang tidak tahu dan tidak salah apa-apa?
Padahal
cuma selisih 5 ribu. 5 ribu yang membuat si tukang ojek berlalu dengan muka
tertekuk, mungkin mengutuki nasibnya hari itu.
Tuhan
toh membalas dengan cara-Nya.
Siang
itu saya makan siang di sebuah warung bersama seorang teman. Kami asyik
mengobrol lalu bergegas pulang. Sampai di rumah saya baru sadar bahwa kunci kamar
saya tertinggal di tempat makan, dan akhirnya memutuskan untuk naik angkot
untuk kembali ke warung lalu balik ke rumah, dengan ongkos pas persis exactly 5
ribu. Hahaha.
Siang
itu saya sadar. Apa yang bukan milikmu tidak akan pernah jadi milikmu. 5 ribu
hak tukang ojek yang saya tahan itu akhirnya diambil kembali oleh Tuhan. 5 ribu
itu nyatanya, memang tak pernah punya saya, bukan hak saya.
Dan
saya semakin meyakini bahwa, oleh Tuhan, rezeki kita tak pernah tertukar.
Moilong, Sulawesi Tengah
- Masih menguatkan hati di tengah keuangan morat-marit
0 comments:
Post a Comment