Saya mungkin bukan orang pertama yang mengalami ini. Diremehkan. Dan bukan karena tidak capable, tapi karena sekedar penampilan. Atau itu bukan hanya “sekedar”?
Saya sendiri termasuk yang tidak terlalu ambil pusing soal penampilan. Yang penting nyaman dan saya bahagia. That simple. Terlihat cantik itu nomor dua puluh tiga. Terlihat seperti orang berkelas apalagi. Bahkan tak pernah terpikir buat saya.
Sayangnya kita hidup di dunia dimana kesan pertama menentukan segalanya. Dimana penampilan luar mencerminkan nilai diri kita. Dimana baju yang dipakai menunjukkan kelas kita.
Hal ini saya rasa paling mengganggu khususnya di dunia jasa. Saya kurang paham persisnya kenapa, tapi mungkin para pekerja jasa itu dibiasakan untuk memperlakukan orang sebagaimana penampakan luarnya.
Akhirnya, saya tak pernah nyaman belanja di mal-mal kelas wahid. Alasannya, karena saya benci sekali diberi pandangan dari-ujung-kaki-hingga-ujung-rambut-mencoba-menaksir-daya-beli-pengunjung oleh pramuniaga di sana.
Beberapa teman kantor cerita, mereka dipandang sebelah mata oleh petugas bank yang menanggapi mereka dengan setengah hati, hanya karena datang ke bank dengan kaos oblong dan sandal jepit. Padahal mereka ini miliuner-miliuner muda.
Kalau saya boleh bilang, mereka ini sudah menyinggung atau bahkan telah kehilangan calon-calon customer potensial mereka – yang kebetulan hanya tak suka bersolek. Kasihan.
Tapi saya juga punya teman. Wanita muda bersemangat berhati mulia yang punya banyak anak asuh, yang tak pernah ambil pusing soal pakaian yang dikenakannya. Sederhana, kalau tidak bisa dibilang seadanya. Tapi dia inilah pemilik rumah besar tempat kos saya di Bandung. Ohya, dia juga anak menteri.
Belum termasuk teman-teman saya yang selalu mengaku anak kampung, dekil, berlogat Jawa medok. Mereka ini pemenang olimpiade fisika, pemegang beasiswa Nanyang University, dengan masa depan yang cerahnya tak perlu diragukan lagi.
Nah, kalau ke Bandung, Jakarta, atau kota besar lainnya pasti pernah juga bertemu orang semacam ini. Pakai jas dasi rambut klimis, tapi sebenarnya pelayan restoran. Gagah perkasa dengan CRV model terbaru, yang sebenarnya punya majikannya.
We live in such artificial world. What makes it even worse, artificial people..
Kita hidup di dunia yang serba palsu, bung!
Jadi, jangan percaya pada apa yang Anda lihat. Mata bisa membuat kita tersesat. Pandangan mata tak bisa melihat apa yang ada di balik sekedar kulit. Baju hanyalah kain, make-up hanyalah riasan, aksesoris hanyalah alat, parfum hanyalah pemanis. Jangan membuat kita masuk ke golongan orang-orang yang bisa ditipu oleh barang kecil tersebut.
Karena saya yakin, seperti kata Julie Baker di Flipped, people can be greater than the sum of their parts, or can be less.
You choose.
PS: You might want to read Judgement & Prejudice
0 comments:
Post a Comment