Membaca sebuah post dari teman tentang campaign against bullying:
"A 15 years old girl holds hands with her 1 year old son. People call her a slut, no one knows she was raped at 13. People call another guy fat. No one knows he has a serious disease causing him to be over weight. People call an old man ugly. No one knew he had a serious injury to his face fighting for our country in the war. Re-post if you're against bullying and stereotyping... – posted by Riza Natasya Bukit”
Menyedihkan. How destructive it is..
Eyes Might Be Deceiving, huh? |
Tapi sebenarnya menurut saya masalah utamanya bukan di bullying itu sendiri. Bullying adalah bentuk eksekusi dari hasil pemikiran manusia. Akar masalahnya terletak pada bagaimana sudut pandang kita melihat orang lain, dan menghakiminya seketika hanya dari tampilan luarnya. Judgement dan prejudice adalah biang kerok utamanya.
Judgement = menghakimi. Prejudice = prasangka. Keduanya saya yakini sebagai kejahatan pikiran paling tinggi abad ini. Keduanya terdengar lebih simpel dari bahaya yang sebenarnya. Mereka jahat karena judgement dan prejudice melahirkan tendensi. Tendensi menghasilkan eksekusi. Tendensi buruk menghasilkan eksekusi yang bisa lebih buruk.
Sadisnya judgement dan prejudice ini tercapture dengan sangat baik dalam buku ‘To Kill A Mockingbird’. Bacalah. Ini bukan buku yang indah, bukan buku dengan ending yang menyenangkan, tapi bisa membuka mata bahwa sungguh manusia tak berhak menghakimi manusia lain, hanya karena hal-hal sepele yang tidak mencerminkan diri yang sebenarnya.
Warna kulit, berat badan, make-up, gender, ukuran, dan dandanan kita, bukanlah kita yang sebenarnya. Mereka hanya kulit yang melapisi bagian dalam yang paling penting, yang menggerakkan kehidupan, yang menentukan seberapa besar nilai kita sejatinya – yaitu hati, otak, dan jiwa manusia. Memang lebih mudah menyimpulkan hanya dari luar, memang lebih cepat menilai hanya dari tampilan luar, tapi yang demikian hanya menunjukkan rendahnya akal kita. Luangkan sedikit waktu untuk mengenal lebih jauh, kita akan sadar nilai mereka yang sebenarnya. Jika tak ada kesempatan untuk mengenal lebih jauh, maka berhati-putihlah, berbaik-sangkalah.
Karena mata bisa membuat orang tersesat. Karena orang yang tampak baik bisa jadi manusia paling jahat. Orang yang nampak mengerikan bisa jadi nyatanya seputih malaikat.
Karena,, siapa saya, siapa anda, siapa kita, berhak menghakimi orang lain. Kita tak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi, kita tak pernah tahu apa yang telah mereka lewati. Sepatah kata yang salah bisa menggoreskan luka menganga. Setitik tindak yang tak bijak bisa membunuh semangat hidup.
Don’t judge. Just dont judge. We dont know what they’ve been thru..
6 comments:
hoho kayak perkataan oom Pram, kit aharus adil sejak dari pikiran....
Gak bisa lebih setuju lagi To.. Konsekuensi jadi orang yang (luckily) terpelajar :)
prinsip gw: ask first then you may judge.
tapi tenggelam dalam prasangka itu seringnya memabukkan, apalagi kalo berjamaah...
Pertama, sayangnya gak semua orang Indonesia terbiasa bicara blak-blakan, termasuk nanya blak-blakan. Kedua, akan ada keadaan dimana kita tak bisa bertanya, atas dasar kesopanan. Misalnya di contoh yang orang gendut karena menderita kelainan itu. Pasti gak sopan kalau kita ujuk2 nanya "Kamu kenapa sih bisa gendut?"
:)
Nah, kalo prasangka berjamaah ini yang sebisa mungkin saya hindari kak. Dari dulu saya punya prinsip ke temen2 saya: musuh saya belum tentu musuhmu, temanku belum tentu temanmu. Betul begitu? :)
nanya jg emang perlu waktu dan suasana yg pas sih. ya enaknya sebenernya kalo emang berprasangka ama orang, just keep it to yourself. ini yg susah, wkwkwkwk... gw kalo dah ngobrol ama temen2 lama suka mabok, lupa daratan :D
yup, setuju dgn masalah musuh. musuhan itu masalah individu, kenapa pula mesti menular/ditularkan/dipaksa tertular :D
Yang paling pas ya gak berprasangka aja. Hehe, kalo udah begosipan jadi susah ya? Hihihi..
Post a Comment