Bisa dibilang, hutan selalu jadi elemen
penting penyusun hidup saya. Lahir dan besar di tengah hutan hujan tropis
Kalimantan Timur, setengah dekade bekerja di antara lebat pohon dan gunung di
daratan Papua, lalu kembali ditempatkan di tengah rimbunnya rimba Sulawesi.
Teman-teman selalu bilang saya ini “orang hutan”, demennya di hutan, dan akan
selalu kembali ke hutan.
Nyatanya, kehadiran hutan itu justru kadang
membuat saya take ‘em for granted. Merasa bahwa hutan itu di sana sebagaimana
mestinya, seperti demikian adanya. Mungkin, pun demikian dengan jutaan anak
muda di luar sana, apalagi masyarakat urban perkotaan yang nyaris tak bertemu
hutan.
Hingga semakin dewasa, semakin saya belajar
bahwa kadang kita tak menyadari betapa berharganya sesuatu sampai ia
benar-benar hilang. Hingga saat harimau Sumatra nyaris punah karena habitatnya
hilang, burung maleo terancam tak lagi menjadi simbol Sulawesi Tengah karena
kemungkinan hidupnya tak lama lagi setelah tempat hidupnya dibabat untuk hutan
sawit, saat negara tetangga komplain karena bukan hanya TKI yang kita ekspor
tapi juga asap pembakaran hutan – kita baru tahu ada yang salah dengan
perlakuan kita kepada sang hutan.
Tahukah kamu, pengrusakan hutan menyumbang
20% emisi gas rumah kaca setiap tahunnya. Itu belum
lagi emisi yang dihasilkan seluruh mobil, kereta, kapal dan pesawat. Di
Indonesia, hutan gambut lenyap akibat pembalakan, pengeringan dan pembakaran untuk
perluasan kelapa sawit. Lahan ini ketika dibakar menjadi sebuah bom karbon,
melepaskan dua milliyar ton karbondioksida berbahaya setiap tahunnya.
Indonesia telah kehilangan setidaknya 620.000
hektar hutan pertahunnya. Deforestasi tak terkendali bahkan mendudukkan
Indonesia sebagai negara pencemar terbesar ketiga di dunia. Hutan hujan
Indonesia menghilang lebih cepat dari hutan lainnya di bumi, dengan kerugian
tak terhitung bagi masyarakat adat, satwa liar, serta iklim global.
Dengan semua fakta ini, luar biasa kalau kita
masih tidak peduli. Saya percaya bahwa untuk tiap-tiap kehidupan yang telah
ditopang oleh alam, kita berutang banyak kepada bumi kita. Setiap hirup
oksigen, tiap tetes air bersih. There’s a pay for your room here on earth. Dan
itu wajib dibayar dengan sebuah kepedulian.
Nyatanya saat ini, kebanyakan orang
menganggap, gerakan penyelamatan hutan adalah melulu menyoal hal-hal besar.
Morotarium, kebijakan penggunaan hutan, atau demonstrasi terhadap perusahaan
pembalak. Semua terdengar terlampau besar. Gagah. Tak terjangkau. Lalu banyak
orang di luar sana merasa terjustifikasi untuk tidak bertindak apa-apa.
Tak semua orang merasa punya kekuatan untuk menggalang orang-orang
dan melakukan pemrotesan massal, kaum difabel misalnya. Tak semua orang punya kesempatan untuk terjun langsung ke
arena, guru-guru misalnya. Tak semua orang punya kemauan untuk terlibat dalam hal-hal yang sifatnya lapangan,
ibu-ibu rumah tangga misalnya.
Oleh sebab itu, saya bahagia luar biasa
karena saat ini hidup telah menawarkan begitu banyak kemudahan, teknologi yang
memungkinkan kita melakukan sesuatu. Betul-betul sesuatu.
Sekarang setiap opini publik dapat disuarakan
dalam bentuk petisi yang disebarluaskan secara online. Cukup diklik petisi
online dari yang menolak reklamasi sampai pengalihgunaan hutan menjadi lahan
sawit. Petisi-petisi ini mudah, cepat, dan bila dihimpun ternyata ampuh
mempengaruhi para pengambil kebijakan di atas sana.
Salah satunya, petisi Protect Paradise yang hanya
butuh sekian menit waktumu untuk mengisinya, tapi membuat kamu sudah turutserta
melestarikan Harimau Sumatra yang diperkirakan hanya tinggal 400 ekor lagi.
Atau donasi-donasi gerakan hijau yang kini
bisa dikirimkan jarak jauh via e-banking atau kartu kredit. Bahkan bisa diatur
supaya rutin dipotong perbulannya hingga kita tak lagi perlu repot-repot.
Bahkan donasi sesederhana donasi tweet sekalipun, seperti yang dilakukan oleh
Greenpeace.
Alternatif lain, partisipasi dalam program
adopsi pohon. Dengan sejumlah uang tertentu, nama anda akan
terdaftar sebagai adopter sang pohon, yang dirawat oleh institusi seperti taman
nasional. Beberapa bahkan menyediakan fitur pantauan lewat Google Maps. How
cool is that?
Jadi kawan, ada banyak cara berjuang yang
bisa dipilih. Tidak selalu harus besar, tidak melulu musti heroik. Mulailah
dari yang kecil, sederhana, dan mungkin dilakukan dalam kapabilitasnya
masing-masing.
Setiap orang berhak untuk memilih caranya
untuk berkontribusi. Bila tak mungkin turun tangan di lapangan, maka
berdonasilah. Tak mampu donasi, bantu sebarluaskan informasinya. Tak sempat
menyebarluaskan, paling tidak doakanlah. Apapun itu, asal jangan berpangku
tangan. Yang penting kita menjaga diri untuk tidak terlibat dengan tindakan
merusak di luar sana, dan stand up for something. Sesederhana itu.
In the end, ini hanya perbedaan cara
berjuang. But when it’s just a click away, sungguh keterlaluan kalau saya,
kamu, dan kita semua masih memilih untuk bersikap apatis, bukan?
Referensi:
http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/Mengaum-Lebih-Keras-Untuk-Hutan-Indonesia/
http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/reports/Down-to-Zero/
http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/melindungi-hutan-alam-terakhir/hutan-dan-perubahan-iklim/
0 comments:
Post a Comment