Rss Feed

Belitung, Surga Warung Kopi - Day 3


 
Dan seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi hari ketiga ini masih diawali dengan nongkrong di gazebo sampai masuk angin, dilanjutkan saling tunjuk-tunjukan siapa yang mandi duluan. Belum lagi kalau ada yang pakai acara nyetor pagi-pagi. Akhirnya, meskipun sudah bangun dari subuh, tetap saja ujung-ujungnya kami baru bisa keluar begitu sudah tengah hari.


Nah, ini juga sebenarnya alasan kami enggan menggunakan jasa travel organizer atau sejenisnya. Kami lebih senang begini, bebas mau kemana, memilih destinasi yang mana, tidak dikejar-kejar waktu. Filosofi kami, liburan itu kalau gak santai berarti bukan liburan namanya. Tul gak?

Nah, sudah sejak kemarin kami ini penasaran pengen menjajal warung kopi yang, percaya atau tidak, jumlahnya mungkin ada ribuan di seluruh Belitung! Buat yang sudah baca buku tetralogi Laskar Pelangi pasti sudah paham. Jadi, yang unik di Belitung ini, masyarakatnya sangat gemar berkumpul, kalau kata anak muda jaman sekarang, hang-out dan nongkrong-nongkrong gitu deh.

Gak tua, gak muda, tiga generasi semua hobi sekali berkumpul di warung kopi. Disini mereka bisa nongkrong seharian, mengobrol, membual, dan menggosipkan apa saja. Warung kopi bagi Belitung adalah pusat informasi, media sosialisasi, dan juga sentra kehidupan masyarakat sini. Hebat yah?

Di antara ribuan warung kopi yang ada disini, ada satu nama yang paling menonjol. Referensinya pasti sudah ada di berita kuliner Belitung. Namanya warung kopi Ake, warung kopi legendaris yang sudah berdiri dari tahun 1922. ITB-since-1928 aja mah lewat, masih kalah tua sama umur warkop ini.

Menemukan warung kopi ini agak penuh perjuangan, karena ternyata letaknya ngumpet dibelakang toko. Harus melewati gang kecil selebar badan manusia. Hebatnya, perkakasnya masih sangat dijaga dan dipakai sampai sekarang. Ada 3 tungku yang dipakai, yang umurnya 90 tahun. Mungkin kerak-kerak di tungku itu yang bikin enak kali ya. Huahhh, saluuut!


Pak Ake ini adalah generasi ketiga penerus usaha ini. Disini kopi diseduh langsung setelah dipesan, dengan tungku arang. Jujur saya bukan penggemar kopi, jadi jangan tanya saya gimana rasanya. Tapi kopi susu saya rasanya cukup nikmat kok. Dan muraaaah – maklum mental kere. Kebayang gak sih betapa senangnya kalau yang biasa ngopi di Starbucks harus bayar 40ribu buat secangkir kopi, disini hanya perlu bayar sepersepuluhnya untuk kopi hitam otentik yang mungkin sama enaknya atau bisa jadi lebih enak rasanya?

 
Buat yang lapar, pas di sebelah warung kopi pak Ake ini juga ada yang jual makanan berat dan sudah terkenal juga di Belitung raya ini. Namanya Suto Belitung, umurnya selang 3 tahun dengan warung kopi Ake. Suto Belitung ini formatnya mirip soto, tapi berbeda sedikit. Isinya potongan lontong, irisan daging, kentang, soun, timun, dengan kuah daging bumbu rempah. Rasanya agak manis dan segar.  Jadi combo kenyangnya!

Beres sarapan, selagi masih ngopi, ngeroko, dan ngalor ngidul, tiba-tiba istri pak Ake, yang masih tampak cantik dan gesit di umurnya yang sudah paruh baya, mendekati meja kami, menatap dua pria ini, lalu nyeletuk dengan polosnya, “Mau telur ayam kampung setengah matang dek?” dan seketika itu juga saya ngakak sampai sakit perut. Entah ada angin apa yang ngebisikan si ibu sampai beranggapan bahwa  kedua pria yang bersama saya ini butuh telur setengah matang.

Sudah tahu kan, mitos telur setengah matang dengan khasiat bikin “greng” itu? Hehehe.. Ditodong begitu, dua pria ini tak bisa bereaksi lain selain mengangguk saja, entah memang gak bisa nolak atau memang mungkin “butuh”.

Bu Ake lalu dengan cekatan meracik 2 telur setengah matang dalam gelas, diberi garam dan pepper sedikit. Buat saya kayak agak gimana gitu ya, tapi kata mereka sih enak. Ohh tidak, kebayang gak sih, seharian ini saya akan berada di antara dua pria yang baru saja diberi asupan telur setengah matang, wkwkwk..


Baiklah, jatah hari ini adalah menjelajah Belitung Selatan! Yang juga berarti another 2 hours road trip, with no clue at all, as always. Tapi road trip disini gak akan pernah bikin bosan kok. Jalan yang mulus, petunjuk jalan yang lengkap, abang-abang pinggir jalan yang ramah dan selalu siap ditanya, persediaan cemilan yang cukup, pemandangan baru, dan teman seperjalanan yang mengasyikkan. None in this world compares to this perfect blend lah pokonya.

Rute menuju pantai pertama ini diluar dugaan, agak muter-muter. Nampaknya, karena ada banyak rute menuju kesana, abang-abang yang kami tanyai memberi jawaban yang berbeda. Waktu masih di area pemukiman sih tidak masalah, karena selalu bisa singgah mengkonfirmasi arah. Tapi begitu masuk ke jalan merah, sama sekali tidak ada rumah dan bangunan. Kendaraan hanya lewat sesekali. Beberapa kali kami hanya bisa cengok ketika bertemu perempatan. Tak ada petunjuk, tak ada tanda-tanda kehidupan. Kami tunggu 5 menit berharap ada kendaraan penduduk yang lewat, nihil.

Di saat-saat terdesak begini, keluarlah semua insting detektif sok-tahu kami. Menganalisa rute berdasar lebar jalan, jejak-jejak ban, sampai tingkat kerimbunan pohon di kiri-kanan jalan. Daaaan 10 menit kemudian, kami kembali ke jalan yang sama, di persimpangan yang sama, hakhakhak..

Oia, di perjalanan ini kami menemukan ada batu super besar yang nyaris setinggi bukit. Jumlahnya hanya satu tapi besarnya luar biasa. Bentuknya eksotis. Letaknya di pinggir jalan tapi sedikit terhalang oleh rumput dan ilalang tinggi. Kalau saja kami bawa sepatu, pengen rasanya mencoba memanjat batu tersebut!


Kami sampai di destinasi pertama tepat menjelang tengah hari. Namanya pantai Batu Penyabong di daerah Membalong Selatan. Pertama kali lihat, kesannya just like any other beach in Belitung, sarat batu. Bedanya, batu-batu besar disini bahkan sudah berserakan sejak dari bukit tempat mobil diparkir. Tapi makin ditelusuri, barulah kami sadar. Ini bukan batu biasa. Ini batu super besar, extra massive, gigantis, you name it. Mereka terhampar dengan gagahnya menantang lautan, terserak dibelai ombak - ahseeek.


Kalau mau memotret batu-batu besar ini, bahkan harus ada obyek lain sebagai pembandingnya. Supaya terlihat skala raksasanya. Berdiri di atas batu besar tersebut benar-benar membuat diri merasa kecil, seperti seutas debu di antara batu-batu dashyat dan samudera luas. Subhanallah. You know what, alam memang guru kehidupan yang terbaik, kalau saja kita mau berkontemplasi sejenak. Dan saya mendadak bijak, haha.. 


Saya sebenarnya penasaran, bagaimana batu-batu ini tercipta? Atau mungkin, bagaimana mereka bisa sampai disini? Di sebuah sisi, batu-batu besar ini membentuk sejenis curug yang cukup dalam, dan batu-batu tersebut juga sangat steady. Berarti besar kemungkinan, batu ini tertancap ke dasar laut. Saya pernah baca, katanya batu ini asalnya dari muntahan Gunung Krakatau yang terkenal itu, yang katanya bahkan sampai membelah pulau menjadi Bangka dan Belitung. Benar atau tidak, wallahu alam.

Puas memanjakan mata, giliran memanjakan perut! Bersantai di tepi pantai dan minum kelapa muda segar pastinya jadi penutup yang sempurna. Ahh life is good! Dan sedari tadi hanya ada kami, jadi serasa menguasai semua pantai Batu Penyabong ini bertiga saja! Even better! :)

Nah, lanjut ke destinasi berikutnya, adalah pantai di daerah pelabuhan. Pelabuhannya sendiri sebenarnya bisa dijadikan obyek wisata untuk fotografi dan human object, tapi waktu kami lewat kesana, nampak ada proyek dan alat-alat besar yang lalu lalang, jadi kami langsung menuju pantainya. Namanya Teluk Gembira di daerah Membalong.

Sejujurnya, pantai ini pantai yang biasa-biasa saja. Beberapa batu besar masih tetap ada disana, tapi tidak signifikan besarnya dan jumlahnya. Yang menyenangkan dari pantai ini adalah kesunyiannya. Sunyi, tapi tak sepenuhnya sepi. Riuh anak-anak yang bermain di pelabuhan masih bisa terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Kesunyian yang mengundang kami untuk nyebur ke dalamnya!


Akhirnya, setelah banyak pantai yang didatangi, pantai yang ini berhasil memanggil kami untuk put our shoes off and go swimming! Urmm, sebenarnya not literally swimming, karena saya gak bisa berenang saudara-saudara! Iya saya memang cupu, tapi gimana lagi dong. Mau belajar berenang sama pria-pria ini, tapi mereka mah paling bahagia kalau ngeliat saya kelelep, hiks. Minta diajarin berenang sama mereka sama aja dengan ngasih mereka alibi buat nenggelamin saya kalau ada kesempatan.


Jadi karena tahu diri, saya hanya berendam, nongkrong di pinggir pantai, rebahan di pasir dan menikmati dunia. Si pria satu sedang sibuk bergalau-galau ria, duduk termenung di batu, dengan pandangan kosong menghadap angkasa, mungkin lagi curhat sama jin laut. Saya sebenarnya kuatir kalau dia mau bunuh diri, tapi ya sudahlah yah, sejak dulu begitulah cinta, deritanya tiada tara.

Waktu saya sudah hampir merem dan mimpi jalan di pantai sama Leonardo Dicaprio di limbo, tiba-tiba si pria 2 bikin heboh, balik ke pantai habis berenang sambil ngacungin tangannya yang sudah berdarah-darah. Ternyata pas doi lagi berenang ke tengah, gak sengaja megang karang yang banyak tritip-nya. Wassalam.


Setelah sedikit P3K dan pria galau pamitan sama jin laut, kami memutuskan untuk pulang ke kota. Lagipula tanpa terasa ternyata langit sudah mulai gelap. Sampai di hotel dan membersihkan diri, kami menjajal warung seafood Bang Pasha yang masih di area pantai Tanjung Pendam. Memang mengenai opsi makan malam ini kami akui agak kurang kreatif. Maklum, balik dari nyetir biasanya perut sudah keroncongan, jadi sikat warung yang dekat saja, hehe. Kali ini, setelah makan tanpa bas-basi kami langsung pulang. Tepar.

Nah, that's a wrap for today! Tunggu kelanjutan petualangan trio kwek-kwek ini hari berikutnya di episode Day 4 yak!


...


Note:
1. All pictures copyright Hadi Firdausi, Maidy Putra, dan Eva Bachtiar.

2. Baca juga petualangan sebelumnya di hari pertama di Halo Belitung - Day 1, dan hari kedua di Belitung, Negeri Laskar Pelangi - Day 2.

Leave the Judging to Allah (Sebuah Catatan tentang Insiden Big Gossan)


Disclaimer: Tanggal 14 Mei 2013 pagi, fasilitas training tambang bawah tanah QMS Big Gossan collapse dan menyebabkan sebagian besar peserta kelas Annual Refresher hari kedua terjebak di bawah reruntuhan. Setelah 8 hari proses evakuasi yang penuh ketegangan dan doa, sinisme dan harapan, total 3 korban dinyatakan berhasil meloloskan diri, 5 korban luka ringan dan 5 korban luka berat, dan 28 meninggal dunia.


Satu lagi insiden yang menimpa tambang kami, seperti tak henti Yang Diatas memberikan cobaan. Longsor, demo mogok panjang, banjir bandang, dan kini insiden terbesar dalam sejarah operasi Freeport yang menelan korban paling banyak. Saya ingat berada di kantor seperti biasa pagi itu, ketika seorang expat mengumumkan kejadian dan segera mengabsen, memastikan tak ada dari kami yang mengikuti training tersebut. Dan yah kami memang lega, karena tak ada satu pun dari divisi kami yang dijadwalkan mengikuti training hari itu. Tapi kami mendengar banyak cerita dari divisi lain, beberapa rekan yang kami kenal yang kebetulan berada di sana. Beberapa hari setelah itu suasana gelap menjadi tak terbendung. Seperti awan hitam besar yang membuat hari menjadi suram dan tak bergairah. Campur aduk antara panik dan waspada. Kebanyakan masih shock dan tidak percaya. Panik dan tegang mengikuti setiap detail proses investigasi yang selalu kami tunggu kabarnya.

Ketika satu persatu korban dinyatakan berhasil diselamatkan, harapan itu membuncah. Yakin dengan sepenuh hati bahwa masih ada harapan selamat bagi mereka yang terkurung didalam sana.

Namun setelah beberapa hari berlalu dan mulai banyak korban yang berhasil dievakuasi sudah tak lagi bernyawa, pesimisme mulai mencuat dengan sendirinya. Tak mungkin mereka bertahan setelah hampir seminggu. Tapi kami masih berdoa. Berharap akan ada keajaiban, meskipun dengan peluang dan waktu yang semakin sempit. Acara pelepasan jenazah menjadi lumrah dihadiri tiap hari.

Hingga hari itu tiba. Hari dimana korban terakhir diumumkan dan dinyatakan sebagai hari berkabung. Seluruh warga berduka, itu pasti. Bagaimana tidak, ini kehilangan paling besar dalam sejarah operasi kami. Dan pemberitaan di media tidak membuatnya lebih baik. Media itu, sebagian besar berkoar-koar begitu besar dengan pengetahuan yang terlalu sedikit. Menganalisa berlebihan padahal tak mengerti setitikpun ilmu tambang.

Tak lupa membanding-bandingkan kasus ini dengan kasus Chili yang kalau boleh saya komentar kawan, sama sekali bukan kasus yang setara, berbeda circumstance dan kondisinya, tak bisa dibandingkan. Collapse di Chili terjadi di bagian akses, sehingga evakuasi bisa difokuskan untuk menembus akses dan probabilitas selamat juga jauh lebih besar. Yang terjadi disini adalah collapse tepat di kelas, tepat pada korban. Kalau mereka sedikit lebih cerdas pasti bisa melihat perbedaannya. Dua kasus ini jelas-jelas bukan apple to apple comparison.

Yang lebih parah lagi, berspekulasi bahwa manajemen sengaja membiarkan mereka yang terjebak di dalam karena sebagian besar mereka adalah orang-orang yang ikut dalam mogok pekerja tempo dulu. What the?!?! Sempat-sempatnya media berpikir sejauh ini ketika segala daya dan upaya dikerahkan untuk menolong orang disini. Menurut saya ini sudah merupakan su’udzon tingkat dewa!

Tapi yang paling membuat saya sedih, adalah bagaimana cara mereka menghakimi proses evakuasi siang malam yang boleh dibilang – penuh darah dan airmata. Sebuah berita di TV yang saya tonton dengan seenaknya menyebutkan bahwa sungguh aneh perusahaan sekelas Freeport melakukan proses evakuasi dengan cara manual. Well, kalau boleh sedikit sarkastik, yang aneh itu adalah analisa anda, Bung! Dalam evakuasi ada aturan utama yang tidak boleh dilanggar: amankan diri sendiri sebelum mengamankan orang lain.

Here’s the truth. Alasan mengapa beberapa hari pertama evakuasi dilakukan secara manual adalah karena medan ruang kelas yang sulit dan sempit dan batuan yang terus jatuh dari atas yang tidak bisa diprediksi banyaknya. Oleh sebab itu proses evakuasi awal difokuskan pada pemasangan penyangga batuan atau ground support untuk memastikan proses penyelamatan jangan sampai justru membahayakan tim evakuasi. Setelah proses ini selesai dan seluruh bangunan kelas sudah dibongkar, barulah evakuasi bisa dilanjutkan dengan bantuan equipment dan alat berat. 



Tapi hebatnya media, tentu saja, bagaimana mereka bisa mendapatkan info dan seolah lebih tahu dari kami sendiri disini. Ketika kami disini masih was-was menunggu kabar resmi dari Corporate Communication, TV dengan hebatnya menayangkan berita tersebut lebih dulu. Sebenarnya saya sendiri tidak tahu pasti, bagaimana cara mereka memperoleh info tersebut. Dugaan paling kuat: bocoran dari pekerja yang menjadi informan disini.

Saya pun orang yang mencintai transparansi informasi, tapi kalau boleh sedikit kritis, bijakkah menyodorkan berita yang didapatkan secara setengah-setengah tersebut pada khayalak tanpa disaring dulu? Siapa yang bisa menjamin bocoran itu bukan fakta dan hanya opini sepihak misalnya, atau berita yang terdistorsi, atau yang telah dibelokkan? Karena bahkan kami pun disini dibanjiri info yang berbeda setiap harinya, bisik-bisik yang tak kalah kontroversialnya. Tapi tentu saja, akal sehat akan menuntun kami untuk menunggu info resmi dari perusahaan. Kami tak mau berspekulasi atas nyawa manusia. Nyawa teman-teman kami.

Tapi tentu saja kami sepakat bahwa ada yang salah di sini. Insiden seperti ini tentu hasil dari kelalaian sebuah pihak, mungkin juga komplikasi dari kelalaian beberapa pihak. Pun saya sepakat bahwa hal tersebut harus diinvestigasi sampai tuntas, agar jangan sampai terulang lagi di kemudian hari, naudzubillahi min dzalik. Tapi memberikan informasi yang salah dan analisa dangkal tidak berbobot bahkan sebelum investigasi keluar? Come on, you guys can do better! Stop berasumsi. Jangan membuat statement yang tidak bisa kalian buktikan.


But you know what, seperti kata Zamen di Kite Runner, leave the judging to Allah.

Leave it to Him.

Belitung, Negeri Laskar Pelangi - Day 2



Esoknya, karena jam biologis badan yang masih mengikuti jadwal nguli di jobsite, jam 6 pagi kami sudah melek dengan segar bugar dan segera nongkrong di gazebo di bagian belakang hotel persis di tepi pantai. Belum mandi, belum sikat gigi, langsung sarapan nasi goreng, menyesap teh hangat, lalu menghisap rokok ditemani angin pagi dan aroma pasir pantai. Ahhh, nikmatnya tak terkatakan.. The beauty of doing nothing.

Agenda hari kedua ini adalah jelajah ke Belitung Barat! Dalam perjalanan kesana, kami singgah dulu di Rumah Adat Belitung. Jadi rumah ini adalah semacam bangunan tradisional khas Belitung yang juga dijadikan museum mini, tempat pengunjung bisa belajar tradisi dan sejarah Belitung.

Arsitekturnya berbentuk rumah panggung, didalamnya hanya ada satu ruangan luas tanpa sekat. Di sepanjang dindingnya dipajang foto-foto dari jaman baheula tentang sejarah Belitung. Banyak juga dipamerkan barang khas tradisional, replika pengantin adat, alat pertanian, dan diputarkan lagu-lagu adat yang bikin kita seolah terlempar seketika ke Belitung jaman jebot.

Saya, perawan kembang desa yang belum pernah jadi penganten ini, jadi iseng-iseng pengen mencoba baju adat penganten wanitanya. Dan beginilah tampilan saya dalam balutan busana adat. Boook, ternyata ribet yah jadi penganten, selain aksesoris gelangnya yang bunyi kerincing-kerincing tiap bergerak dan hiasan kepala yang waktu dipasang di kepala berasa jadi kayak punya tanduk, gerahnya juga naujubile.

 
Setelah puas melihat-lihat, kami bersiap untuk perjalanan yang agak panjang menuju barat. Jadi, kalau dilihat di peta, rute yang akan ditempuh benar-benar dari ujung timur ke ujung barat pulau. Dan jujur saja, sebenarnya we have no idea tentang bagaimana rute dan kondisi jalan ke sana, but isn’t it the art of getting lost? Hehe.. Pokoknya selama kompas di hp masih menuju arah barat, kami yakin akan baik-baik saja.

...

Menit-menit pertama, tiga sekawan ini masih antusias dan semangat. Ada yang nyetir sambil ngeceng, ada yang nyanyi-nyanyi galau bersama kaset Geisha – yang juga kaset satu-satunya di mobil sampai kami eneg dengar lagunya diulang-ulang, bahkan ada yang sampai koprol-koprol dan sikap lilin di jok belakang. Okesipp.

10 menit berlalu, akibat jalan lurus yang mulus dan super bagus, sayup-sayup mulai terdengar suara ngorok dari jok belakang. Tinggallah sang supir dan saya yang kali ini didaulat menjadi navigator alias cewek cantik yang tugasnya menemani supir ngobrol. 20 menit berlalu, mata navigator mulai panas tapi yang bersangkutan masih berusaha menjalankan tugasnya meskipun omongannya sudah mulai ngalor-ngidul setengah mengigau. Lewat 30 menit, si navigator pun semaput dengan suksesnya.

Tapi, tidur cantik cewek kece ini seketika terhenti waktu mobil mengerem mendadak, melontarkan tubuh penumpang sampai nyaris kejeduk atap mobil. Ternyata oh ternyata, ini adalah modus sang supir dalam membangunkan penumpangnya sambil tetap sok innocent dengan gaya eh-gak-liat-ada-polisi-tidur.

Si navigator pun seketika terbangun dengan kaget, sambil ngelap iler dengan lugunya bertanya, “Kamu siapa? Saya siapa? Dimana ini? Saya mau diapakan? Lepaskan saya..” yang dijawab dengan wajah dongkol sang supir sambil menunjuk ke plang jalan bertuliskan GANTONG.

Horee! Ternyata sudah sampai! Jadi, sudah tahu pelajaran moral ketiga kan? Betul sekali gan, berkendara 2 jam akan tidak terasa sama sekali, kalau agan tidak jadi supir, hehe.

Nah, siapa yang belum pernah dengar Gantong? Oh bukaaan, bukan tempat air, itu gentong. Bukan juga bendi, itu andong bro. Gantong itu nama lokasi di cerita Laskar Pelangi yang tersohor itu. Konon dengar-dengar, semenjak Laskar Pelangi difilmkan dan booming gila-gilaan, nama Belitung juga jadi ikut termashyur. Bahkan tidak jarang ditemui slogan-slogan di penjuru pulau yang mengklaim Belitung sebagai kota Laskar Pelangi. Dan berhubung Laskar Pelangi ini katanya kisah nyata, napak tilas Laskar Pelangi ini akhirnya dijadikan semacam daya tarik pariwisata tersendiri di Gantong. 


Hanya saja ternyata lokasi Laskar Pelangi ini agak berbelit-belit rutenya, karena juga berada di dalam (bekas) kompleks PT. Timah yang tersohor itu. Kalau sudah begini, saatnya navigator kece beraksi dengan cara memikat siapa saja yang bisa ditanyai jalan. Dengan sedikit senyum manis dan keahlian negosiasi yang handal ala Black Widow, para tukang tambal ban atau penjaga warung kelontong pinggir jalan itu akhirnya mau buka mulut juga – hahaha. 

Jadi memang orang Belitung itu pada dasarnya ramah-ramah, suka menolong, dan gemar menabung, jadi tidak ada kesulitan sama sekali untuk bertanya pada mereka. Sayangnya, keterangan dari abang-abang ini juga kadang-kadang menyesatkan, jadi pelajaran moral keempat adalah pastikan untuk paling tidak bertanya pada 2 orang, minimal ada pembanding lah, terus turuti saran abang yang lebih ganteng.

Setelah beberapa kali nyasar, ditambah acara cekcok dan tampol-tampolan, akhirnya mobil kami masuk ke belokan terakhir menuju SDN Muhammadiyah Gantong, sekolah Laskar Pelangi yang sudah kami damba-dambakan sejak tadi. Tapi eits, mata kami lalu tertumbuk pada sebuah rumah putih kecil dengan plang kayu bertuliskan “Laskar Pelangi Tourist Centre”. Karena merasa kami juga turis kan ya – meskipun turis kere – dengan penasaran membuncah, turunlah kami dari mobil. Selagi 2 fotografer itu sibuk dengan tripod dan tetek bengeknya, saya iseng-iseng mengetuk pintu rumah tersebut. Hening.

Saya beranikan diri mengintip, ternyata didalamnya semacam galeri begitu, banyak foto-foto dan lukisan di dinding, perkakas-perkakas nampak berserakan, seperti ada yang sedang dipersiapkan disana. Selain itu, ada seorang pria yang tengah tidur dengan lelapnya di tengah ruangan besar itu. Saya ketuk pintu lagi. Masih tidak ada jawaban.

Saya lalu mengamati foto close-up Andrea Hirata yang dipajang dekat pintu, tanpa sengaja menengok kembali pria yang entah tidur entah pingsan itu, dan ajaibnya kedua wajah itu,,, keritingnya mirip, hidungnya mirip, topinya mirip. Apakah ini fatamorgana, ya Alloh? Sebelum sempat menyimpulkan, saya terpekik, pria itu sudah didepan saya menghunus pisau berlumuran darah! Hahaha. Maksudnya, saya terpekik karena itu Andrea Hirata betulan, saya punya kesempatan foto bareng dengan artis, tapi saya kucel baru bangun, rambut acak-acakan dan gak bawa Relaxa!

Setelah beberapa kali mengetuk pintu dengan agak bernafsu, seorang wanita muda umur sekitar 30-an keluar, entah istri atau manager dari Andrea Hirata. Katanya mereka sedang mempersiapkan event kunjungan dari Singapura. Anehnya waktu kami tanya, apa pria yang tidur disitu tadi benar Andrea Hirata, mbaknya bilang bahwa benar Andrea Hirata sedang di Belitung, tapi beliau sedang keluar dan tidak ada dirumah. Jengjeeeeeeng!! Kami bertiga sontak bertatapan. Setengah linglung, ini apakah sekedar sindrom artis yang lagi-capek-males-ketemu-fans atau memang agak mistis yah bro.

Untungnya, bayangan kejadian tadi langsung sirna begitu kami sampai di SDN Muhammadiyah yang hanya berkisar 5 menit dari tourist-centre. Can’t believe I’m really here, menyaksikan dengan mata kepala sendiri sekolah legendaris ini, meskipun hanya replikanya. Bangunannya memang persis sederhana, agak miring, lengkap dengan balok kayu penyangga di satu sisi supaya tidak roboh. Kelasnya hanya 3 buah, masing-masing sudah reyot dengan dinding yang sudah jarang-jarang.

Mungkin agak lebay yah, tapi saya merasa ada aura magis, semacam kehangatan yang menyusup seketika saat saya melihat betapa sekolah sebersahaja ini tak menyurutkan semangat belajar bocah-bocah pantang menyerah itu. Ah saya jadi malu.. Malu karena perjuangan sekolah saya dulu sebenarnya tak ada apa-apanya dibanding mereka, dan malu karena ternyata resleting saya belum dikancing.
 

Disini kami juga bertemu dengan anak-anak asli penduduk sini yang sedang asyik bermain di sekitar gerbang sekolah. Ternyata mereka ini artis-artis cilik yang bermain di sinetron Laskar Pelangi versi TV, tepatnya pemeran Boreks dan Trapani. Sebenarnya kata orang, tokoh asli Laskar Pelangi pun sampai sekarang masih hidup dan tinggal di Belitung. Tapi mungkin lain kali bisa kita lanjutkan liburan khusus untuk hunting tokoh dan artis Laskar Pelangi :)


Masih di wilayah Belitung Barat, perjalanan lalu dilanjutkan ke Pantai Bukit Batu. Agak perjuangan juga buat sampai ke pantai ini. Jalan menuju kesana agak jauh jaraknya dan meskipun masih beraspal, setelah diperhatikan ternyata makin kedalam jalannya makin sempit, sampai akhirnya hanya jadi jalan setapak yang nampak jarang dilalui orang. Sempat kepikiran buat mutar balik, karena tidak nampak ada tanda-tanda kehidupan dan tak ada satu pun batang hidung yang bisa ditanyai, tapi insting James Bond kami membuat kami pantang kembali kalau misi belum tercapai.

Tapi semakin lama kok, kanan kiri jalan berubah jadi hutan yang makin rapat dan makin gelap karena cahaya matahari terhalang rimbunnya pohon dan semak. Belum lagi partisipasi deretan lampu antik di kanan kiri jalan, yang bentuknya agak kuno-kuno gimanaaa gitu, sungguhan bikin suasana makin horor. Kalau saja kami ini bukan anak-anak sholeh yang rajin sholat, gemar mengaji, dan kuat iman, pastilah saat itu juga kami sudah memutar balik mobil.

Akhirnya rimbunan pohon makin berkurang, jalanan makin terang, dan sampailah kami di sebuah bukit yang asri. Disitu kami melihat sebuah mobil lain yang parkir, dan seketika itu juga kami langsung sujud syukur dan bikin kenduri 7 hari 7 malam. Tidak terkatakan leganya ketemu indikasi eksistensi makhluk hidup disana.

Di bukit ini nampak beberapa bangunan kecil, sepertinya fasilitas wisata, tapi sudah sangat tak terawat. Yah kalau dipikir-pikir lagi, siapa juga yang mau berkendara jauh-jauh kesini cuma buat lihat pantai yang sebenarnya juga ada banyak di seluruh penjuru Belitung. Pilihannya kalau bukan traveler gila dengan rasa penasaran terlampau tinggi kayak kami ini, ya muda-mudi yang lagi cari tempat mojok yang sepi kali ya. Itulah kesimpulan dari investigasi dan analisis sok tahu kami.

Menuruni bukit, ada jalan setapak kecil menuju ke sebuah bilik di seberang. Jalan setapak dan bilik itu membagi pantai menjadi 2 bagian. Dan seperti namanya, pasti sebenarnya sudah ketebak bahwa daya tarik utama dari pantai ini masih berupa batu. Disini batu-batunya tidak terlalu massive tapi banyaaaak. Berserakan dan menumpuk tepat di bibir pantai. Ini tentunya berkorelasi positif dengan populasi udang di balik batu – ngook. Pasir disini putih dan halus, dan ombaknya malu-malu.


Setelah puas foto-foto, nungguin pria-pria ini ngecengin cewek grup turis di bagian pantai sebelah, dan baca surat Yasin 7x juga tentunya, kami kembali melewati jalan setapak berdarah yang ternyata tidak berkurang level horornya, tapi kami akhirnya berhasil keluar dari sana hidup-hidup.  

Destinasi berikutnya adalah Vihara Dewi Kwan Im, masih di wilayah barat tak jauh dari Bukit Batu. Kesan pertama begitu melihat vihara ini adalah.. merah. Kenapa begitu? Pertanyaan bodoh, tentu saja karena viharanya dicat merah, makanya merah. Saya sih sebenarnya belum terlalu banyak melihat vihara, tapi bisa dibilang vihara ini cukup besar dan luas. Ada banyak pendopo, tangga, tempat berdoa, tungku, patung dewa, dan bau dupa yang menyeruak di udara. Kesannya sangat oriental, apalagi dengan ukiran-ukiran naga di pilar-pilarnya yang semuanya berwarna merah.


Kalau boleh jujur, meskipun saya bukan penganut Budha, saya berani bilang bahwa ada aura spiritual sangat kental yang terasa begitu saya menjejakkan kaki disana. Itulah sebabnya, kami berusaha menghormati tempat ibadah ini, cukup melihat, memotret, tidak menyentuh apa-apa, tidak rusuh, dan tidak sompral. Bagaimanapun juga, meskipun sudah jadi obyek wisata, vihara tetaplah tempat sembahyang, tempat kontak vertikal penganut Budha dan penciptanya, terjadi disana. Jadi, ingat untuk jadi traveler yang menghormati budaya yah agan-agan :)


Pulang dari vihara, hari sudah sore dan langit sudah mulai bersahabat. Kali ini insting kami memilih pantai Burong Mandi sebagai penutup. Pantai yang sebenarnya tidak tercantum dalam list itinerary yang kami punya, tapi tiap abang-abang yang kami tanyai di jalan selalu merekomendasikan untuk kesana.

Perjalanan menuju pantai ini sangat menyenangkan. Kami tak lagi menjejak tanah – urrm, kuntilanak maksud lo? – melainkan sudah berupa pasir. Di kanan kiri jalan berjejer rumah penduduk dari kayu yang sederhana. Jendela mobil kami buka, membiarkan wajah kami disapa angin laut sore. Beberapa penduduk lalu lalang dan tersenyum ramah. Ahh, perfect combination!

Pantai Burong Mandi, diluar dugaan tidaklah berbatu-batu seperti yang kami prediksi, yang berarti juga gak ada udang dibaliknya – teteuuup yah. Hanya pantai sederhana, garis pantai yang lurus, air laut yang mulai pasang, ombak bergemuruh, dan pasir putih yang halus. Yang tidak biasa adalah deretan perahu warna-warni eye-catching yang ditambatkan rapi berjejer di sepanjang pantai. Cantik sekali, secantik wanita yang menulis ini.


Sempat dapat beberapa momen sunset, tapi tidak terlalu dashyat. Dan setelah sunset usai dan photo session selesai, tinggallah kami bertiga, duduk berselonjor, menghadap laut, dan bercengkerama dengan ombak – sudah mulai berhalusinasi. Masing-masing dengan khusyuk berkontemplasi, merenung, menggalau, dan apalah itu you name it, sampai akhirnya seorang bapak-bapak teriak dengan hebohnya, dilarang duduk di atas perahu katanya, sambil mengacung-acungkan jarinya, yang sukses bikin kami lari terbirit-birit sambil nyengir-nyengir.


Seiring dengan tuntasnya perjalanan petang itu, sebuah PR masih menunggu kami. Menyetir pulang selama 2 jam, pemirsa! Dan untuk pertama kalinya selama saya hidup, saya bersyukur sekali dilahirkan sebagai perempuan, hihi. Let the boys handle such thing! Saya tinggal duduk, nyemil, ngobrol, tewas, bangun-bangun sudah sampai hotel. Tapi berhubung sialnya saya kebelet pipis, akhirnya saya malah jadi tidak bisa tidur.

Di tengah jalan kami sempat kelimpungan, tak tahu arah pulang. Maklum, sudah gelap dan kami sudah berputar-putar seharian tadi. Akhirnya saya didaulat lagi untuk kembali memikat abang-abang, bertanya jalan pulang. Abang-abang itu pun tak sanggup menahan pesona saya dan akhirnya membocorkan jurus pamungkasnya. Katanya, kalau mau sampai ke kota, ikutin saja tiang listrik di pinggir jalan, itu pasti jalan utama ke kota. Dan benar loh, berbekal petuah si abang-abang, perjalanan pulang kami lancar car carrrr tanpa nyasar lagi.

Sungguh advice yang luar biasa sekali saudara-saudara, kami sampai sembah sujud ke abang ini. Nih abang, jurusnya ngalah-ngalahin tips and trick-nya Lonely Planet. Dan ini adalah pelajaran kelima yang kami pelajari di Belitung, sekaligus yang paling cihuy.

Sampai di kota, berhubung kami sudah keburu busung lapar, gak ada waktu lagi untuk hunting resto-resto enak, dan ini malam minggu lohh pliss deeh, mau liburan sampai ujung pulau juga yang namanya anak muda harus tetap eksis. Akhirnya kami ke pantai Tanjung Pendam lagi, tapi kali ini agak naik kelas sedikit, bukan nongkrong di warung tapi di café. Sebenarnya bukan menunya, atau lokasinya, yang bikin kita tertarik singgah, tapi karena ada live musicnya. Dan pemain gitarnya ganteng, hehe.

Nama cafénya Kareso. Makanannya standard lah, harga so-so, tapi itu performance band-nya bener-bener cendol ijo, gan. Lagu-lagunya asoy, aransemennya pas, dan suara vokalisnya, – sebagai sesama biduanita meskipun aye cuma penyanyi dangdut panggilan dari kampung ke kampung skala ecek-ecek, saya tahu persislah kualitas suara mereka, keren! Yang ngerusak suasana cuma ini penonton-penonton yang terlalu pede terus sok-sokan nyumbang lagu. Sungguh antiklimaks. Kami langsung bubar jalan.

Nah, burung irian burung cendrawasih. Cukup sekian dan terima kasih. Tunggu kelanjutan petualangan kami di episode Day-3 yahhhh :)


...


Note:
1. All pictures copyright Hadi Firdausi, Maidy Putra, dan Eva Bachtiar.

2. Baca juga petualangan sebelumnya di hari pertama di Halo Belitung - Day 1.

Halo Belitung! - Day 1



Well, sebenarnya perjalanan ini dilakukan tepat setahun yang lalu, tapi baru sekarang benar-benar punya waktu untuk mendokumentasikannya dengan baik. An unforgettable trip, and you'll know why :)

Jadi, tebak kemana kita pergi kali ini? Yup, Belitung, yang akhir-akhir ini sedang trending di dunia pariwisata Indonesia. Rombongan kali ini terdiri dari tiga orang rekan kerja yang sudah saling kenal luar dalam, hehe.. Dengan berbekal itinerary acuan entah dari mana, e-book Lonely Planet yang surprisingly punya ulasan yang lumayan lengkap, dan memori hasil tontonan film Laskar Pelangi, berangkatlah kami, seperti biasa hanya berbekal keyakinan bahwa: what will be, will be :)
 

Titik keberangkatan awal adalah dari Jakarta, dengan tiket pesawat termurah yang bisa didapat, bertolaklah kami ke bandara Belitung, Tanjung Pandan. And with the cheap tickets, comes the delay consequence, hehe. Pesawat kami sukses delay 2 jam, membuat kami terlantar berdesakan di bandara macam ikan pindang dengan penumpang lain. Begitu sampai di bandara H.A.S. Hanandjoeddin, kesan pertamanya adalah… panas – ya iyalah, what do you expect? – dan belt conveyor di bandara yang panjangnya cuma secuprit – urrrm, baiklahh, ini memang observasi subyektif yang tidak penting.

Setelah celingak-celinguk memperhatikan iklan-iklan hotel yang dipampang di bandara, dan berkesimpulan bahwa range harganya diatas kemampuan backpacker-backpacker kere macam kami ini, keputusan pertama yang kami ambil adalah, how to escape from the airport first, and let God do the rest, hehe.

Dan doa kami ternyata dijawab Tuhan dalam wujud seorang pria kurus dengan jambul klimis disisir ke atas dalam setelan anak muda perlente, yang menghampiri kami dan menawarkan taksinya. Sebutlah namanya Kumbang.

Setelah tawar-menawar harga, yang ternyata tak bisa ditawar, kami lalu dibawa oleh mas ini ke daerah sekitar Tanjung Pandan. Dalam perjalanan, pada mas-mas ini kami curhat betapa kami hanya sanggup afford hotel-hotel kelas menengah, karena sudah sekian lama kerja di perusahaan emas kayak kuli tapi gaji gak naik-naik – eaaaa, curhatnya keterusan.

Mas ini lalu dengan baik hatinya mengantarkan kami melihat-lihat 3 hotel yang menurutnya sesuai dengan tampang dan dompet kami. Di hotel pertama, Pondok Impian II, kami langsung jatuh cinta pada injakan kaki pertama. Hotelnya model arsitektur Bali dengan warna coklat yang kental, lingkungan yang cozy, ibu resepsionis yang menyambut kami dengan super ramah dan keibuan sekali, dengan banyak gazebo di bagian belakang yang langsung menghadap ke pantai. Bahkan setelah melihat 2 hotel berikutnya, hati kami sudah tertambat di tempat ini.





PR berikutnya adalah mencari mobil sewaan dengan harga yang pas di kantong. Semua nomor kontak rental mobil yang kami punya membandrol harga 300-350rb sehari, tapi mas ini ternyata bersedia menyewakan mobil Avanza yang tengah kita kendarai itu dengan 250rb sehari.

Jadi setelah deal harga, mobil langsung kami bawa dan mas itu kami suruh pulang jalan kaki, hehe. Enggak deng, dia dijemput sama anak buahnya, dan setelah kami lihat kartu namanya, ternyata beliau ini adalah manager tour and travel gitu. Beuh! Pelajaran pertama di Belitung adalah, don’t judge people hanya dari jambulnya. Okesipp.

Nah, coba tebak agenda pertama kami di Belitung hari ini? Karena tak mau kalah dengan keklimisan mas Kumbang, kami pun bertekad untuk mencari salon terdekat. Tentunya agar nantinya bisa ngeceng maksimal, penampilan pun harus menunjang bukan? Dan ternyata susahnya naujubile menemukan salon yang convenient (menurut saya) di Belitung ini, sampai nyaris setengah jam berputar-putar, hingga akhirnya saya menyerah karena diancam bakal diturunin di tengah jalan.

Di sebuah salon sederhana di pinggir jalan, kami potong rambut dan di luar dugaan ternyata hasilnya bagus! Tapi setelah dipikir-pikir, memang rambut saya sudah bagus dari sananya, jadi dipotong model apa saja dan di salon mana saja juga pasti tetap enak dilihat – minta disembelih gak sih? :)


Sambil istirahat sejenak, kami lanjut menyusun strategi dalam menghadapi iklim persaingan global di tengah ketidakpastian harga emas dan tembaga. Tapi karena terlalu mumet kami akhirnya ganti menyusun strategi bagaimana caranya melarikan mobil mas Kumbang. Tapi karena gak tega kami lalu akhirnya menyusun strategi yang gampang-gampang saja, yaitu strategi mengitari kota Belitung ini – ngoook, agak antiklimaks ya?

Berbekal peta dengan spot-spot wisata, bisa disimpulkan bahwa Belitung ini terbagi dalam beberapa area besar, Timur, Utara, Selatan, dan wilayah kepulauan di sekitar garis pantai utara. Karena kami menginap di Barat, maka area terdekat yang bisa dikunjungi sore itu adalah ke utara atau ke Tanjung Kelayang.


Perjalanan ke Tanjung Kelayang makan waktu sekitar setengah jam. Tahu apa yang paling menakjubkan dari Belitung? Jalan rayanya, saudara-saudara! Oh tidak, anda tidak salah baca, kami pun takjub betapa jalan raya di sini bahkan jauh lebih bagus dari jalan di kota-kota besar. Jalan disini luas, mulus diaspal, tanpa cacat, no bumpy road, dan yang paling penting: lengaaaang! There’s no such thing yang namanya macet, wong mobil juga hanya papasan sekali-kali.

Begitu lengangnya disini sampai mobil bisa dipacu ratusan km/jam kalau kita mau. Not to mention marka jalan dan signboard yang komplit plit plit di setiap persimpangan. That’s why road trip could be soooo fun disini, apalagi kalau sore-sore kita bisa membuka jendela dan merasakan langsung angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah. That’s little heaven on earth :)


Sampai di Tanjung Kelayang, terjadilah pertemuan pertama kami dengan batu-batu massive khas Belitung yang tersohor itu. Batu-batu ini tersebar di dekat bibir pantai dengan posisi dan bentuknya yang eksotis. What a view lah pokoknya. Kebetulan saat itu sunset sudah hampir turun, jadi sore itu diisi full dengan photo-session.

Dan berhubung ini 2 pria pada bawa-bawa kamera gede dan sibuk motret-motret semua, sudah ketebak kan siapa yang jadi modelnya? Apa?? Saya?? Salah besar.. Yang jadi modelnya tetap batu-batu itu, saya cuma ornamen pelengkapnya, yang difoto di sebelah batu biar jadi pembanding ukurannya gitu. Sedih ya? Yah begitulah. Jadi, pelajaran kedua di Belitung, berliburlah dengan fotografer supaya banyak difoto, tapi jangan fotografer yang lebih tertarik pada obyek batu daripada modelnya – halaaah :).



 
Setelah puas berburu sunset, yang durasinya tidak sepanjang yang diharapkan karena keburu mendung, masih dalam keadaan setengah basah – why does it sound so wrong? – kami langsung makan di pantaai Tanjung Pendam. Pantainya hanya 2 menit dari hotel tempat kami menginap, yang konon juga arena hang-out paling gaul warga sini. Banyak warung-warung makan seafood, gazebo kayu tepi pantai, penjual-penjual asongan, dan warga yang tumpah ruah di sini. Kenyang makan ikan bakar, cumi bumbu, dan cah kangkung, dengan mata kriyep-kriyep kami pulang ke hotel dan tidur pulas.

Tunggu kelanjutannya di episode Day-2 yahhh :)


...


Note:
All pictures copyright Hadi Firdausi, Maidy Putra, dan Eva Bachtiar.

Tentang Mantan



...

Saya selalu heran dengan orang-orang yang bersikukuh untuk bermusuhan dengan mantannya pasca putus cinta. Entah itu dengan menghapus namanya dari contact hp, menghindar untuk bertemu, atau seandainya bertemu lalu membuang muka, membakar barang-barang peninggalan mantan (mulai anarkis), you name it. Mungkin tidak semua cerita bisa digeneralisir, tapi secara garis besar, saya pribadi, merasa hal-hal seperti ini tidaklah perlu. Marilah kita berantas tindak-tanduk generasi lebay semacam itu.



Pernah dengar pepatah Barat bahwa a dog will behave just like his man? Well, mungkin maksud sebenarnya adalah, seiring waktu, sadar atau tidak sadar, tingkah laku kita akan semakin menyerupai orang yang kesehariannya dekat dengan kita, atau dengan orang yang banyak menghabiskan waktu bersama kita. Tak jarang, saat kita menjalin hubungan dengan seseorang, terjadi pertukaran value dan kompromi. Yang namanya dua individu disatukan, mau tidak mau kita akan berusaha menerima, atau setidaknya bertoleransi dengan value individu masing-masing.

Nah, saya punya beberapa kisah unik tentang kebiasaan-kebiasaan mantan saya, tentang pertukaran value ini. Seorang mantan saya dulu, selalu misah-misuh kalau setelah makan di warung saya membuang abu rokok ke piring. Menurutnya, pada prinsipnya, piring merupakan tempat makanan, dan adalah penting untuk menghormati makanan. Dulu sih saya sering sewot dan merasa direpotkan, tapi ternyata semenjak itu, kini saya yang mengingatkan teman-teman saya untuk berbuat serupa.

Mantan saya yang lain membuat saya lebih dekat Yang Kuasa. Karena dia rajin sholat, saya akhirnya tak pernah absen diingatkan terus-menerus untuk tidak melewatkan sholat. Kalau sudah waktunya sholat, daripada saya bengong saya lalu ikut dia sholat. Begitu seterusnya sampai saya merasa bahwa sholat dan berkomunikasi dengan Tuhan adalah kebutuhan saya sendiri. Alhamdulillah yaaaahhh :)

Para mantan ini juga kalau diingat-ingat, tak jarang menjadi pintu kita untuk berkenalan dengan dunia lain yang selama ini mungkin tak akan kita jumpai sendiri. Saya sendiri, berkenalan dengan dunia komik, jatuh cinta pada diving, tergila-gila dengan basket, dan mengenal air-soft gun, berkat mereka. Mereka ini tanpa sadar ternyata sudah menjadi guru kehidupan kan ?

...

Dalam kasus saya, mereka bahkan mengajarkan hal-hal yang jauh lebih berarti, jauh lebih hakiki. Hal-hal dalam hidup yang mempelajarinya paling baik adalah dengan mengalaminya langsung, tak ubahnya seperti mereka yang harus jatuh dulu sebelum bisa naik sepeda. 

Pasca putus dengan mantan dari hubungan selama tujuh tahun, saya akhirnya menyadari bahwa sama sekali bukan durasi yang menjadi tolak ukur cinta sejati.

Sekali patah hati paling dashyat menyadarkan saya bahwa simply rahasia jodoh itu ada ditangan Yang Kuasa. Sekuat apapun kita berusaha, sekuat apapun kita menahannya, kalau Tuhan bilang tidak, ya apa mau dikata. Dan setelah berjibaku sekian lamanya dengan hati, here I am, ternyata saya baik-baik saja. Jadi saya belajar bahwa move-on itu susah, mungkin nangis darah, tapi pasti bisa. Been there, done that. Saya belajar jadi orang yang tidak memusingkan cinta, yakin sudah ada yang mengatur, yang akan memberi yang terbaik pada waktunya nanti.

Pernah sekali punya mantan yang jadiannya hanya beberapa saat pasca putus yang sebelumnya. And just like another story, that fragile girl fell into this man. Setelah putus, saya belajar banyak hal bahwa, jangan pernah memulai sebuah hubungan sampai hatimu benar-benar sudah siap memulai kembali, bahwa hati tak akan pernah bisa bohong, dan bahwa waktu selalu bisa membuka semua tabir. 
 
Tapi saya pun, - dan saya yakin juga most of you - pernah juga beberapa kali punya mantan yang setelah dilihat-lihat lagi, hanya bisa membuat saya berpikir "What the hell was I thinking? How could I?" Hahahaha... 

...

Jadi, kalau dibilang putus cinta itu meninggalkan luka, mungkin itu benar. Tapi bisa jadi mereka memberi hikmah dan pembelajaran yang jauh lebih banyak bagi kemajuan kita. Itulah sebabnya saya tak pernah menyesali putus cinta. Meskipun kita tak lagi berada dalam satu bahtera, bukan berarti kita harus bermusuhan, bukan? Jika kita pernah menjadi orang terdekat, kenapa sekarang harus jadi orang jauh dan asing? 

Ada pepatah twitter yang bilang: What begins with “I love you”, doesn't have to end with “I hate you”, just say “Thank you” and “Nice to know you”. Terima kasih untuk semua pembelajaran dan hikmah yang didapat bersama mereka, hingga saat waktunya nanti kita bertemu "the right one", kita sudah jadi orang yang lebih baik. Amiiin :)




PS: And someday someone will walk into your life and make you realize why it never worked-out with anyone else. 

Adik Kecil Bervisi Besar..

 
Meet Nova, my lil' sister. Si adek paling bontot yang kedatangannya mengejutkan kami semua. Saya ingat saya duduk di semester 6 waktu itu, tengah bersantai di kosan, dan nyaris keselek sendok - waktu Evi, adek saya menelepon dan memberitahu bahwa sang nyokap tengah hamil (lagi). Saya bangkit dan bercermin, menyadari bahwa saya berumur 20 tahun dan bertanya-tanya seperti apa rasanya punya adik lagi.

Lalu lahirlah bocah ini ke dunia. Dengan status bungsunya dan kemanjaannya yang segera merebut hati semua. Wajahnya manis dan menggemaskan, sudah pasti lebih cute dibanding kakak-kakaknya yang dekil itu. Suaranya cempreng memekakkan telinga, yang dijadikannya senjata untuk mengadukan orang-orang yang mengganggunya. Hobinya menangis dan berteriak. Manjanya bukan kepalang. Adik kecil ini sepertinya sadar betul potensi anak bungsu, dan bisa memanfaatkannya dengan baik untuk mendapat hal-hal yang dia inginkan. Hahaha...

She is sooooo irresistible!

Tapi dibalik kemanjaannya yang kadang-kadang bikin saya kepengen mengiris nadi, rumah kami akhirnya jadi semarak kembali. Meskipun tiap hari adegannya tetap saja sama, - sang kakak menjahili si adik, si adik nangis dan mengadu, gantian si kakak dimarahi bokap nyokap. Si kecil ini selalu berhasil bikin kami mengurut dada, tapi di saat yang sama juga sayang dan gemas bukan kepalang.

Kini, dia tumbuh, begitu cepatnya! Saya yang hanya pulang ke rumah setahun sekali dua kali ini, selalu takjub melihat betapa cepatnya seorang bayi lucu bertransformasi menjadi gadis kecil yang ceria. Ia kini tumbuh menjadi anak yang cerdas, kritis, sangat menggemaskan dengan celetukan-celetukan spontannya dan pertanyaan beruntun yang tak habis-habisnya. Tapi yang bikin saya luar biasa kagum, ia punya pemikirannya sendiri yang sangat dewasa yang dihasilkan lewat alur berpikirnya yang lugu dan bersahaja.

Isn's she so cute?

Tumbuh sebagai anak bontot yang kakak pertamanya bekerja di luar pulau, kakak keduanya bekerja di luar kota, kakak ketiganya duduk di bangku SMA dan jadi remaja gaul yang jarang pulang, - praktis si Nova ini jadi satu-satunya yang menemani orang tua kami di rumah. Entah karena pesonanya yang susah ditampik atau memang karena orang tua kami sudah berada di titik dimana mereka sudah jenuh menjadi orang tua yang keras, si Nova benar-benar menjadi anak kesayangan. Setengahnya mungkin karena rasa terima kasih mereka akan hadirnya seseorang yang menemani hari-hari mereka dengan keceriaan yang sudah lama lenyap dari rumah, ikut terbawa anak-anak mereka yang pergi merantau.

Suatu ketika, saya menanyakan cita-citanya, hendak jadi apa besar nanti. Pertanyaan lumrah yang ditanyakan ke anak kecil bukan? Dan saya tidak berharap jawabannya akan jauh-jauh dari sekitar dokter, presiden, astronot, artis, atau pilot. Tapi jawaban adik kecilku ini luar biasa: ingin jadi guru ngaji sambil buka warung di depan rumah. Alasannya pun sederhana, supaya bisa tetap menemani sang ibu agar tak sendirian di rumah.

Saya merasa telak tertampar. Rupanya ia menyaksikan betapa kakak-kakaknya kini sibuk dengan kehidupannya, dan cita-citanya jelas menggambarkan bahwa ia tak ingin seperti kami. Saya tertegun. Sungguh tak sekalipun pernah terlintas di benak untuk mencari pekerjaan yang dekat dari rumah, yang saya pikirkan hanyalah berkarir setinggi-tingginya, mengaktualisasi diri, hidup dengan nyaman dan bercukupan.

Calon ibu guru ngaji kami!

Adik kecil, terima kasih telah membukakan mata kami. Bahwa kebahagiaan tidaklah selalu berbanding lurus dengan kemapanan. Bahwa terkadang bahagia itu bisa didapatkan dengan membahagiakan orang lain. Bahwa membahagiakan orang tua tidaklah melulu dengan uang dan harta, melainkan cukup dengan hal-hal kecil yang justru sering luput dari kita - berada di sisi mereka, mendampingi hari-hari mereka, mendengarkan cerita dan keluh kesah mereka...


PS: Tumbuhlah, tumbuhlah menjadi gadis yang penuh cinta pada sesama :)