Rss Feed

Halo Belitung! - Day 1



Well, sebenarnya perjalanan ini dilakukan tepat setahun yang lalu, tapi baru sekarang benar-benar punya waktu untuk mendokumentasikannya dengan baik. An unforgettable trip, and you'll know why :)

Jadi, tebak kemana kita pergi kali ini? Yup, Belitung, yang akhir-akhir ini sedang trending di dunia pariwisata Indonesia. Rombongan kali ini terdiri dari tiga orang rekan kerja yang sudah saling kenal luar dalam, hehe.. Dengan berbekal itinerary acuan entah dari mana, e-book Lonely Planet yang surprisingly punya ulasan yang lumayan lengkap, dan memori hasil tontonan film Laskar Pelangi, berangkatlah kami, seperti biasa hanya berbekal keyakinan bahwa: what will be, will be :)
 

Titik keberangkatan awal adalah dari Jakarta, dengan tiket pesawat termurah yang bisa didapat, bertolaklah kami ke bandara Belitung, Tanjung Pandan. And with the cheap tickets, comes the delay consequence, hehe. Pesawat kami sukses delay 2 jam, membuat kami terlantar berdesakan di bandara macam ikan pindang dengan penumpang lain. Begitu sampai di bandara H.A.S. Hanandjoeddin, kesan pertamanya adalah… panas – ya iyalah, what do you expect? – dan belt conveyor di bandara yang panjangnya cuma secuprit – urrrm, baiklahh, ini memang observasi subyektif yang tidak penting.

Setelah celingak-celinguk memperhatikan iklan-iklan hotel yang dipampang di bandara, dan berkesimpulan bahwa range harganya diatas kemampuan backpacker-backpacker kere macam kami ini, keputusan pertama yang kami ambil adalah, how to escape from the airport first, and let God do the rest, hehe.

Dan doa kami ternyata dijawab Tuhan dalam wujud seorang pria kurus dengan jambul klimis disisir ke atas dalam setelan anak muda perlente, yang menghampiri kami dan menawarkan taksinya. Sebutlah namanya Kumbang.

Setelah tawar-menawar harga, yang ternyata tak bisa ditawar, kami lalu dibawa oleh mas ini ke daerah sekitar Tanjung Pandan. Dalam perjalanan, pada mas-mas ini kami curhat betapa kami hanya sanggup afford hotel-hotel kelas menengah, karena sudah sekian lama kerja di perusahaan emas kayak kuli tapi gaji gak naik-naik – eaaaa, curhatnya keterusan.

Mas ini lalu dengan baik hatinya mengantarkan kami melihat-lihat 3 hotel yang menurutnya sesuai dengan tampang dan dompet kami. Di hotel pertama, Pondok Impian II, kami langsung jatuh cinta pada injakan kaki pertama. Hotelnya model arsitektur Bali dengan warna coklat yang kental, lingkungan yang cozy, ibu resepsionis yang menyambut kami dengan super ramah dan keibuan sekali, dengan banyak gazebo di bagian belakang yang langsung menghadap ke pantai. Bahkan setelah melihat 2 hotel berikutnya, hati kami sudah tertambat di tempat ini.





PR berikutnya adalah mencari mobil sewaan dengan harga yang pas di kantong. Semua nomor kontak rental mobil yang kami punya membandrol harga 300-350rb sehari, tapi mas ini ternyata bersedia menyewakan mobil Avanza yang tengah kita kendarai itu dengan 250rb sehari.

Jadi setelah deal harga, mobil langsung kami bawa dan mas itu kami suruh pulang jalan kaki, hehe. Enggak deng, dia dijemput sama anak buahnya, dan setelah kami lihat kartu namanya, ternyata beliau ini adalah manager tour and travel gitu. Beuh! Pelajaran pertama di Belitung adalah, don’t judge people hanya dari jambulnya. Okesipp.

Nah, coba tebak agenda pertama kami di Belitung hari ini? Karena tak mau kalah dengan keklimisan mas Kumbang, kami pun bertekad untuk mencari salon terdekat. Tentunya agar nantinya bisa ngeceng maksimal, penampilan pun harus menunjang bukan? Dan ternyata susahnya naujubile menemukan salon yang convenient (menurut saya) di Belitung ini, sampai nyaris setengah jam berputar-putar, hingga akhirnya saya menyerah karena diancam bakal diturunin di tengah jalan.

Di sebuah salon sederhana di pinggir jalan, kami potong rambut dan di luar dugaan ternyata hasilnya bagus! Tapi setelah dipikir-pikir, memang rambut saya sudah bagus dari sananya, jadi dipotong model apa saja dan di salon mana saja juga pasti tetap enak dilihat – minta disembelih gak sih? :)


Sambil istirahat sejenak, kami lanjut menyusun strategi dalam menghadapi iklim persaingan global di tengah ketidakpastian harga emas dan tembaga. Tapi karena terlalu mumet kami akhirnya ganti menyusun strategi bagaimana caranya melarikan mobil mas Kumbang. Tapi karena gak tega kami lalu akhirnya menyusun strategi yang gampang-gampang saja, yaitu strategi mengitari kota Belitung ini – ngoook, agak antiklimaks ya?

Berbekal peta dengan spot-spot wisata, bisa disimpulkan bahwa Belitung ini terbagi dalam beberapa area besar, Timur, Utara, Selatan, dan wilayah kepulauan di sekitar garis pantai utara. Karena kami menginap di Barat, maka area terdekat yang bisa dikunjungi sore itu adalah ke utara atau ke Tanjung Kelayang.


Perjalanan ke Tanjung Kelayang makan waktu sekitar setengah jam. Tahu apa yang paling menakjubkan dari Belitung? Jalan rayanya, saudara-saudara! Oh tidak, anda tidak salah baca, kami pun takjub betapa jalan raya di sini bahkan jauh lebih bagus dari jalan di kota-kota besar. Jalan disini luas, mulus diaspal, tanpa cacat, no bumpy road, dan yang paling penting: lengaaaang! There’s no such thing yang namanya macet, wong mobil juga hanya papasan sekali-kali.

Begitu lengangnya disini sampai mobil bisa dipacu ratusan km/jam kalau kita mau. Not to mention marka jalan dan signboard yang komplit plit plit di setiap persimpangan. That’s why road trip could be soooo fun disini, apalagi kalau sore-sore kita bisa membuka jendela dan merasakan langsung angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah. That’s little heaven on earth :)


Sampai di Tanjung Kelayang, terjadilah pertemuan pertama kami dengan batu-batu massive khas Belitung yang tersohor itu. Batu-batu ini tersebar di dekat bibir pantai dengan posisi dan bentuknya yang eksotis. What a view lah pokoknya. Kebetulan saat itu sunset sudah hampir turun, jadi sore itu diisi full dengan photo-session.

Dan berhubung ini 2 pria pada bawa-bawa kamera gede dan sibuk motret-motret semua, sudah ketebak kan siapa yang jadi modelnya? Apa?? Saya?? Salah besar.. Yang jadi modelnya tetap batu-batu itu, saya cuma ornamen pelengkapnya, yang difoto di sebelah batu biar jadi pembanding ukurannya gitu. Sedih ya? Yah begitulah. Jadi, pelajaran kedua di Belitung, berliburlah dengan fotografer supaya banyak difoto, tapi jangan fotografer yang lebih tertarik pada obyek batu daripada modelnya – halaaah :).



 
Setelah puas berburu sunset, yang durasinya tidak sepanjang yang diharapkan karena keburu mendung, masih dalam keadaan setengah basah – why does it sound so wrong? – kami langsung makan di pantaai Tanjung Pendam. Pantainya hanya 2 menit dari hotel tempat kami menginap, yang konon juga arena hang-out paling gaul warga sini. Banyak warung-warung makan seafood, gazebo kayu tepi pantai, penjual-penjual asongan, dan warga yang tumpah ruah di sini. Kenyang makan ikan bakar, cumi bumbu, dan cah kangkung, dengan mata kriyep-kriyep kami pulang ke hotel dan tidur pulas.

Tunggu kelanjutannya di episode Day-2 yahhh :)


...


Note:
All pictures copyright Hadi Firdausi, Maidy Putra, dan Eva Bachtiar.

0 comments: