Saya baru saja punya playlist baru yang saya
beri judul: Masochist. Diberi nama demikian karena setiap saya mendengarkan
lagu-lagu di dalamnya, entah kenapa, I feel blue. Dan tak banyak artis yang
masuk ke list ini: Sore, Payung Teduh, Float, dan favorit saya akhir-akhir ini,
Banda Neira.
Sounds not familiar? Yup, mereka ini memang
produk-produk indie yang tak akan pernah dilihat di billboard atau tangga lagu
komersil. Tapi di menit pertama saya mendengar mereka, I know I’ve already
fallen in love with this genre of music.
Lagu-lagu jenis ini, saya pun tak mengerti
harus mengkotakkannya ke jenis musik seperti apa. Ada yang bilang akustik
minimalis, classic jazz, blablabla. And I don’t care. Yang saya tahu, ada dua
alasan kenapa saya sangat respek pada mereka.
Satu, lagunya simple, yet so beautiful. And
powerful. Less is more. Efek pertama setelah mendengar lagu mereka biasanya
adalah: meleleh. Lalu haru-biru. Lalu damai. Dan semuanya berjalan sooo smooth.
Ajaib? Ya. (But don’t blame me if you don’t feel the same effect. Ingat, musik
itu sangat amat personal, hehe).
Yang kedua, adalah liriknya yang sangat kuat
dan dalam. Meaningful. Puitis dalam arti yang denotatif. Mendengarkan lagu
mereka seperti juga membaca karya sastra yang mengalun lewat nada-nada. Tak ada
yang namanya kisah cinta picisan. Tak ada lirik eksplisit dangkal makna. Dan
buat kita generasi muda Indonesia yang saat ini dibanjiri lagu-lagu yang, ah
sudahlah – menemukan masih ada band yang punya rasa hormat pada lirik yang
bermakna, masih ada musisi yang menghormati bahasa, rasanya seperti menemukan
harta karun. Angkat topi!
Tapi rupanya, saya punya evolusi selera musik
yang cukup lucu kalau dipikir-pikir lagi.
Pertama kali saya berkenalan dengan lagu
komersil adalah dengan lagu-lagu lawas Tommy J. Pisa dan Endang S. Taurina yang
suka diputar bapak saat masih sangat kecil. Usia sekolah dasar, saya berkenalan
dengan era lagu Hanson dan lagu Titanic-nya Celine Dion yang melegenda kala itu.
Lalu kakak tiri yang sedang puber mengenalkan saya pada idolanya, artis-artis
Malaysia dengan lagunya yang mendayu-dayu.
Memasuki usia SMP adalah era boyband.
Teman-teman mulai ngefans (pake banget) dengan segerombolan pria-pria hobi
lip-sync ini, dan mulailah era ketika pin-up menjadi koleksi paling hip kala
itu. Reaksi saya, biasa saja, saya suka semua lagu itu karena itulah
satu-satunya lagu yang saya tahu. Saya hafal lagu mereka karena saya terpapar sana-sini
oleh lagu-lagu mereka.
Masuk SMA, saya berkenalan dengan musik punk
dan hard-rock. Bukan hanya berkenalan. Jatuh cinta dan tergila-gila setengah
mati. Saat itu saya sudah mulai nge-band dengan teman-teman, dan kebetulan
semua anggota band kami punya selera yang sama. Klop. Saya ingat saya menabung
untuk beli semua album Blink-182, Sum-41, System of a Down, daaaan
teman-temannya. It was so cool back then. Haha.
Masuk kuliah saya gabung di beberapa band
berbeda, band jurusan, band di unit, dan band di tempat les piano. Selain itu,
saya punya teman, soulmate tepatnya, ksatria bergitar yang hobinya curhat kisah
cintanya, dan kita berdua sering nyanyi akustik di acara jurusan dan kampus.
Saat itulah, saya baru sadar ada yang namanya lagu Top Forty. Bahwa ada
lagu-lagu populer, yang sebagai vokalis band, saya harus tahu, karena lagu-lagu
inilah yang disukai audiens.
Dan demikianlah. Sebagai vokalis yang harus
update dengan lagu-lagu hip, saya terjerumus cukup lama dengan lagu-lagu tipe
ini. Lagu yang soooo well-known, selera sejuta umat.
Semenjak bekerja saya dan teman-teman manggung secara rutin di Lupa Lelah club (well, it wasn't really a "club") memainkan lagu rock n roll semalam suntuk. Di lain waktu, bermain akustik di tempat makan kala malam minggu.
Semenjak bekerja saya dan teman-teman manggung secara rutin di Lupa Lelah club (well, it wasn't really a "club") memainkan lagu rock n roll semalam suntuk. Di lain waktu, bermain akustik di tempat makan kala malam minggu.
Hingga sekarang. Saya tetiba saja muak dengan
segala jenis lagu Top 40 ini. Muak dengan rhytm yang itu-itu saja. Muak dengan
lirik yang kerap bikin mengurut dada. Muak dengan kepopuleran lagu-lagu dari
penguasa bisnis musik whatsoever. Muak dengan status quo.
Di saat yang sama, saya join Indonesia
Mengajar, dan ditempatkan di pelosok, dan lalu, punya lebih banyak waktu untuk
berkontemplasi. Dan lagu-lagu akustik ini, with no reason, just sounds so good.
Pas!
Pas untuk didengar kala tiduran di pantai
lelah berenang dan menunggui anak-anak bermain pasir. Pas untuk didengar kala
melakukan perjalanan jauh bersama rekan-rekan penempatan ke pelosok kampung.
Pas untuk disenandungkan saat angin meniup rambut di perahu klotok untuk
menyeberang ke pulau. Pas untuk didengarkan kala malam, mengisi energi kembali
untuk mengabdi lebih semangat lagi esok pagi.
Semoga lebih banyak lagi lagu Indonesia yang
bermutu, supaya playlist saya isinya tak hanya itu-itu saja. Amin.
NB: Dan saya tiba-tiba kangen Chabe, si
gitaris melankolis. Kangen nge-band. Kangen bikin lagu. Ada yang punya kenalan
di sekitar Banggai, Sulawesi Tengah yang mungkin mau bergenjrang genjreng
bersama? :))
NB lagi: Special to Nadira: Thanks for
introducing Banda Neira :)
2 comments:
sore ini dulu andalannya feri. ga pernah denger sih :D
punk rock bukan karena band senior yg mainnya keren itu kan ya? *hoeeeks
buat gw 90's still the best. sedang mengakrabkan kembali telinga dengan RAGE AGAINTS THE MACHINE!!!! nyooos...
Hehe iya sih, Sore itu tipikalnya kak Pea kayaknya. Hihi.
Ehem. Plis deh kak. Dari dulu kerenan band kami kemana2 dibanding band angkatan 3 yang lagu andalannya I'll be There for You nya the Rembrandts hehe. Cuma karna dulu statusnya sama senior, jadi yaaaa, kami tepuk tangan ajalah daripada bonyok. Wkwkwkwk.
Yaolo kakkk, dengerin RATM kok stelah band nya bubar. Kalo buat gw, band2 semacam ini udah terlalu berisik buat telinga gw. Hehe.
Post a Comment