Makassar terus
diguyur hujan selama beberapa hari belakangan. Rupanya kami memang datang
berlibur di tengah musim penghujan. Sedari pagi menunggu titik-titik air
berkurang, akhirnya menjelang siang matahari menggeliat keluar dari peraduan.
Agenda kami hari ini
adalah jalan-jalan di dalam kota sahaja. Saya dan Lina kompak berdua memakai
kaos hitam putih garis-garis motif zebra. Dengan sepeda motor pinjaman milik
yang empunya rumah, kami pun memulai jelajah, perlahan meninggalkan hiruk pikuk
Makassar kota, menuju daerah Bantimurung di Bulusaraung.
Perjalanan ke sana
ternyata memakan waktu cukup lama. Kami berdua bahkan tak tahu sama sekali arah
jalannya. Tapi apa gunanya dua cewek manis bila tak tahu
menggaet orang untuk bertanya. Hahaha. Setelah beberapa kali tersasar karena
salah petunjuk arah, akhirnya kami sampai juga, di depan sebuah gapura berhias
patung kupu-kupu dan monyet raksasa. Kami sudah tiba!
|
photo by @eva_bachtiar |
Dari gerbang rupanya
kami masih harus masuk beberapa ratus meter lagi. Kami menemukan sebuah sekolah
di dalam kompleks ini, tapi sesudahnya jalanan menjadi lengang dan sepi.
Akhirnya kami temukan sebuah loket masuk, dan di sanalah kami menepi. Tapi
aneh, loket ini tak ada yang menjagai. Kami berdua celingak celinguk mencari,
tapi tak satu pun batang hidung muncul depan kami.
|
photo by @eva_bachtiar |
Di belakang loket
itu kami melihat anak tangga menanjak. Ah kami nekat saja beranjak. Anak tangga
itu mengantar kami dari antara rimbunan semak-semak sampai di tengah hutan yang
mulai basah dan pekat. Hampir sepanjang jalan kami terpukau pada banyaknya kaki
seribu besar-besar menggeliat. Sementara tak henti-henti kami pasang mata
mencari kupu-kupu sambil mendongak.
|
photo by @linapw |
Konon, Bantimurung
adalah kerajaannya kupu-kupu yang beraneka rupa. Setidaknya begitulah yang kami
dengar dari berita. Tapi yang kami jumpai disini nihil nyaris tak ada. Hanya
ada beberapa kepak sayap lewat sekali dua. Apakah mereka bersembunyi ataukah
mereka tlah punah?
Setelah cukup lama
kaki mendaki, kami lalu bertemu tebing-tebing tinggi yang berjejer kanan kiri.
Keringat mulai deras membasahi dan akhirnya di sebuah gua kami berhenti. Gua
Baharuddin namanya, seperti tertera di plang kecil di sisi. Entah siapa pula
pria ini, mungkin orang penting di tanah Sulawesi.
|
photo by @linapw |
Saya dan Lina tak
perlu dikomando untuk segera masuk ke dalam. Memang kami dua wanita dengan rasa
penasaran yang terlampau tinggi kadang. Guanya menurut saya mengesankan. Gua
kapur dengan langit-langit tinggi dan embun air yang bertetesan. Sayangnya
semakin ke dalam gua semakin gelap hingga tak lagi memungkinkan dilanjutkan.
Belum lagi kami berdua hanya menggunakan sandal jepit, nyaris tak ada
persiapan. Padahal lantai gua semakin licin, semakin tak aman.
|
photo by @linapw |
Kami lalu kembali
turun ke bawah dan dicegat seorang pria. Rupanya beliau adalah pak penjaga yang
kecolongan dua gadis masuk wilayahnya seenaknya. Tapi tenang saja, ia tak
marah. Ia justru membawa kami ke tempat penangkaran kupu-kupu serupa tenda
beratap jaring kawat sederhana. Di sana kami lalu ditunjukkan pada beberapa
jenis kupu-kupu yang terbang rendah. Katanya, di musim hujan begini, memang
kupu-kupu yang muncul tak banyak jumlahnya. Hahaha, pantas saja. Rupanya salah
musim kami berkunjung ke sana!
|
photo by @eva_bachtiar |
Dari tempat
penangkaran kami dibawa melihat ke laboratorium. Jangan keburu kagum, disana kami
bukan hendak praktikum. Kami ditunjukkan oleh seorang petugas pada beraneka
ragam spesies kupu-kupu, serta ditunjukkan proses perkembangbiakannya dari
telur, ulat, hingga jadi kepompong yang lucu. Jika beruntung, kalian bisa
menyaksikan transformasi langsung dari kupu-kupu yang keluar dari kepompongnya
malu-malu. Dari sana kami juga baru tahu, bahwa rupanya TN Bantimurung ternyata
cukup luas dan punya banyak destinasi seru. Ada air terjun, caving, pemandian,
camping, sampai hiking.
|
photo by @linapw |
Dari tempat hunting
kupu-kupu (yang tak berkupu-kupu), kami lanjut masuk ke komplek Kawasan Wisata
Alam Bantimurung yang jaraknya tak jauh. Pertama kali masuk ke sana, kami sudah
disuguhi pemandangan memilukan, ribuan kupu-kupu awetan dijajakan sepanjang
jalan. Tak heran kalau jumlah mereka berkurang signifikan!
|
photo by @eva_bachtiar |
|
photo by @eva_bachtiar |
Jalan sedikit lagi,
kami bertemu Kolam Jamala. Alkisah dari kolam ini, air mengalir sepanjang masa,
keluar dari dalam gua yang merupakan sungai bawah tanah. Kolam ini juga
merupakan tempat mandi bidadari katanya, bisa menyembuhkan penyakit manusia,
dan membuat enteng jodoh bagi yang mandi di sana. Mungkin saya harus coba,
supaya peruntungan jodoh berubah! Hahaha.
|
photo by @linapw |
Beberapa ratus meter
dari Kolam Jamala kita sudah bisa melihat aliran dari air terjun
Bantimurung. Menarik melihat air ini dialirkan sedemikian rupa dan dibuatkan
semacam wahana air sederhana dengan seluncuran pendek di mana-mana. Beberapa anak
nampak ramai main air dengan ceria.
|
photo by @eva_bachtiar |
Kami teruskan mendaki,
maka sampailah kami di bagian hulu. Entah karena hujan melulu, air terjun
mengalir sangat deras dan agak keruh. Sementara itu, nampak ban-ban karet
disewakan untuk pengunjung yang hendak meluncur dari hulu, dihanyutkan aliran
air melewati lintasan yang cukup jauh. Sepertinya seru!
|
photo by @eva_bachtiar |
Air terjun
Bantimurung nampak eksotis karena diapit batu-batu dan rindang dedaunan. Di
sisi sebelah kiri terdapat walkway bersemen untuk pejalan, lengkap dengan
tempat duduk santainya yang nyaman, juga anak tangga mendaki menuju bagian puncak
air terjun di kejauhan. Di sisi sebelah kanan didominasi oleh batu-batu tempat
keluarga dan teman-teman berpiknik menggelar karpet dan makanan. Secara
keseluruhan, tempat berlibur keluarga yang menyenangkan.
|
photo by @eva-bachtiar |
Oia, di dalam
kompleks ini juga terdapat Museum Kupu-kupu yang menyimpan 133 spesies
kupu-kupu awetan. Tapi berhubung kami sudah singgah di laboratorium yang
koleksinya tak kalah lumayan, dan untuk masuk ternyata ada karcis tambahan, niat
masuk museum akhirnya kami urungkan. Hidup mental perhitungan! :D
Puas bersantai di
Bantimurung, perjalanan kami lanjutkan. Kali ini mengarah ke destinasi Rammang-rammang.
Syahdan, daerah ini tak kalah cantiknya dari Halong Bay yang termashyur di
Thailand. Untuk pergi ke daerah ini, daerah Maros harus kami lewati. Maros, buat
saya adalah salah satu desa favorit. Saya sangat menikmati perjalanan naik
sepeda motor berdua sahabat karib, membelah desa Maros di jalanannya yang
sempit, dengan hamparan sawah serba hijau di kanan kiri mengapit, satu dua
rumah sederhana dan binar mata ramah penduduk dari balik bilik, lalu
seolah-olah semua keindahan itu dipagari kokoh oleh bukit-bukit, karst hitam
yang gagah menjulang menantang langit. Ahh, indahnya menggigit!
|
photo by @eva_bachtiar |
Surprisingly, tak banyak
penduduk lokal yang tahu tentang Rammang-Rammang ini. Aneh sekali! Kami harus
menjelaskan dengan rinci, bahwa
itu-loh-Rammang-rammang-yang-kita-bisa-naik-perahu-melewati-batu-batu-karst-tinggi.
Nihil, mereka masih kebingungan setengah mati. Tapi finally, dari sekian banyak
orang yang kami tanyai, ada juga yang akhirnya bisa menunjukkan jalan kepada
kami.
Dermaga Rammang-rammang
ternyata berada di tepi jalan raya. Kami menitipkan motor pada sebuah warung
kaki lima di seberang jalan dengan ongkos 5 ribu saja. Dari jalan raya, dermaga
Rammang-rammang letaknya agak menjorok ke bawah, dan dari atas sini
pemandangannya luar biasa indah. Seperti potongan-potongan surga yang disebar Tuhan
di muka bumi-Nya.
|
photo by @linapw |
Di dermaga, sudah menunggu
pak Siama, dengan seorang anak laki-laki yang menemaninya dan
kapal-kecil-satu-motor-nya. Sebelumnya kami sudah membuat janji untuk menyewa
kapal beliau siang ini. Kala itu hanya 2 kapal yang beroperasi. Kapal lain berisi
pasangan yang sedang sesi pre-wedding di lokasi, lengkap dengan fotografer
mereka yang jumpalitan di kapal satu lagi. Pre-wedding di tempat seindah ini,
tentu tak heran kami!
|
photo by @linapw |
Tanpa banyak bicara, kami
pun meloncat ke kapal dan berangkat segera! Pak Siama berada paling belakang
mengendalikan motor kapalnya, saya dan Lina duduk berhadapan di tengah, dan
sang anak lelaki duduk paling depan di haluan dengan heroiknya. Karena ukuran
kapal yang kecil, kami tidak diperbolehkan pak Siama untuk banyak bergerak,
apalagi kalau mau koprol dan joget-joget centil. Padahal saya ingin sekali
duduk di haluan kapal merasakan angin semilir. Ah hidup ini gak adil!
|
photo by @linapw |
Tak butuh waktu lama, kapal
kami telah meluncur pelan membelah perairan. Rasanya romantis, kawan. Bila saja
pak Siama bersedia menyanyi, mungkin rasanya akan persis naik perahu Venezia di
luar negeri. Hihihi. Di sini batu karst masih jadi daya tarik utama. Bukan
main, bongkah-bongkah besar karst terserak di mana-mana. Sebagian setengah
muncul setengah tenggelam di perairan dengan perkasa, yang lain menyeruak akar
bakau dengan gagah, dan ada pula yang menjelma dinding-dinding karst yang
mempesona.
|
photo by @linapw |
|
photo by @eva_bachtiar |
Di beberapa titik, sungai
jadi menyempit, dan kita harus menyibak tirai dedaunan sedikit. Sementara di
beberapa lokasi, tampak rumah-rumah tradisional penduduk yang masih sangat
asli, dengan ibu-ibu di pinggir sungai menyambung aktivitas hari-hari. Lalu
sebelum kami tiba di spot tujuan, kami melewati semacam gerbang yang hanya
memungkinkan satu kapal kecil jalan. Gerbang ini rupanya merupakan batuan besar
bukan kepalang, yang mengapit di kiri kanan dengan langit-langit batu
menggantung rendah yang mengagumkan!
|
photo by @linapw |
|
photo by @eva_bachtiar |
Akhirnya kami sampai di
sebuah hamparan daratan, di mana sepanjang mata memandang hanya ada barisan
bukit karst hitam seperti pengawal yang tinggi menjulang. Di tengah hamparan
ini terdapat sebuah kolam dengan bebek-bebek lucu megal-megol berenang. Hanya
ada satu dua gubuk papan dan beberapa petak sawah nampak dari kejauhan. Di sini
rasanya sungguh tenang, jauh dari hingar-bingar dan keramaian. Hanya angin
berdesing ringan, bebek berkicau pelan, dan air bergemericik lamban. Menyenangkan.
|
photo by @linapw |
Sayangnya kami tak bisa
lama-lama di sini karena langit tak lagi putih, sementara masih ada satu spot
lagi yang hendak kami datangi. Pak Siama segera mengarahkan kapal yang kami
tumpangi menuju hamparan ladang yang lain lagi. Pesonanya masih batu-batu karst
hitam yang seperti ditumpah-hamburkan Tuhan di tengah-tengah kolam, dengan
bentuk unik-unik nian dan ukuran bermacam-macam. Ketika
kami akhirnya pulang, langit pun tlah mendung bukan kepalang dan awan menggantung
hitam.
|
photo by @eva_bachtiar |
|
photo by @linapw |
Dengan diantarnya kami kembali
ke dermaga dalam keadaan bahagia dan tak lecet satu pun jua, maka berakhir
pulalah petualangan kami bersama pak Siama. Beliau ini memang tak banyak bicara,
tapi ia baik hati melayani semua komentar kami berdua, yang kadang kelewat
banyak tanya. Semoga penggiat wisata berbasis masyarakat lokal seperti ini bisa
terus bertahan di tanah Indonesia. Sehat terus pak Siama!
|
photo by @eva_bachtiar |
Beranjak keluar dari
dermaga Rammang-rammang, hari tlah beranjak gelap, tapi saya dan Lina masih terpikat
dengan karst-karst lain di kawasan Maros yang katanya cukup dashyat. Akhirnya
kami sepakat, ngider-ngider dengan sepeda motor, dengan bersemangat mencari sebuah
gapura bertuliskan Maros Kawasan Karst. Masuklah kami ke jalan lorong dan terus
masuk ke dalam dimana di sepanjang jalan kami masih dihibur dengan karst berbondong-bondong.
Karst disini memang letaknya tak terkonsentrasi, banyak tapi tersebar
sepotong-sepotong. Persis permata hitam yang disebar Tuhan dengan super random.
|
photo by @linapw |
Nah, yang ini adalah lokasi
favorit saya tentu. Padang rumput hijau yang permai dan teduh. Rumput ini entah kenapa
nampak miring ke satu arah, entah angin meniupnya, entah tumbuh seperti itulah
memang adanya. Tapi bentuknya yang demikian rupa jadi mencipta ilusi seolah
nyata, tempat tidur hijau maha luas yang seperti mengundang jiwa untuk
berbaring istirahat di sana. Lalu di bagian belakangnya,
potongan-potongan batu karst berderet gagah membuat saya langsung teringat pada
Stone Age yang termashyur di dunia!
|
photo by @linapw |
|
photo by @linapw |
Dari Maros, senja sudah
mulai temaram, sudah waktunya kami untuk pamitan. Konon kata ibu, tidaklah baik
anak gadis keluyuran setelah maghrib datang. Terima kasih Makassar (dan Maros) yang
telah memberi begitu banyak suguhan. Kini mari kita pulang, kita harus berbenah
untuk persiapan esok menjelajah sudut lain Sulawesi Selatan!
2 comments:
kalian dicariin tukang katring camp purwakarta tuh..katanya kangenn...
Hakhakhak. Doi kangen cewek-cewek bernafsu makan gila-gilaan yak.
Titip cium balik lah buat akang-akang kateringnya kalo gitu.
Post a Comment