Rss Feed

That's It, I Quit!

  
Hari ini sebulan saya bekerja di divisi yang baru.

Yup, setelah 3.5 tahun bekerja sebelumnya di divisi X (berasa kayak cerita di rubrik Oh Mama Oh Papa, hihihi), saya akhirnya memutuskan untuk angkat kaki dan mencoba peruntungan di tempat baru. Tak ada asap bila tak ada api. Tak ada hujan bila tak ada awan. Tak ada reaksi bila tak ada aksi. Cukup lama saya memantapkan tekad, tapi berbekal niat mengikuti hati nurani, saya yakin insya Allah akan dituntun ke jalan yang lebih baik. Amin.


Sudah sejak lama saya mengendus ketidakberesan di dept saya itu. Beberapa hal mengganggu dalam skala yang bisa diabaikan. Beberapa hal bisa ditolerir. Tapi beberapa hal lain terasa makin lama makin menyesakkan dada. Saya tahu dan sangat sadar, bahwasanya tempat kerja yang ideal nyaris mustahil adanya. Dan dengan kesadaran tersebut, saya mulai mereka ulang, menelaah kembali, baik dan buruk, untung dan rugi.

Mari mengingat yang baik dulu.

Saya pertama kali bekerja disini. Bahkan sudah bekerja di tempat ini 3 bulan sebelum saya lulus. Sebagai fresh gradúate yang zero experience, saya belajar segalanya disini. Selain belajar tentang pekerjaan, juga tentang dinamika dunia kerja. Dan yang saya maksud belajar, adalah betul-betul belajar. Maklum, saya kuliah di industrial engineering dan terjun sebagai scheduler konstruksi. Saya belajar dari nol, hingga saya yakin now I’m pretty expert at it! Jadi saya tidak akan lupa baiknya orang-orang disini dalam mengajari saya dari awal hingga akhirnya saya bisa berjalan sendiri. Juga pada betapa sabarnya mereka dalam mencontohkan, memberitahu, dan berbagi ilmu.

Lalu pada kawan-kawan yang saya temui disini. Some of them became the best friends of my life. Saya punya sekumpulan teman-teman menyenangkan yang selalu berbagi bersama, dengan rasa kekeluargaan yang luar biasa. Meninggalkan mereka pasti berat, tapi saya meyakini kawan sejati tercipta bukan karena jarak, sehingga tak akan putus karena jarak. Benar begitu?

Saya juga punya bos paling baik sedunia! Bos yang sangat mengerti karakteristik dan potensi saya. Yang meskipun kadang-kadang terlampau cerewet mengingatkan, tapi saya tahu dia melakukannya dengan tulus demi saya. Yang meskipun rajin menyindir, tapi tak pernah benar-benar menyalahkan. Yang meskipun sering ngedumel karena kenakalan saya, tapi tak pernah men-judge nilai manusia dari luarnya saja. Yang sadar betul bahwa adalah prestasi dan performansi saya yang harusnya dinilai, bukan dari pandangan dangkal dan stereotyping. Yang paham bahwa saya ini insomnia akut, dan akhirnya maklum kalau saya kadang-kadang terlambat, tapi selama pekerjaan saya selesai dengan baik, tidak pernah complain. Yah, bos seperti ini layaknya seperti permata, saya tak pernah tahu apakah di masa nanti akan dapat menemui atasan yang jauh lebih pengertian lagi.


Nah, mari kita mulai berjustifikasi...

Kalau ada kerjaan dengan pressure paling besar, tapi dengan reward yang paling menyedihkan, itu mungkin pekerjaan saya. Kalau ada pekerjaan dimana satu frontliner memegang sendirian puluhan project dari skala besar sampai ecek-ecek, itu mungkin yang saya kerjakan. Mungkin bagi mereka yang bekerja dengan prinsip “kerja sesuai basic” gak akan sepusing saya mungkin ya. Tapi saya terlahir dari sananya dengan kromosom sifat yang bernama perfeksionis. So here I am, mempelototi drawing sampai pusing, berdiskusi, belajar, cek lapangan, dan bertengkar dengan konstruksi, semua demi schedule dan eksekusi proyek yang sempurna. And I’m not bluffing, this is much appreciated by all the parties I’m working with, but apparently not so to my bosses. Sesukses apapun proyek yang saya pegang, sesempurna apapun schedule yang saya terapkan, yang saya dapatkan justru hanya cibiran. Tanya kenapa?

Hal berikutnya mungkin umum terjadi di perusahaan lain, tapi entahlah saya rasa praktiknya di tempat saya bekerja agak sedikit berlebihan. Nepotisme parah. Disini, kalian mungkin tak akan terkejut lagi mengetahui bahwa si A adalah keponakan si manajer. Lalu si B dan si C adalah ipar si A. Si B ternyata bersaudara dengan si D. Dan Si D ini adalah sepupu si E. Semua orang nampak berbondong-bondong memasukkan keluarganya ke divisi. Saya basically tidak mengatakan bahwa mereka tak boleh merekrut anggota keluarga mereka. In fact, mereka boleh merekrut satu RT sekalian, I really don’t mind. Yang penting, sekali lagi, yang terpenting adalah, tetap objektif saat menilai performansi mereka. Saya tak pernah keberatan mereka membantu keluarganya mencari mata pencaharian, tapi bekerjalah secara professional. Di tempat saya dulu, ada bonus tahunan $5.000 yang diberikan pada mereka dengan performansi kerja yang anggaplah, beyond outstanding. Nyatanya, bonus itu digilir pada anggota keluarga sang manager, yang sejujurnya, nyaris tak memberi sumbangsih (sigh).

Hal mengerikan lain yang saya temukan selama bekerja di tempat yang lama adalah mereka yang hobinya menusuk dari belakang. Mereka ini, tipe-tipe manusia yang paling saya benci di seantero jagad raya ini. Kata orang bijak, di setiap kantor akan selalu ada manusia yang penjilat boss dan penusuk rekannya. Tapi kadar disini menurut saya, dari pengalaman yang saya rasakan sendiri, sungguh kelewat batas. Adalah bos saya yang pertama, yang dulu saya kira sungguh baik dan peduli. Sampai suatu ketika, semua terkuak dengan indahnya. Ceritanya adalah ketika saya tak kunjung dipermanen, padahal sepertinya performansi saya tidak mengecewakan. Datanglah saya pada pak bos ini menanyakan musababnya, dan beliau meyakinkan saya bahwa dia sudah berusaha mati-matian agar saya dipermanen, tapi sang manager yang belum membolehkan dengan alasan attitude. Saya bahkan dibuatnya percaya bahwa pak manager-lah yang sepertinya agak tidak suka pada saya. Tidak mau berburuk sangka, saya menghadap pak manager, bertanya ada masalah apa yang membuat saya tak kunjung dipermanen hingga sekarang. Jawaban manager saya itu, membuat saya shock. Beliau berkata bahwa sudah dari dulu beliau berniat mempermanenkan saya, tapi bos saya sendiri yang memberi kesaksian bahwa saya belum patut dipermanen. Damn damn damn, seketika itu juga semua kebaikan dan manis kata si bos yang sok peduli itu terlihat benar-benar palsu. Beberapa waktu kemudian, saya baru mengetahui bahwa si bos ternyata memang tak pernah suka pada saya, khususnya melihat performansi saya yang somehow dianggapnya melampaui beliau. Di titik itu pula, saya berjanji untuk tak percaya pada siapapun lagi di dunia kerja ini.

Sebagai seorang anak TI yang baik, saya selalu yakin, customer success adalah (harusnya) key value perusahaan manapun yang bergerak di bidang manapun. Dan bekerja di divisi yang tidak mengedepankan hal ini membuat saya frustasi. Saya percaya bahwa kepuasan client adalah juga kepuasan kami sebagai provider jasa, sedangkan iklim bekerja disini menekankan bahwa selagi kita satu-satunya penyedia jasa sejenis, maka biarkan customer yang mencari kita. Kadang-kadang point of view ini berusaha saya luruskan lewat percakapan sehari-hari, tapi kalau tidak digagas dan dibiasakan sebagai budaya divisi, memang sepertinya agak susah. Yang lebih menakutkan adalah kalau kebiasaan ini turut mendarah daging menulari saya, better kick my ass out of here a.s.a.p!


But anyway, there’s always priority in life. Untuk beberapa kawan lain, prioritas itu mungkin merenda hidup baru dalam rumah tangga, mungkin merawat ibunda tercinta di luar kota, mungkin mencari penghasilan yang lebih menjanjikan. Bagi saya, prioritas itu adalah my own life values. Hal-hal yang saya anggap prinsip hidup, pilar utama, dan kebutuhan hakiki saya. Dalam hal ini, saya bekerja tidak semata untuk uang. Adalah aktualisasi dan pengembangan diri yang membuat saya passionate dalam bekerja. Oleh sebab itu bekerja di lingkungan yang tidak mengerti rewards and appreciation ibarat berjalan di atas duri. Tidak mustahil dilakukan, tapi pasti menyakitkan. Seorang kawan baik pernah berkata ‘Kerjalah di tempat yang bisa menghargai prestasi dan potensimu’, dan yeah inilah yang akan saya pegang.



Saya selalu ingat petuah yang sangat membekas dari Alm. Steve Jobs yang suatu ketika berkata:
"Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice. And, most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary"
Maka, here I am, mencoba peruntungan di tempat baru, di tempat yang sama sekali asing dan baru. Dan saya siap belajar lagi, siap beradaptasi lagi, siap melangkah lagi, dan siap mengaktualisasi diri lagi. Kali ini, semoga semua prestasi ini dihargai…



  

12 comments:

livia maniesssss :-p said...

Dunia kerja emang bener2 dunia yg sebenernya... baru ngerasa pas koass 2 thn kebelakang, siapa diriku sebenernya, temen yg bener2 temen, temen di depan tp nusuk dari belakang atau musuh sebener2nya musuh..kadang2 pengen give up aja lah, toh dgn S.ked bs nyari kerja atau jd IRT jg tak apa. Tp klo inget wajah orangtua yg berpeluh keringat mencari uang bwt uang sekolah, keinginan itu tiba2 menguap...*lho koq aq jd curhat to :-p
Btw, ente insomnia akut atw insomnia kronis...huahahahhaha...

The last but not least (berasa di buku2 aja) good luck y di new dept.nya....semangatttt

eve said...

Iya liv, paling najis gw sama backstabber2 kayak gitu. Dan gw punya prinsip ,kalau mereka gak bisa diubah, maka mari kita pindah saja, hihihi...

Speaking of bokap-nyokap lo, titip salam yah buat beliau2.. Semoga bisa nginep dan maen disana lagi kapan2, hehehe...

Beuh, ada bedanya kah akut sama kronis? mohon diberi pencerahan, agan dokter :)

Btw, semangat koass juga Liviaaaa!! Cepet lulus cepet nikah, amiiiin..

Iwan said...

selesaii..buka2an aib..BISAAAA (apa??)!!

eve said...

Wkwkwkwkwk..
Anggap aja bisa lah, haha..

HARIeR said...

Mampir lah ...
G Ada yang Bisa Menghentikan Air Mengalir VA ... good Luck ya ..

eve said...

Makasih mas Mey!!
Hehehe, mas Mey juga selamat menjalani pekerjaan dan hidup barunya ya :)

Anonymous said...

pindah bagian doank, Va?
atau pindah perusahaan?

eve said...

Pindah divisi doang, Ka :) tapi core-nya beda jauh...

Knapa Ka? Mau ngerekrut ke Total kah? Hihihihi...

dungdangdung said...

gw kira pindah perusahaan, ternyata pindah divisi doang :D tanggung va, cabut ajaaaa...

you're lucky to have a choice. i'm still looking for it :p

eve said...

Hehehe, kebetulan banyak opportunity bagus juga disini ka Gadang..

Loh ka Gadang kirain betah.. Kenapa gitu?

dungdangdung said...

kerjaan sih asik, tapi kotanya yg ga asik. jakarta terlalu beracun. lagi nyari kota yg lebih bersahabat :D seandainya ga dapet yg lebih bersahabat, berarti nyari tempat kerja baru di jakarta yg bisa ngasi 'penawar'nya :D

eve said...

@ka Gadang:
Indeed! Jakarta itu tempat kerja terakhir yang bakal gw pilih. Coba ke Tembagapura deh kak, a very comfy soothing city, di gunung yang jauh dari keramaian, apalagi racun. Tapi ya itu, isolated-nya ga nahaaaan :D