Rss Feed

Dieng, Safari di Atas Awan - Gunung Prau!


Siang ini, kami berencana untuk mulai mendaki Gunung Prau, sang aktor utama dari Dieng yang sebenarnya menjadi alasan utama kami berangkat kemari.
Yang harus saya acungi jempol dari bermalam di Losmen Bu Djono adalah suasana kekeluargaan yang terjalin di sana. Pengelola losmen dan tamu bagaikan saudara jauh yang sedang datang menginap di rumah. Asyiknya lagi, akang-akang yang nongkrong di sana selalu sigap memberikan informasi dengan ramah, jujur, dan tanpa tendensi.
Nilai plus lainnya adalah lokasinya yang langsung bersebelahan dengan salah satu (dari total 4 atau 5, kalau tidak salah) basecamp pendakian Gunung Prau. Walhasil, kita jadi sering bertemu dengan ranger-ranger Gunung Prau yang gagah perkasa, dan jadi bisa ngobrol panjang dan mendapatkan gambaran detail tentang pendakian.
Akhirnya setelah pagi yang penuh leyeh-leyeh (seriously, cuaca Dieng itu sesuatu banget), kami mulai mendaki via jalur Dieng. Katanya, jalur ini adalah jalur terpendek dibanding jalur lainnya, tapi memang lebih curam. Tepat pukul 3.07 PM kami berangkat, sengaja supaya bisa sampai di atas bersamaan dengan sunset. Rencana yang brilian, kan?
Sebelum naik, jangan lupa laporan di basecamp dan bayar 10 ribu per orang (yang kami bayar pakai receh-receh terakhir di kantong). Di sana kami dibekali selembar peta dan sederet peraturan pendakian. Let’s go yuk ah!


Belum apa-apa, kami langsung disuguhi tanjakan maut yang langsung menguras nafas di awal-awal perjalanan. Tak lama, kami mulai ke area ladang-ladang penduduk. Dan ya ampun, siapa yang bisa menolak trekking di lokasi yang pemandangannya seasoy ini? Undakan ladang berwarna hijau yang menyejukkan mata disandingkan dengan barisan pegunungan yang alangkah gagahnya. Nah gunung di depan itu adalah punggungan Gunung Prau yang akan kita tuju nanti. 

Setelah sekitar setengah jam melewati trek ladang yang landai, kami mulai memasuki trek hutan pinus yang terjal. Pukul 5.03 PM, kami singgah lagi sembari menyaksikan semburat-semburat sinar matahari yang menembus rindang pohon pinus, sementara kabut di lembah sebelah mulai menari-nari.

Omong-omong, jangan samakan kecepatan pendakian kami dengan anak-anak mapala ABG yang sedang girang-girangnya ya. Kami berdua ini pendaki santai dan penikmat perjalanan yang gampang tergoda spot-spot cantik di hutan untuk leyeh-leyeh dan menghisap barang rokok sebatang. 

Lepas dari hutan pinus, trek mulai berubah menjadi hutan rapat. Kami sudah berada di punggungan Gunung Prau yang bentuknya seperti alas perahu itu, tapi perjalanan menuju camp ground ternyata masih jauh, bung! Yang hebat, di atas sini ada tower loh, itu kira-kira bagaimana buatnya ya?

Pukul 6.00 PM kami mencapai puncak, tepat ketika sunset perlahan menelungkup di atas lapisan gunung-gunung dengan puncak menyeruak dari balik awan putih yang menyelimuti lerengnya. Demi Tuhan, meminjam istilah pacar, ini sunset yang kurang ajar bagusnya. Cukup lama kami speechless dan terpukau, sebelum akhirnya sadar bahwa kami masih harus berjalan hingga camp ground.  


Setengah jam kemudian, dinginnya udara puncak tak lagi bisa dikalahkan oleh panas tubuh yang terus bergerak. Keringat menguap seketika menjadi bulir-bulir asap dingin, membuat persendian terasa kebas.
Kebetulan beberapa ratus meter sebelum sampai camp ground, kami menemukan spot camp yang cukup terlindung dari angin. Letaknya di ceruk kecil, tepat persis untuk ukuran satu tenda. Dikelilingi rimbunan semak dan beberapa pohon kecil, kami memutuskan bahwa lokasi ini spot terbaik untuk camping di suhu ganas macam begini.
Lalu di bawah temaram senter dan dengan jari-jari yang mulai membeku, kami mulai mendirikan tenda. Setelah itu, bergegas masak mie dan ngopi ronde pertama. Lewat sejam kemudian, perut sudah lapar lagi, jadi kami lanjut masak mie dan susu coklat panas putaran kedua. Tengah malam makan roti lagi. Perut di udara dingin begini memang susah diajak kompromi.

Sayangnya, sebuah tragedi laknat sukses mengubah malam itu menjadi malam jahanam. Jadi ceritanya, saya ngumpet di balik ceruk kecil buat pipis. Pas lagi pipis baru nyadar, kok sepertinya saya menginjak sesuatu yang empuk ya? Setengah bergidik, saya beranikan diri untuk menyenter ke arah kaki, dan wassalam!! Tokai hangat sukses menggelayut di sana. Hey pendaki, plis eeknya dikubur woy!
And that night was freakin’ cold. Suhunya -1 derajat! Saya sendiri sudah pakai baju sweater dan jaket 5 lapis, kaos kaki 2 lapis, sarung tangan thermal gloves, pakai sarung dan sleeping bag, di balik tenda yang rapat, dan masih saja gemelutuk. Inilah kalau alam telah bersabda. Akhirnya malam itu lebih banyak diisi dengan guling-guling, salto, dan kayang demi secuil derajat tambahan di badan.   
Katanya, di musim kemarau begini, malah bisa sampai turun es. Sayangnya akibat semalam kurang tidur karena menggigil dan grubak grubuk mencari kehangatan, ketika datang sunrise yang katanya indah luar biasa itu, kami malah ngorok dengan merdunya.
Setelah matahari mulai keluar, barulah saya berani beranjak dari peraduan. Basuh mata sedikit dengan tisu basah, makan roti, lalu jalan-jalanlah kami ke puncak tempat camp ground yang sebenarnya. Nah, pagi itu cuaca cerah, langit biru bersih, kabut masih bobok, dan pemandangan Dieng dari atas sini masih saja menakjubkan. 

Begitu melihat camp ground di puncak, kami langsung sujud syukur tidak pasang tenda di sana semalam. Lokasinya amatlah terbuka jadi kalau pasang tenda di sana, pasti anginnya lebih jahat, dan sudah bisa dipastikan kami akan lebih tersiksa, haha.

Tapi perbukitan itu, lihat, hijau bukan kepalang. Beberapa tenda nampak mulai dikemas dan pendaki bersiap-siap pulang. Kami memutuskan untuk naik ke sebuah bukit tak jauh, lalu disana, duduk bersila, sesekali selonjor menghadap angkasa, menyaksikan waktu berkelebat tanpa bicara. Bersama asap yang menggumpal dari mulut, angin gunung meniup rambut. Ah, suasana macam ini memang bisa merubah penikmatnya menjadi penyair seketika.

Meski belum puas rasanya, sepertinya sudah waktunya kami berkemas. Kami kembali ke tenda untuk makan siang yang kali ini disponsori oleh Indomie rasa soto, roti sobek, white coffee, serta milo panas di gelas bekas.

Tepat pukul 11, di bawah matahari yang menyengat, kami mulai membongkar tenda, tapi tentu tidak kenangan di dalamnya (aih aih). Asyik, bawaan di carrier berkurang drastis, botol-botol air minum kini telah berganti plastik sampah.

Jam 11.20 kami mulai turun dari Puncak. Ketika istirahat di pohon pinus, kami lalu menemukan batang-batang pohon pinus perkasa yang pas untuk menggelar hammock. Saking girang dan saking semangatnya, ikatan hammock-nya langsung saja disimpul mati. Repotnya pikirkan nanti!
Ini serunya tak perlu diceritakan lagi sih. Gambar di bawah ini sudah menggambarkan semuanya sepertinya. Kombinasi hammock, pinus-pinus menjulang, langit biru, kabut yang mulai turun, dan udara sejuk, membuat kami enggan beranjak dari sana. Dan setelah sejam berlalu barulah kami sadar telah melakukan kebodohan dan kerepotan membongkar simpul. Hohoho.

Sampai di Dieng, tanpa ba-bi-bu, kami langsung memesan makan siang racikan cucu bu Djono yang keahlian memasaknya tak perlu diragukan lagi. Ayam bakar, sayur sop, sambal super pedas, dan es kelapa muda. Kalau kata Bayu, salah satu makan paling nikmat adalah makan setelah turun gunung. Dan makan siang yang nikmat adalah one-way-ticket menuju tidur pulas setelahnya. Yang terakhir itu kata saya.



NB:  *photos by Eva Bachtiar dan Sebastian Bayu
  • Cerita rute menuju Dieng, penginapan murah meriah, dan dinginnya Dieng yang merasuk jiwa, ada di sini.
  • Cerita tentang jalan kaki ke Candi Arjuna, Candi Bima, serta trekking di Kawah Sikidang, boleh ditengok di sini.
  • Cerita perjalanan ke kompleks Telaga Warna, Telaga Pengilon, situs-situs unik, Batu Ratapan Angin yang bikin speechless, serta kisah anak rambut gimbal ada di sini.
  • Cerita lengkap tentang Gunung Prau mulai dari rute, trek, lika-liku pendakian, sampai kisah camping di suhu -1 derajat, bisa dibaca di sini.
  • Cerita tentang sosok inspiratif yang 4 tahun napak tilas Bung Karno keliling Indonesia, jalan-jalan ke Petak Sembilan yang ciamik, Tuk Bimalukar, dan akhirnya harus pulang, ada di sini

0 comments: