Rss Feed

Dieng - Safari di Atas Awan - Petak Sembilan



Hari ini kami bangun jam 12 siang, dan tanpa cuci muka, bergegas ke warung bawah dan memesan sarapan (atau makan siang tepatnya). Tepat saat celingak celinguk di luar itulah, kami mendapati sosok unik tengah duduk di bangku pinggir jalan. Pria berbadan kecil berambut gimbal dengan ransel tertutup kain bertuliskan “Napak Tilas Jelajah Nusantara Sabang – Merauke” dan potret besar wajah Soekarno. Wahai, siapakah dia?

Kami pun memberanikan diri membuka percakapan, sebuah tindakan yang kami syukuri pada akhirnya karena membuat kami bisa berkenalan dengan pria hebat ini. Namanya pak Harsono. Ia berasal dari Pasuruan, korban Lumpur Lapindo. Percaya atau tidak, beliau telah menjelajah Aceh hingga Papua dengan berjalan kaki untuk napak tilas perjuangan bung Karno selama 4 tahun non-stop!
Pak Harsono lalu banyak membagi pengalamannya, termasuk hikmah-hikmah spiritual yang beliau dapatkan selama di perjalanan. Saya sendiri tak begitu tertarik akan obsesinya kepada bung Karno, tapi di mata saya, keberanian dan tekadnya untuk berserah dan mengikuti kata hatinya adalah hal yang langka di jaman seperti ini. Ya, beliau menjelajah nyaris tanpa biaya sepeser pun, tak juga pernah meminta-minta. Nyatanya Tuhan selalu mencukupkan kebutuhannya dan toh beliau bisa bertahan sejauh ini. 

Dieng rupanya menjadi tempat persinggahan terakhir pak Harsono, dimana beliau mendatangi Goa Semar, tempat bung Karno pernah bertapa. Setelah ini beliau berencana pulang, kecuali di tengah perjalanan, kehendak hatinya berkata lain. What a humbling experience. Sehat terus, pak Harsono!
Setelah kenyang, kami kembali berjalan kaki ke Gunung Sidengkeng. Jaraknya cukup dekat, 15 menit jalan kaki dari penginapan. Ongkos masuknya 5 ribu per orang, kalau kebetulan ada yang menjaga tempat tiketnya. 

Untuk tiba di puncak kita hanya perlu mendaki sekitar 15 menit, dengan pemandangan Telaga Warna samar-samar dari balik pohon. Wangi belerang dari telaga sudah tercium dari kejauhan. 

Pemandangan dari Petak 9 sini lagi-lagi tak kalah memikat. Telaga Warna yang bersanding dengan Telaga Pengilon, barisan bukit hijau, dan gagahnya Gunung Sindoro yang berselimut awan, bisa disaksikan secara telanjang dari sini. 


Lebih seru lagi kalau menikmati pemandangan ini sambil makan gorengan tempe kemul seribu-dapat-dua dan martabak mini hasil jajan di pinggir jalan tadi. Dieng, kamu luar biasa!

Malamnya, sekalian berburu makan malam, kami berkunjung kembali ke Candi Arjuna yang katanya kalau malam sepi pengunjung sehingga bagus untuk difoto. Dan benar saja, malam itu tak ada satupun orang, termasuk penjaga. 

Setelah itu, kami menyempatkan diri berbelanja souvenir. Sudah beberapa hari ini kami naksir sebuah kaus yang terpajang di etalase toko pinggir jalan, yang bertulis Jazz Gunung Dieng. Yah, tidak bisa hadir di acaranya, memiliki kausnya pun cukuplah. Sayangnya kami tak menemukan ukuran yang sesuai.
Di toko souvenir juga dijual berbagai perlengkapan penahan dingin, semacam syal, sweater, sarung tangan, atau kupluk. Ada pula berbagai cemilan khas yang dibuat dari tanaman-tanaman endemik Dieng. Selain punya cabe besar Dieng (yang bentuknya mirip paprika) dan kentang, Dieng juga punya Purwaceng (iya, bacanya memang rada gak enak), yang diolah menjadi minuman yang katanya sih viagra tradisional. Ada juga carica (baca: karika), buah yang mirip dengan pepaya tapi versi yang lebih kecil, yang banyak dijadikan keripik atau manisan.
Selagi berjalan-jalan, pandangan kami tertumbuk pada kerumunan warga di pinggir jalan. Rupanya sedang ada pertunjukan tari tradisional, lengkap dengan beberapa set gamelan pengiring, dan sinden yang suaranya mendayu-dayu membelai malam. Dua penari pria dan dua penari wanita nampak melenggang dengan ayunya, saya sampai terpana dibuatnya. Ini tarian semacam mengalirkan aura mistis sekaligus sensual. Sungguh penutup malam yang pas!


___
Di hari terakhir di Dieng ini, sebelum pulang kami melanjutkan jalan-jalan ke lokasi wisata yang tidak jauh dari penginapan. Maka berangkatlah kami ke Bimalukar Wellspring. Letaknya hanya berjarak 10 menit jalan kaki dari penginapan. Konon mata air ini terbentuk saat Bima beradu membuat sungai dengan pihak Kurawa dalam keadaan "lukar" (telanjang) sesuai wangsit yang ia terima.

Konon katanya lagi, air dari telaga ini dipercaya bisa membuat awet muda. Kami generasi menolak tua ini semangat dong ya. Tapi ternyata ketika sampai di sana, sumber mata air ini tengah dipakai seorang ibu dan anaknya mencuci baju. Hahaha. Agak takjub juga sebenarnya, tapi akhirnya kami mengalah dengan melipir demi tidak mengganggu si ibu yang tengah asyik mengucek baju. 

Dan pada akhirnya, dompet yang semakin menipis dan bibir yang telah pecah-pecah kedinginan jualah yang membuat kami harus rela meninggalkan Dieng kali ini. Setelah pamit dengan pengelola losmen bu Djono yang sudah bak saudara seminggu ini, kami melompat ke atas mikrobus, siap berangkat menuju Wonosobo.
Rupanya, di tengah perjalanan sedang ada perbaikan jalan untuk persiapan menjelang Dieng Culture Festival akhir Juli nanti. Walhasil, kami jadi harus turun di tengah jalan dan berganti mikrobus yang sudah ngetem berderet di pinggir.
Di dalam mikrobus kedua, sambil berdiri bergantung di antara tumpukan kentang, karung, dan hasil alam, seorang ibu menjawil saya. “Jangan mau bayar mahal. Bayar 7ribu aja!” katanya. Waduh, rupanya kami dikerjai kenek. Dua kali naik mikrobus, dua kali kami diminta membayar dua kali lipat. Ah tapi sudahlah, selama duitnya lari ke kantong masyarakat lokal, anggap saja kami tengah berterima kasih sudah dibolehkan menikmati alam Dieng yang ciamik ini. 

Dan obrolan pun berlanjut. Sudah seminggu ini saya selalu menikmati mengobrol dengan penduduk Dieng (anggap saja kenek mikrobus yang menipu kami sebagai negasi himpunan pembahasan, hehehe).  Di mata saya, mereka memberikan keramahan dan keakraban yang tidak dibuat-buat. Keramahan yang bukan karena mengharapkan simpati, atau keramahan yang terlampau kepo pada turis, tapi keramahan seperti saudara, yang membuat saya seperti mengobrol dengan tante-tante cerewet tapi perhatian di rumah. Sehat-sehat ya bu, kami pamit pulang.
Di Wonosobo, kami bertolak dengan bus malam ke Jakarta, masih setia dengan bus yang sama. Omong-omong, terminal Wonosobo apik sekali penataannya menurut saya. Lengang, rapi, dan ramah pengunjung, dengan loket-loket tiket yang disusun dengan tertib. 

Dieng, kehormatan bagi kami bisa menginjak tanahmu. Sampai ketemu lagi kapan-kapan, mungkin dengan persediaan jaket yang lebih banyak! - end


NB:  *photos by Eva Bachtiar dan Sebastian Bayu
  • Cerita rute menuju Dieng, penginapan murah meriah, dan dinginnya Dieng yang merasuk jiwa, ada di sini.
  • Cerita tentang jalan kaki ke Candi Arjuna, Candi Bima, serta trekking di Kawah Sikidang, boleh ditengok di sini.
  • Cerita perjalanan ke kompleks Telaga Warna, Telaga Pengilon, situs-situs unik, Batu Ratapan Angin yang bikin speechless, serta kisah anak rambut gimbal ada di sini.
  • Cerita lengkap tentang Gunung Prau mulai dari rute, trek, lika-liku pendakian, sampai kisah camping di suhu -1 derajat, bisa dibaca di sini.
  • Cerita tentang sosok inspiratif yang 4 tahun napak tilas Bung Karno keliling Indonesia, jalan-jalan ke Petak Sembilan yang ciamik, Tuk Bimalukar, dan akhirnya harus pulang, ada di sini

0 comments: