Disclaimer: Tanggal 14 Mei 2013 pagi, fasilitas training tambang bawah tanah QMS Big Gossan collapse dan menyebabkan sebagian besar peserta kelas Annual Refresher hari kedua terjebak di bawah reruntuhan. Setelah 8 hari proses evakuasi yang penuh ketegangan dan doa, sinisme dan harapan, total 3 korban dinyatakan berhasil meloloskan diri, 5 korban luka ringan dan 5 korban luka berat, dan 28 meninggal dunia.
Satu lagi insiden yang menimpa tambang kami, seperti tak henti Yang Diatas memberikan cobaan. Longsor, demo mogok panjang, banjir bandang, dan kini insiden terbesar dalam sejarah operasi Freeport yang menelan korban paling banyak. Saya ingat berada di kantor seperti biasa pagi itu, ketika seorang expat mengumumkan kejadian dan segera mengabsen, memastikan tak ada dari kami yang mengikuti training tersebut. Dan yah kami memang lega, karena tak ada satu pun dari divisi kami yang dijadwalkan mengikuti training hari itu. Tapi kami mendengar banyak cerita dari divisi lain, beberapa rekan yang kami kenal yang kebetulan berada di sana. Beberapa hari setelah itu suasana gelap menjadi tak terbendung. Seperti awan hitam besar yang membuat hari menjadi suram dan tak bergairah. Campur aduk antara panik dan waspada. Kebanyakan masih shock dan tidak percaya. Panik dan tegang mengikuti setiap detail proses investigasi yang selalu kami tunggu kabarnya.
Ketika satu persatu korban dinyatakan berhasil diselamatkan, harapan itu membuncah. Yakin dengan sepenuh hati bahwa masih ada harapan selamat bagi mereka yang terkurung didalam sana.
Namun setelah beberapa hari berlalu dan mulai banyak korban yang berhasil dievakuasi sudah tak lagi bernyawa, pesimisme mulai mencuat dengan sendirinya. Tak mungkin mereka bertahan setelah hampir seminggu. Tapi kami masih berdoa. Berharap akan ada keajaiban, meskipun dengan peluang dan waktu yang semakin sempit. Acara pelepasan jenazah menjadi lumrah dihadiri tiap hari.
Hingga hari itu tiba. Hari dimana korban terakhir diumumkan dan dinyatakan sebagai hari berkabung. Seluruh warga berduka, itu pasti. Bagaimana tidak, ini kehilangan paling besar dalam sejarah operasi kami. Dan pemberitaan di media tidak membuatnya lebih baik. Media itu, sebagian besar berkoar-koar begitu besar dengan pengetahuan yang terlalu sedikit. Menganalisa berlebihan padahal tak mengerti setitikpun ilmu tambang.
Tak lupa membanding-bandingkan kasus ini dengan kasus Chili yang kalau boleh saya komentar kawan, sama sekali bukan kasus yang setara, berbeda circumstance dan kondisinya, tak bisa dibandingkan. Collapse di Chili terjadi di bagian akses, sehingga evakuasi bisa difokuskan untuk menembus akses dan probabilitas selamat juga jauh lebih besar. Yang terjadi disini adalah collapse tepat di kelas, tepat pada korban. Kalau mereka sedikit lebih cerdas pasti bisa melihat perbedaannya. Dua kasus ini jelas-jelas bukan apple to apple comparison.
Yang lebih parah lagi, berspekulasi bahwa manajemen sengaja membiarkan mereka yang terjebak di dalam karena sebagian besar mereka adalah orang-orang yang ikut dalam mogok pekerja tempo dulu. What the?!?! Sempat-sempatnya media berpikir sejauh ini ketika segala daya dan upaya dikerahkan untuk menolong orang disini. Menurut saya ini sudah merupakan su’udzon tingkat dewa!
Tapi yang paling membuat saya sedih, adalah bagaimana cara mereka menghakimi proses evakuasi siang malam yang boleh dibilang – penuh darah dan airmata. Sebuah berita di TV yang saya tonton dengan seenaknya menyebutkan bahwa sungguh aneh perusahaan sekelas Freeport melakukan proses evakuasi dengan cara manual. Well, kalau boleh sedikit sarkastik, yang aneh itu adalah analisa anda, Bung! Dalam evakuasi ada aturan utama yang tidak boleh dilanggar: amankan diri sendiri sebelum mengamankan orang lain.
Here’s the truth. Alasan mengapa beberapa hari pertama evakuasi dilakukan secara manual adalah karena medan ruang kelas yang sulit dan sempit dan batuan yang terus jatuh dari atas yang tidak bisa diprediksi banyaknya. Oleh sebab itu proses evakuasi awal difokuskan pada pemasangan penyangga batuan atau ground support untuk memastikan proses penyelamatan jangan sampai justru membahayakan tim evakuasi. Setelah proses ini selesai dan seluruh bangunan kelas sudah dibongkar, barulah evakuasi bisa dilanjutkan dengan bantuan equipment dan alat berat.
Tapi hebatnya media, tentu saja, bagaimana mereka bisa mendapatkan info dan seolah lebih tahu dari kami sendiri disini. Ketika kami disini masih was-was menunggu kabar resmi dari Corporate Communication, TV dengan hebatnya menayangkan berita tersebut lebih dulu. Sebenarnya saya sendiri tidak tahu pasti, bagaimana cara mereka memperoleh info tersebut. Dugaan paling kuat: bocoran dari pekerja yang menjadi informan disini.
Saya pun orang yang mencintai transparansi informasi, tapi kalau boleh sedikit kritis, bijakkah menyodorkan berita yang didapatkan secara setengah-setengah tersebut pada khayalak tanpa disaring dulu? Siapa yang bisa menjamin bocoran itu bukan fakta dan hanya opini sepihak misalnya, atau berita yang terdistorsi, atau yang telah dibelokkan? Karena bahkan kami pun disini dibanjiri info yang berbeda setiap harinya, bisik-bisik yang tak kalah kontroversialnya. Tapi tentu saja, akal sehat akan menuntun kami untuk menunggu info resmi dari perusahaan. Kami tak mau berspekulasi atas nyawa manusia. Nyawa teman-teman kami.
Tapi tentu saja kami sepakat bahwa ada yang salah di sini. Insiden seperti ini tentu hasil dari kelalaian sebuah pihak, mungkin juga komplikasi dari kelalaian beberapa pihak. Pun saya sepakat bahwa hal tersebut harus diinvestigasi sampai tuntas, agar jangan sampai terulang lagi di kemudian hari, naudzubillahi min dzalik. Tapi memberikan informasi yang salah dan analisa dangkal tidak berbobot bahkan sebelum investigasi keluar? Come on, you guys can do better! Stop berasumsi. Jangan membuat statement yang tidak bisa kalian buktikan.
But you know what, seperti kata Zamen di Kite Runner, leave the judging to Allah.
Leave it to Him.
4 comments:
Nicely written...
Memang, waktu kejadian & proses evakuasi kemaren saya & bbrp temen juga harus sering menjelaskan ke temen2 di komunitas masing2 mengenai kondisi yang sebenarnya. In deed, for most of the press, bad news is a good news...
Iyah betuuul. Paham juga kok kalau yang namanya media, hidupnya kan memang dari kontroversi-kontroversi semacam ini yah. Cuman gemes ajah dengan cara mereka mengeksploitasi berita, haha.. Iyah kalo bener, ini suka banyakan soktaunya daripada benernya. Dan menurut aye, asumsi itu lebih bahaya dari ketidaktahuan, cieeehhh..
Eeeh, btw gue pindah ke www.travelingizzy.com yaaah.. :)
Dikopiiihhh kakaa
Post a Comment