Rss Feed

Gadis Kece Goes to Amrik – episod Selamat dari Imigrasi Maut!



Petualangan kami di negeri paman Sam akhirnya dimulai di Bali. Disini saya bergabung dengan rekan-rekan lain, antara lain si pak Bos Australia yang kekar, muda, tapi udah gak single lagi – teteuuuup yah. Apa lagi kali ini doi membawa serta istri dan dua anaknya yang masih kecil, berarti tertutup sudah peluang buat ngecengin beliau. Haha. Rekan kedua sama-sama wanita manis yang sama-sama terjebak di duniatambang yang keras, jendral! Bedanya, saya masih berwujud wanita, kalau dia ini sudah mulai-mulai berevolusi jadi setengah pria. Hihi. Ampun Wid..


Dari Bali kami bertolak ke Taipei. Perjalanannya sendiri makan waktu 5,5 jam. Yang bikin business trip jadi indah adalah karena kami dapat jatah tiket Business Class untuk long flight dan bahkan First Class untuk short flight. Boook, coba kapan lagi naik pesawat Business Class kalau gak dibayarin begini? – edisi kere.


Coba tebak kami naik pesawat apa? Eva Air, sodara-sodara! Sekali lagi, E-V-A air! Hahaha, emang susah punya nama kece yah, sampai ada maskapai penerbangan yang meniru-niru nama saya. Nikmatnya duduk di Business Class, tentu saja seat nya yang super nyamaaan. Kursinya empuk, dan semua bagiannya bisa diselonjorin maksimal sampai posisi horizontal sempurna buat bobo. Trus kita sampai dikasih make-up bag yang isinya sikat gigi, moisturizer, dan sandal bulu unyu.


Belum lagi koleksi filmnya yang oke-oke dan up to date. Semua film-film baru yang belum sempat saya tonton tersedia semua. Saking excited-nya sampai semua film dicobain. Tapi ternyata, oh ternyata, semua filmnya cuma menyediakan subtitle Chinese dan bahasa kanji. Bayangkan, film bagus tanpa subtitle English itu, bagaikan sayur tanpa garam. Hambar, kawan! Gagal sudah nonton The Hobbit dan Life of Pi. Akhirnya saya malah nonton film-film asing semacam Prancis dan sebagainya yang menyediakan subtitle English L


Dan, mimpi buruk yang saya takutkan pun kejadian juga. Dua kali meal disuguhkan, saya gak bisa makan sama sekali, pemirsa. Akhirnya cuma makan buah dan air putih banyak-banyak. Untung sebelum boarding tadi sudah disempat-sempatin makan nasi campur Bali, jadi paling enggak, masih bisa ngebayangin enaknya makan nasi lah. Huhuhu.


Dan tibalah kami di Taipei! Di sini kami punya waktu untuk transit selama 4 jam. Bandara Taipei itu besar, saudara-saudara! Sayangnya gak terlalu user-friendly. Sign-nya kurang informatif, dan petugasnya pun sebagian besar can barely speak English. Kami sebenarnya dapat jatah transit lounge, tapi kami pikir, kenapa harus stay di lounge kalau bisa jalan-jalan putar-putar bandara! Tul gak tul gak..


Bandara Taipei punya banyak toko-toko barang branded yang sudah tidak asing lagi. Juga banyak toko coklat dan wine. Saya dan Widi menghabiskan waktu paling lama (dan duit paling banyak) di toko souvenir. Ada banyak barang-barang lucu (dan mahal) yang rasanya pengen diborong semuanya. Untungnya bisa dibayar dengan USD. Kami baru ngeh kalau ternyata uang kembaliannya dalam NTD (New Taiwan Dollar, mata uang Taiwan – red) setelah kami di pesawat berikutnya, dan langsung menyumpah-nyumpah si mas-mas kasir dalam hati.


Di luar dugaan, di sepanjang lorong ruang tunggu bandara, ada buanyaaak sekali orang Indonesia. Kenapa saya tahu mereka orang Indonesia? Karena ada yang mukanya mas-mas Jawa banget, ada yang mukanya kotak-kotak kayak opung-opung Batak banget, intinya muka orang Indonesia itu khas. Dan tentu saja saya tahu mereka orang Indonesia karena mereka ngobrol dengan bahasa Indonesia, ehehe.


Saudara-saudara saya ini, tersebar di seluruh pojok bandara, udah semacam ikan asin lagi dijemur. Masalahnya, mereka ini bukannya duduk manis di ruang tunggu, tapi malah jongkok dan ngejogrok di jalan-jalan. Persisss, kaki lima dalam bandara. Kami menganalisa, mereka ini adalah saudara kami penyumbang devisa negara alias para TKI. Takjub juga, ternyata jumlahnya sebanyak itu.


Setelah melihat mereka ini, baru Widi dan saya nyadar, pantesan dari tadi kami sering dicuekin sama penjaga toko-toko bandara, mungkin dikira TKI juga kayak yang lain. Yah mau gimana lagi bro, ini muka pembokat mah sudah bawaan lahir kaleee. Hihi.


Perjalanan pun dilanjutkan kembali. Kali ini dari Taipei ke Los Angeles. Inilah perjalanan yang sebenarnya, medan tempur yang sejatinya, saudara-saudara! Gak tanggung-tanggung, perjalanannya akan makan waktu 14 jam. Doa saya cuma tiga: selamat sampai tujuan, film di pesawat ada subtitle English-nya, dan pantat saya sebagai aset terbesar yang sudah saya asuransikan ini jangan sampai kempes, eaaaaaaa..


Kali ini kami ganti pesawat ke China Airways. Tempat duduknya lebih nyaman, lebih ergonomis kalau menurut saya. Begitu duduk, ternyata tanpa ba-bi-bu saya langsung semaput. Begitu bangun, langsung nonton film marathon. Saya mulai kelaparan, di pesawat hanya makan buah dan kue-kue. Widi memanfaatkan kesempatan dengan memesan wine sesukanya, hihi.


Oia, satu hal yang saya perhatikan baik di Eva dan China Airways adalah pramugari pesawatnya yang buaiiiik banget. Pramugari maskapai Indonesia juga baik sih, tapi mereka ini beneran baik kuadrat deh. Gak ada tuh yang namanya penumpang meletakkan barangnya di kabin sendiri, sang pramugari langsung sigap mengambil alih. Setiap beberapa menit mengecek penumpang, menanyakan you need something? Kalau melihat ada penumpang yang baru bangun langsung dicek, apa lapar, mau dibawakan makanan, blablabla. Pokoknya servisnya top markotop! Saya sampai terharu, emak saya saja kayaknya gak seperhatian ini ke saya – edisi anak kurang kasih sayang.


Selain film-film cihuy (yang teteeeeup gak ada subtitle English-nya), di pesawat ini juga ada layanan-layanan canggih macam layanan sms dari pesawat yang bayarnya pakai kartu kredit, dan belanja-belanji dari katalog yang juga bayarnya pakai kartu kredit. Di sini pramugarinya sampai bawa-bawa alat gesek kartu kredit itu kemana-mana, hihi. Entahlah memang dunia yang sudah sedemikian canggihnya, atau memang sayanya aja yang katrok.


Selama flight panjang ini, window di pesawat tak pernah sekalipun dibuka. Ternyata tujuannya adalah supaya penumpangnya gak menyadari perubahan waktu. Logikanya kan, kalau kami mulai terbang malam hari, dengan perjalanan 14 jam, kami akan tiba siang hari. Ternyata begitu sampai, di LA juga masih malam.


Sampai di LA, kami masih harus melalui serangkaian proses imigrasi yang ribet. Intinya, orang Amrik itu sangat hati-hati dalam menyaring orang-orang yang mau masuk ke negaranya. Dan prosesnya kadang-kadang yaahhh, sangat subjektif karena sangat mengandalkan outer look. Apalagi semenjak tragedi 9/11. Yang muka-muka Arab misalnya, atau yang berjanggut, jangan harap lolos dari investigasi panjang mereka. Jadi kalau orang bilang Amrik itu negara demokrat, mungkin gak sepenuhnya benar. Mereka toh terbukti masih sering stereotyping.


Entah kenapa, saya pun jadi gugup. Mungkin karena merasa orang Asia. Mungkin juga karena saya Muslim, jadi takut dipersulit. Di antrian saya ada dua petugas imigrasi, keduanya sudah agak berumur, mungkin sekitar 50-an. Yang satu nampak ramah tapi yang satu kelihatan sangar. Saya komat-kamit berdoa semoga dapat bapak yang ramah, tapi takdir jua yang membawa saya ke si bapak sangar.


Imigrasi : Ifa Bakehciar? (Eva Bachtiar maksutnyeeehh)
Saya : Yes, I am.
Where are you from?
Indonesia, sir.
Where do you get your visa?
Jakarta.
But you wrote Timika, here. (menatap tajam-tajam)
That’s, urmmm where I got my passport, sir. (lutut langsung lemas)
What I asked is, where do you get your visa, not your passport. (sembari mencoret dan merevisi dokumen saya)
Apologies, sir. (mata mulai berair)
So this is your first time coming to US?
Yes, sir.
Ahaha, no wonder. You look so nervous. (mulai senyum)
Do I? (muka bego)
It’s not like I’m going to bite you. Relax.
Haha. Copy that. (senyum takut-takut).
And what are you going to do in here?
I’m coming to a quarterly forecast meeting in Phoenix, sir.
I see. What do you do? (mulai tertarik nih si bapak kayaknya)
I’m a mining engineer, sir.
Really?? You?? Mining engineer?? (nada gak percaya)
What’s wrong with me? (mulai relax gituh ceritanya).
No no no. In what kind of mine?
Chopper and gold.
Imigrasi : Waow. You must be rich! I happened to look for a rich lady! (mata berbinar-binar matre)
… (speechless)
Wanna go out sometime? (mulai usaha)
I don’t date man your age. (jual mahal nihyee ceritanya)
Well, you know, they said age is just a number. (sambil benerin poni dan pasang tampang genit)
… (speechless se-speechless-speechless-nya)
Ahaha. Okay. You enjoy your trip, dear.
I will, thank you sir! J J


Yah demikianlah interview imigrasi yang tidak berjalan seperti yang saya kira. Sebodolah, yang penting lolos dari imigrasi maut, hihi. Tunggu cerita selanjutnyaaa!


PS: You might want to read previous adventure in Gadis Kece Goes to Amrik - episod Mengurus Visa!

Palsu

 
 
 
Saya mungkin bukan orang pertama yang mengalami ini. Diremehkan. Dan bukan karena tidak capable, tapi karena sekedar penampilan. Atau itu bukan hanya “sekedar”?


Saya sendiri termasuk yang tidak terlalu ambil pusing soal penampilan. Yang penting nyaman dan saya bahagia. That simple. Terlihat cantik itu nomor dua puluh tiga. Terlihat seperti orang berkelas apalagi. Bahkan tak pernah terpikir buat saya. 

Sayangnya kita hidup di dunia dimana kesan pertama menentukan segalanya. Dimana penampilan luar mencerminkan nilai diri kita. Dimana baju yang dipakai menunjukkan kelas kita. 

Hal ini saya rasa paling mengganggu khususnya di dunia jasa. Saya kurang paham persisnya kenapa, tapi mungkin para pekerja jasa itu dibiasakan untuk memperlakukan orang sebagaimana penampakan luarnya. 

Akhirnya, saya tak pernah nyaman belanja di mal-mal kelas wahid. Alasannya, karena saya benci sekali diberi pandangan dari-ujung-kaki-hingga-ujung-rambut-mencoba-menaksir-daya-beli-pengunjung oleh pramuniaga di sana.

Beberapa teman kantor cerita, mereka dipandang sebelah mata oleh petugas bank yang menanggapi mereka dengan setengah hati, hanya karena datang ke bank dengan kaos oblong dan sandal jepit. Padahal mereka ini miliuner-miliuner muda. 

Kalau saya boleh bilang, mereka ini sudah menyinggung atau bahkan telah kehilangan calon-calon customer potensial mereka – yang kebetulan hanya tak suka bersolek. Kasihan.

Tapi saya juga punya teman. Wanita muda bersemangat berhati mulia yang punya banyak anak asuh, yang tak pernah ambil pusing soal pakaian yang dikenakannya. Sederhana, kalau tidak bisa dibilang seadanya. Tapi dia inilah pemilik rumah besar tempat kos saya di Bandung. Ohya, dia juga anak menteri.

Belum termasuk teman-teman saya yang selalu mengaku anak kampung, dekil, berlogat Jawa medok. Mereka ini pemenang olimpiade fisika, pemegang beasiswa Nanyang University, dengan masa depan yang cerahnya tak perlu diragukan lagi. 

Nah, kalau ke Bandung, Jakarta, atau kota besar lainnya pasti pernah juga bertemu orang semacam ini. Pakai jas dasi rambut klimis, tapi sebenarnya pelayan restoran. Gagah perkasa dengan CRV model terbaru, yang sebenarnya punya majikannya. 

We live in such artificial world. What makes it even worse, artificial people..

Kita hidup di dunia yang serba palsu, bung!

Jadi, jangan percaya pada apa yang Anda lihat. Mata bisa membuat kita tersesat. Pandangan mata tak bisa melihat apa yang ada di balik sekedar kulit. Baju hanyalah kain, make-up hanyalah riasan, aksesoris hanyalah alat, parfum hanyalah pemanis. Jangan membuat kita masuk ke golongan orang-orang yang bisa ditipu oleh barang kecil tersebut. 

Karena saya yakin, seperti kata Julie Baker di Flipped, people can be greater than the sum of their parts, or can be less.

You choose. 



PS: You  might want to read Judgement & Prejudice