Rss Feed

Merantau untuk Pulang



Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air me
njadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan..
(Imam Syafii)

photo from https://recyclearea.wordpress.com/


Ada banyak pikiran dan ide-ide yang berkecamuk di kepala bila tiba waktunya bagi saya untuk mulai memikirkan, hendak kemana kau pergi setelah pulang bertugas di penempatan, hei Eva? Terbersit hasrat untuk meneruskan pendidikan ke luar negeri, terpikir pula hendak kembali ke tempat kerja yang setia menawarkan posisi, juga tak menampik keinginan untuk terus berkiprah di dunia social movement seperti saat ini.

Ya, penempatan selama setahun lamanya memang telah mengubah semuanya. Betul-betul semuanya. Kini aku tak lagi hidup untuk diri sendiri, melainkan untuk negeri. Tujuan hidup bukan lagi untuk memperkaya diri, tapi untuk berbakti dan mengabdi. Aku tak lagi pusing pada hal-hal sepele menyangkut pribadi, tapi mencari sesuatu yang lebih hakiki.

Tapi satu hal mengganggu pikiranku.

Selama setahun kemarin itu pula sebenarnya aku banyak merenung. Dalam rangka mencapai tujuan peningkatan mutu pendidikan – yang menjadi alasan saya ditempatkan beribu mil jauhnya dari rumah, di desa sudah sewajarnya saya berusaha menyentuh sebanyak-banyaknya lapisan masyarakat untuk diberdayakan. Itu berarti, interaksi dengan stakeholder, tidaklah terhitung banyaknya, dan susahnya. Tak sedikit stakeholder yang benar-benar menguji iman, membuat saya menggerutu, menjungkirbalikkan mood seketika, hingga yang membuat saya tak sanggup bersuara dan hanya mengelus dada.

Ya, atas nama sebuah tujuan jangka panjang yang lebih besar, memang pada akhirnya saya lebih banyak mengalah. Menyediakan dua kuping selebar-lebarnya, dibanding hanya bercerita. Mendengar keluh kesah orang tak habis-habisnya, dan menelan sendiri rasa kecewa.

Lalu saya seketika bertanya, kalau pada dinas, pejabat, pemuka agama, pemangku adat, dan tokoh masyarakat saya mampu mengesampingkan ego dan selalu tersenyum, lalu bagaimana pada orangtuaku sendiri? Rasanya saya sejak dulu adalah anak yang selalu mau didengar. Kalau pada stakeholder daerah ini saya mau mencoba menunduk lebih dalam dan menyelami sudut pandang mereka, lalu mengapa tak pernah hal serupa saya lakukan pada orangtua? Kalau pada orang-orang ini saya selalu bisa tabah, maka mengapa pada orangtua sendiri saya seringkali habis kesabaran?

Lalu hal lain mengganggu lagi pikiranku.

Kala itu siang menyengat tepat sehari sebelum lebaran. Aku yang tinggal bersama bapak dan ibu piara sudah bangun sedari pagi untuk menumbuk rempah. Aku membantu ibu piara masak besar sementara bapak piara bertugas untuk memotong ayam dan segala tugas kelaki-lakian. Seharian kami bahu membahu dan banyak bercerita dan tertawa-tawa. Rasanya seperti berada di tengah keluarga sendiri – kecuali fakta bahwa akhir-akhir ini aku justru hampir tak pernah hadir di tengah keluarga sendiri.

Kalau di keluarga angkat, aku selalu siap sedia menyingsingkan lengan, lalu mengapa di rumah sendiri seperti majikan? Kalau aku selalu menemani ibu angkat bercerita, lalu mengapa aku hampir tak pernah punya waktu untuk sekedar mendengar ocehan ibu kandungku sendiri? Kalau aku sangat peduli pada kesehatan bapak angkatku, kenapa aku sering luput pada sakitnya bapak kandungku? Kalau aku selalu siap menemani adik angkatku bermain, lalu kenapa aku sering merasa terusik bila diganggu adik kandungku sendiri?

Ya, rasanya miris.

Maka setelah setahun yang penuh dengan pembelajaran, sekian ribu tapak langkah yang penuh perjuangan, aku memutuskan untuk pulang. Ke rumah.

Pulang dan mencium tangan mamak. Pulang dan mencium kening bapak.
Pulang dan menemani mamak memasak. Pulang dan mendengarkan celoteh bapak.
Pulang dan meresapi.


Merantaulah, agar kamu tau bagaimana rasanya dan kemana kau harus pulang.
Merantaulah, engkau akan mengerti alasan mengapa kau harus kembali.
Merantaulah, akan tumbuh cinta yang tak pernah hadir sebelumnya,
pada kampung halamanmu, pada mereka yang kau tinggalkan.
- Imam Syafii -



Moilong, 11 Januari 2014
Tiba-tiba disadarkan, berapa banyak waktu yang kupunya untuk membahagiakan orangtua?

10 comments:

Inanda said...

Merinding bacanya va ;')
tapi emang bener sih, seringkali kita lebih berusaha membahagiakan org lain ketimbang ortu sendiri, yang kasih sayangnya ga pake itung2an...
ayok, kembali ke rumah ;)

eve said...

Iya bener, Nda.
Makanya bersyukur banget dibukakan matanya justru pas lagi jauh dari orangtua.

#marikembalikerumah :)

Livia fitriati said...

Aaakkkk eva balik, aku stay di btg skrg va, ikut suami..kabar2 ya kali aja aku bs mengunjungi mu ;)

Ismawan said...

Tersenyum sendiri baca tulisan ini, Va.. :) sekaligus jadi reminder buat gue.. Co-pas kutipan dari Imam Syafii -nya ya..

eve said...

@Livia
Diriku sudah stay 3 hari ini di Sangatta. Aku siap menanti dirimu. Atau kalau pas lagi ada adekku yang bisa nyetirin, nanti aku jalan2 ke Bontang mengunjungi kalian yaaa *smooch

eve said...

@Ismawan
Silakan kaka. Imam Syafii is one of my fave!

SELAMAT DATANG DI BLOG DEWAN KERJA DAERAH KALTIM said...

Subhanallah...
Eva, coba deh dikumpulkan semua tulisan kamu, terus dibukukan, aku yakin warna penulisan kamu udah layak untuk dijadikan bahan motivasi buat calon-calon power ranger berikutnya, hehe...
Seperti "Notes From Qatar", kenapa tidak seorang Eva menulis buku "Lullaby of Eve".

eve said...

@anonim
Haaa, ini siapa ya?
Waah aamiin, nanti siapa ya yang mau baca bukuku? Wkwkwkwk.

sayshio said...

Aku mau baca bukumu encik! Tim promosi juga siaapp
*Shio

eve said...

@Cio
Hihi, gw aamiinin aja yak :)