Pagi
ini, dinginnya Dieng yang merasuk sukma sukses menggagalkan rencana-rencana
indah yang sudah disusun semalam. Tapi tak masyalah, itulah seninya berlibur,
kawan. Setelah bangun siang dengan mata penuh belek, pengelola losmen yang juga
adalah ranger-ranger gagah gunung Prau pun memberi kami sebuah peta wisata
Dieng, lengkap dengan jaraknya dari losmen. Wuih, this is exactly what we need!
Akhirnya,
setelah berjuang keras mengumpulkan tekad untuk mandi (yang tak jua berhasil),
kami memulai perjalanan hari itu. Mari mulai dari yang terdekat: kompleks Candi
Arjuna. Seperti namanya, semoga di sana saya bisa bertemu arjuna-arjuna
penjelajah gagah *lap iler.
Mengunjungi
Candi Arjuna di hari Minggu rupanya keputusan yang kurang tepat. Impian
memotret candi dengan segala kedigdayaannya itu pun musnah tatkala menyaksikan
manusia yang tumpah ruah. Belum lagi, sedang ada acara pemotretan model tepat di
tengah kompleks candi. Jadi mari melipir sajalah kalau begitu.
Menengok
ke atas, kami pun memutuskan untuk hiking sedikit demi menikmati pemandangan
Dieng yang aduhai. Tentu sebelumnya tak lupa untuk singgah di warung terdekat
dan ngeteh sejenak.
Geser
sedikit, rupanya terdapat candi Gatotkaca di petak yang berbeda. Candi-candi
ini merupakan bagian dari sembilan candi Hindu yang tersebar di seluruh Dieng.
Tidak seperti kompleks candi Arjuna, candi Gatotkaca hanya terdiri dari satu
bangunan.
Nah,
spot-spot wisata di Dieng sebenarnya cukup beragam. Semua ada: gunung, kawah,
candi, telaga, goa, mata air, atau sekedar menyaksikan lansekap yang
terbentang. Tapi jaraknya cukup berjauhan. Maka tak heran kalau sebagian besar
wisata di sini menggunakan bus charter-an atau sewa motor.
Tapi
kami sebagai pejalan anti arus utama, lebih memilih jalan kaki melewati
perkebunan dan rumah-rumah warga. Sesekali penduduk setempat menengok
keheranan, mungkin takjub melihat wanita anggun yang ketawa kegirangan di
jalan. Jadi, matahari memang sedang garang-garangnya, tapi di Dieng, sinar
terik begini justru yang paling dicari.
Setelah
berjalan sekitar 1 km, sampailah kami di gerbang kawah Sikidang! Sampai disana,
kami langsung dikerubungi pria-pria dan wanita dari segala penjuru. Sayangnya
bukan untuk foto bareng, tapi karena mau menawarkan masker.
Rupanya,
untuk mencapai kawah Sikidang kami masih harus jalan kaki lagi setengah kilo
dari gerbang. Olalaa. Untungnya di gerbang, pak penjaga tiket langsung
memberhentikan salah satu mikrobus, dan mempersilakan (setengah menyuruh) kami
naik. Duh, makaci bapak! Hore, transport gratis!
Kompleks
Kawah Sikidang ternyata lumayan ramai di penghujung minggu begini. Saat masuk,
kami langsung disambut oleh sekelompok grup musik berbaju tradisional merah
yang menyanyikan lagu-lagu dangdut kontemporer. Duh duh.
Keluar
dari parkiran sebelum jalan ke arah kawah, terdapat bangunan kecil tempat
para penjual suvenir menjajakan dagangannya. Tapi yang paling membuat hati ini
terasa perih berdarah-darah adalah saat melihat edelweiss dijual dengan bebas
dan tanpa rasa bersalah. Duh duh, jangan sampai kita menjadi bagian dari
orang-orang yang melanggengkan bisnis ini ya. Ingat hukum ekonomi jaman sekolah
dulu, penawaran hanya tercipta ketika ada permintaan. Lagipula, edelweiss lebih
cantik dinikmati langsung di habitatnya, bukan?
Nah,
kalau ini kentang khas Dieng yang termashyur itu. Dulu pertama jajan di warung
bu Djono agak terperanjat juga melihat french fries alias kentang goreng ada di
daftar menu. Wuih, modern kali pun warung ini. Rupanya di Dieng, kentang adalah
hasil alam yang bisa dijumpai di seluruh daerah.
Dari
pintu masuk ke kawah Sikidang butuh jalan kaki sekitar 15 menit. Wangi tajam
belerang sudah mulai menusuk dan di beberapa tempat kita bisa langsung
menyaksikan air mendidih yang menggelegak dari permukaan tanah.
Kawahnya
sendiri tidak terlalu besar. Konon nama Kawah Sikidang berasal dari kata
“kidang” yang berarti kijang. Rupanya kawah ini katanya bisa berpindah-pindah
lokasi seperti kijang yang suka loncat-loncat, meskipun jarak waktu perpindahannya tak diketahui dengan pasti.
Yang
menarik, di kawah Sikidang ini kami menjumpai banyak penjual telur rebus kawah.
Caranya, telur-telurnya digantung pada semacam pancingan yang direndam langsung
ke kawah. Katanya sih, telur rebus ini lebih enak dan tidak berbau amis. Etapi
begitu abang gantengnya mau difoto, doi malah langsung misah-misuh. Sudahlah,
mungkin dia grogi, atau malas difoto karna belum mandi.
Untuk
mendapatkan bird-eye view Kawah Sikidang, kami pun manjat sedikit lebih tinggi
ke atas, sekitar 15 menit perjalanan. Treknya sendiri cukup curam, tapi tidak
securam mendaki cintamu kok, lalalaa.
Sampai
di atas, kami cuma bisa terhenyak. Di bawah, kawah Sikidang tampak menyemburkan asap
tebalnya dengan permai, sementara di baliknya barisan pegunungan bersender pada
langit biru tanpa cela. Duh Gusti, cantik kali lah pemandangannya. Apalagi
dinikmati bersama pacar. Kawah serasa milik berdua, eaaaakk! Sebatang dulu lah
kalau begitu.
Setelah
sekitar sejam memuaskan mata, kami kembali ke gerbang utama. Malang memang
pulangnya, sebab kami tidak mendapatkan tumpangan gratis lagi. Tapi jalan kaki
di sini mengasyikkan kok. Di perjalanan kami melihat jejeran pipa-pipa besar
yang digunakan untuk semacam pembangkit listrik tenaga geothermal atau panas
bumi.
Tak
sampai seratus meter dari area gerbang kawah Sikidang, kita sudah disuguhi
Candi Bima. Satu lagi dari sembilan candi Hindu yang tersebar di Dieng.
Dan
Candi Bima yang tegak menyeruak menantang angkasa biru begini memang
pemandangan yang pas disaksikan di siang hari. Sebatang lagi lah kalau begitu.
NB: *photos by Eva
Bachtiar dan Sebastian Bayu
- Cerita rute menuju Dieng, penginapan murah meriah, dan dinginnya Dieng yang merasuk jiwa, ada di sini.
- Cerita tentang jalan kaki ke Candi Arjuna, Candi Bima, serta trekking di Kawah Sikidang, boleh ditengok di sini.
- Cerita perjalanan ke kompleks Telaga Warna, Telaga Pengilon, situs-situs unik, Batu Ratapan Angin yang bikin speechless, serta kisah anak rambut gimbal ada di sini.
- Cerita lengkap tentang Gunung Prau mulai dari rute, trek, lika-liku pendakian, sampai kisah camping di suhu -1 derajat, bisa dibaca di sini.
- Cerita tentang sosok inspiratif yang 4 tahun napak tilas Bung Karno keliling Indonesia, jalan-jalan ke Petak Sembilan yang ciamik, Tuk Bimalukar, dan akhirnya harus pulang, ada di sini.
0 comments:
Post a Comment