Rss Feed

Sang Bapak dan Si Anak

 
Pernah nonton serial Parenthood? Saya, tanpa malu-malu, mengakui, hampir selalu sukses menangis dibuatnya. Kadang-kadang oleh beberapa adegan heroik orangtua, terkadang oleh adegan penuh haru, tapi lebih sering lagi hanya karena adegan sederhana yang memperlihatkan keindahan dan kemurnian hubungan orang tua dan anak.

Libur Lebaran kemarin kebetulan saya mendapat cuti – errrrr bukan kebetulan sebenarnya, lebih memaksa tepatnya, hehehe. Karena kalau tahun ini saya tak mudik lagi, maka saya akan resmi menjadi Mbak Toyib yang 3 tahun tak pulang-pulang.

Menyenangkan rasanya bisa melihat rumah lagi. Dan meskipun rumah kami kecil, sederhana, seadanya, dan terkadang berantakan (khususnya kamar adek saya yang seperti kapal pecah), ada aroma magis dari rumah yang tak akan tergantikan. Aroma familiar yang meskipun jauh dan lama tak bersua, terasa tak pernah asing di pancaindera.

Dan yeah, banyak hal berubah, atau bertumbuh tepatnya. Adik-adik tumbuh dengan cepat dan drastisnya. Aku bahkan selalu sukses dibuat takjub oleh kecepatan tumbuh mereka. Dan orangtua semakin menua. Gurat-gurat letih makin banyak menghiasi wajah mereka, rambut semakin beruban, pergerakan yang semakin terbatas, dan meskipun sangat sedih mengakui ini, mereka nampak jauh lebih tua dibanding kali terakhir melihat mereka.

Tapi ada satu hal yang mengganggu. Adek saya yang berumur 18 tahun, duduk di bangku SMA tahun terakhir, satu-satunya cowok – kini makin sering berkonfrontasi dengan sang bapak. Pertengkaran mereka terjadi nyaris tiap hari, yelling each other, saling mematahkan pendapat masing-masing, tak pernah sepakat, dan membuat satu rumah pusing dibuatnya. Si anak selalu melawan apa yang dititahkan sang bapak, dan sang bapak selalu menganggap si anak tak punya respek pada orang tua. Kenyataannya toh mereka berdua sama-sama keras kepala, jadi tak pernah ada situasi seiya sekata.

Saya sudah berusaha memperbaiki suasana dengan berbicara pada masing-masing mereka, yang dengan suksesnya langsung dibantah. Sepertinya tak ada jalan bagi mereka untuk berbaikan sama sekali. Tapi lalu ini membuatku berpikir lagi, betapa situasinya sama persis dengan yang saya alami delapan tahun lalu (Hell yeah its been that long!).


Saya ingat sekali, dulu hubungan saya dengan bapak saya pun tak pernah baik. Beliau di mata saya, tak lebih dari sosok bapak yang darah tinggi dan super kolot. Beliau gampang sekali marah, gampang sekali disulut oleh kesalahan-kesalahan kecil yang kami lakukan. Super kolot, karena tak membiarkan anaknya bermain bebas dan mengeksplor hal-hal baru, melarang anaknya berpacaran (yang selalu sukses saya sembunyikan, haha), serta menuntut kami seperti mesin belajar. Itulah sebabnya saya begitu kebelet ingin meninggalkan rumah dan menuntut ilmu ditempat yang jauh, semakin jauh semakin baik, dimana saja yang penting bukan dirumah.

Berbekal prestasi akademik yang baik, saya akhirnya bisa melanjutkan sekolah ke SMU bergengsi di luar kota. Lulus SMU saya melanjutkan lagi kuliah di Bandung. Jauh dari rumah membuat saya hidup secara bebas, bebas mengontrol hidup saya sendiri, menjalani kehidupan yang sejak dulu diinginkan. Selama menuntut ilmu di luar kota ini, saya hanya pulang ke rumah satu-dua kali setahun. Selama jauh inilah, ada banyak hal yang baru saya pahami tentang orang tua saya. Hal-hal yang luput dari perhatian saya selama ini.

Saya baru menyadari bahwa selama ini orangtua saya menyimpan kepercayaan yang begitu besar pada saya. Dan apa yang saya maksud kepercayaan disini adalah benar-benar kepercayaan, bukannya harapan. Mereka percaya bahwa saya akan menuntut ilmu dengan baik, percaya bahwa saya akan menjaga diri dengan baik, percaya bahwa saya akan menjaga kepercayaan mereka. Begitu besarnya kepercayaan ini, sampai mereka membiarkan saya mengambil keputusan-keputusan besar dalam hidup saya, dan mempercayainya. Percaya bahwa saya sudah cukup dewasa untuk bertanggung jawab pada pilihan yang saya buat.

Just watch this. Ketika saya telah keterima di PMDK Undip dan orangtua telah membelikan tiket ke Semarang, saya tiba-tiba tanpa angin tanpa hujan tanpa petir tanpa badai, ingin mencoba SPMB ke ITB. Mereka terbengong-bengong memang, tapi lalu menyerahkan semuanya ditangan saya. Dan demikianlah PMDK Undip tersebut akhirnya saya tolak (mohon maaf adik kelas yang jadi diblacklist oleh Undip, hihi), dan dengan mantap saya mengikuti SPMB. Alhamdulillah lolos.

Watch this again. Mahasiswa lain biasanya dikirimin jatah uang bulanan oleh orang tuanya. Orangtua saya memberikan rekening utuh yang telah mereka tabung bertahun-tahun lamanya, untuk saya pakai. Rekening itu bahkan atas nama saya sendiri. Mereka tak pernah menentukan batas uang yang boleh saya habiskan tiap bulannya. Saya hanya perlu bilang, telah ambil berapa dan untuk apa (yang sebagai mahasiswa, saya banyak bohongnya, hehe). Dan kami bukan dari keluarga berkecukupan, jadi jelas ini membutuhkan usaha yang tidak sedikit buat beliau.

Selain kepercayaan-kepercayaan berlimpah ini, yang membuat saya sangat nyaman menjalani hidup di perantauan, mata saya pun terbuka pada banyak hal yang entah kenapa baru terlihat begitu jelas setelah kami berjauhan. Kasih sayang orang tua. Terkadang jarak justru membuat segalanya tampak lebih jelas, bukan? Sesuatu yang sudah berada disana sejak dulu kala, tapi karena begitu dekatnya, begitu seringnya melihatnya, sampai justru luput dan terabaikan.

Dan hey, orangtua pun berubah. Mereka pun entitas yang tak kebal waktu. Jika menjadi orangtua yang baik sifatnya tentatif, maka berusaha untuk menjadi orangtua yang baik adalah sesuatu yang hampir absolut sifatnya. Mereka pun berevolusi, belajar dari kesalahan, instropeksi, dan merenung. Mungkin ada waktunya mereka khilaf, tapi mereka pun tak akan berhenti menyesal. Kalau kita mau berpikir lebih jernih, kesalahan mereka tak akan lebih dari seujung kuku kasih sayangnya. Dan jika kita sudah berhasil melihat ini, maka niscaya kita akan merindukan mereka lagi. Seperti yang saya rasakan.

Love Lives On - by Nova, the youngest sista

Oleh sebab itu, saya percaya, si adek mungkin butuh jarak itu. Tak pernah adil dan tak pernah ampuh, memaksa remaja penuh gejolak amarah untuk mengerti semuanya. Biarkan ia meresapi prosesnya, biarkan ia menyaksikannya sendiri. Suatu saat matanya akan terbuka.


NB: Hey, bukan salahku kalau kami berdua begitu mirip tabiatnya, it’s in our blood.



6 comments:

Yushie said...

evaaa, ceritanya sama persis kaya adeku si ikin. waktu SMP dan SMA dy sering banget berantem ama papi, bahkan pernah kabur dari rumah (walo balik lagi gara2 ga punya uang hihi).
tapi sejak kuliah dy jadi kepengen balik mulu ke rumah, dan ga sabar nunggu waktu liburannya biar bisa kumpul bareng keluarga, hehe..
semoga segera berlaku hal yang sama juga yaaa buat ademu, amiinn :)

eve said...

Iya iya iyaaa..
Keknya memang harus begitu polanya. Kalau deket terus kan, gimana bisa kangen? :)

*kita balada si gadis perantau*

dungdangdung said...

ini sih cerita anak perantauan bgt. yg kabur karena ga betah di rumah. kabur utk lepas dari belenggu suruhan orang tua. wkwkwkwk... been there also.

emang gesekan2 itu paling sering kejadian pas di rumah, soalnya ya itu tadi intensitas ketemuan terlampai sering. begitu anaknya ilang (merantau), baru deh melunak. sama, anaknya jg jadi unyu2 gimana getoh :D

emang kayanya merantau itu perlu, bagian dari proses pembelajaran hidup dan proses utk menguatkan ikatan silaturahmi keluarga.

(lucunya, gw tinggal lamaan di rumah dikit aja, berantemannya bisa kumat lagi, wkwkwkwk)

eve said...

Cuma kak, aplikasinya ke hubungan anak-ortu beda2 juga. Bersyukurlah buat anak-ortu yang tanpa perlu jauhan masih bisa adem-ayem dan sudah bisa menyadari ikatan mereka. Sayangnya buat beberapa lainnya yang masih "perlu pencerahan", merantau jadi perlu emang kayaknya hehe..

dungdangdung said...

emang sih. alhamdulillah kita dikasi kesempatan buat jadi 'keluarga baik' lagi. coba kalo ngga, bisa bubar jalan itu ayah-ibu-anak, macam di sinetron aja.

berarti kalo dari sample komentator, yg keras2 itu keluarga yg bokapnya dari bugis (lo ama yusi) ama jawa timur (gw) :D

eve said...

Buakakakakak. Betul-betul-betuuuul. Bawaan genetis suku ada sumbangsihnya juga sepertinya. Berarti lagi, gw cari suami Sunda aja deh, hihihi..