Rss Feed

Antar Aku ke Samalona*

*lyric Imanez: Samalona

Selamat Datang di Samalona!   (photo by @linapw)

Perjalanan saya ke Makassar kali ini diawali sebuah kesialan. Tapi ah, tak ada yang namanya sial dalam istilah perjalanan. Ia selalu nikmat dalam konteks dan situasi apa pun. Bukan begitu?

Dengan niat awal menghemat tiket pesawat Luwuk-Makassar  yang kala itu pasarannya begitu mencekik leher, sekitar 1,2 juta padahal cuma numpang duduk gak sampai dua jam doang – akhirnya saya memutar otak. Backpacker kere pasti banyak akalnya.

Akhirnya ketemulah rute alternatif, Luwuk-Palu via travel 16 jam yang ongkosnya 200rb, lalu lanjut Palu-Makassar via pesawat 1 jam dan kebetulan lagi hoki dapat promo Garuda 400rb. Meskipun waktu tempuh jadi berkali-kali lipat, tapi paling tidak dompet bisa bernafas sedikit lah.

Sayangnya, di jalan darat menuju Palu, rupanya sedang ada perbaikan di Kebun Kopi. Ini nama salah satu lokasi di jalur trans Sulawesi yang baru saja longsor. Jalan rayanya tepat di sebelah tebing kapur yang rawan erosi, sementara sisi satunya langsung berhadapan dengan jurang menganga. Nyetir di sana kayak jalan di sirotul mustaqim, lalai sedikit saja, sudah bisa dipastikan mobil meluncur dan wassalam.

Karena di Kebun Kopi sedang buka tutup jalan inilah, mobil harus terhenti selama hampir sejam. Walhasil, sampai di bandara, pesawat sudah berangkat dengan indahnya, meninggalkan satu anak gadis yang menatap hampa di loket keberangkatan.

Akhirnya, dengan mempertimbangkan kemungkinan saya diculik alien kalau kelamaan ngejogrok di bandara, saya terpaksa membeli tiket pesawat susulan, yaaaaang harganya ternyata 1 juta! Deyyym, ini niat mau menghemat malah jatuhnya lebih boros ya, haha *nangis garuk-garuk pasir*. Tapi tidak masalah, saya toh akhirnya bisa menginjakkan kaki di Poso dan Palu untuk pertama kalinya. Mari diniatkan untuk menyempatkan diri main ke sini lagi kapan-kapan.

Sampai di Makassar, saya langsung menjumpai Lina, my best travelmate, yang sudah janjian di Borong Raya. Malam itu kami menginap di rumah saudara jauhnya pacarnya teman saya *nahloooo*. Memang yang namanya backpacker kere itu ada saja yang rela nebengin *sujud syukur*.

Rencana kami sudah bulat, besok akan menjelajah Samalona. Sebenarnya sudah lama ingin ke Samalona, apalagi waktu jalan-jalan ke Losari tempo dulu yang harus diurungkan karena waktu mepet mengejar pesawat ke Wakatobi. Senangnya akhirnya sekarang kesampaian juga!

Pagi-pagi esoknya, dengan formasi Power Rangers, kami berangkat ke dermaga penyeberangan. Di sepanjang jalan menuju dermaga, terhamparlah duren-duren cantik yang dipajang di pinggir jalan, yang menggoda mata, hati, dan pikiran anak-anak. Akhirnya, daripada nanti kemimpi-mimpi di pulau di tengah laut tak berduren *halah*, kami pun membeli memboyong serenteng.


Yes, ini duren semua! Hahaha...   (photo by @eva_bachtiar)

Samalona adalah pulau cantik di seberang Makassar yang sering disebut-sebut beberapa musisi dalam lagunya. Ada lagu Samalona dari Imanez yang terkenal dan pernah dicover Rocket Rockers, lagu rap nasionalis Pandji Pragiwaksono di Lagu Melayu, bahkan ada juga band reggae yang namanya Samalona. 

Untuk menuju kesana dibutuhkan setengah jam penyeberangan menggunakan kapal carteran, beberapa teman baik untuk gila-gilaan bersama, uang secukupnya, dan tentunya stok energi untuk bersenang-senang!

Umumnya kapal dicarter sekalian untuk mengantar pergi dan pulang (pp). Nanti tinggal janjian sama abangnya mau dijemput hari apa dan jam berapa. Sebenarnya kapasitas kapal bisa menampung lebih dari 5 orang, tapi karena jadwal pulangnya bisa beda-beda, jadi memang biasanya sistem sewanya per kelompok.

Kami juga sempat pengen nebeng di kapal seorang eksmud yang nampak cuma bepergian sendirian ke Samalona, biar patungannya bisa lebih murah gitoohh. Niatnya kan baik, supaya kakak eksmudnya ada teman ngobrol di jalan, hehe. Tapi beliau menolak dengan halus, entah karena takut kami palak di tengah laut atau memang sepertinya beliau memang lagi pengen sendiri ajah *eaaaa*.

Menyeberang ke Samalona terasa singkat. Angin laut rasanya baru sekejap meniup rambut, rokok rasanya baru sebatang dua batang hinggap di paru-paru, lagu rasanya baru sebait-dua bait dinyanyikan, ehhh udah sampai! Rupaya pulau ini memang tak begitu jauh dari Makassar, tapi jangan salah, suasananya langsung beda terasa.


Let's go, buddy!   (photo by @lampurio)

Sampai di dermaga, matahari sudah naik. Beberapa ibu-ibu dan seorang gadis telah berdiri di sana, sigap menawarkan penginapan dan servis lainnya. Sambil jalan di dermaga, kami melewati sebuah plang yang menyebutkan beberapa nama yang rupanya adalah daftar pemilik Pulau Samalona. Wah, ternyata pulau ini pulau pribadi. Hmmm, interesting. 

Tabik, bapak-bapak pemilik pulau! Numpang icip-icip pulaunya :)   (photo by @eva_bachtiar)

Oleh si ibu kami diajak keliling melihat penginapan. Mostly bentuknya homestay yang harganya agak mahal ternyata. Kisaran 300rb yang paling murah sampai 800rb untuk yang nyaman, biasanya untuk keluarga. Kalian pasti sudah tahu kan kami pilih yang mana? Hahaha. Ya eyyalah, kami pilih yang paling murah. Isinya berupa 2 kamar yang terhubung dengan kasur, meja, dan teras kecil. That’s all. 

Sewalah aku! Hihi.   (photo by @linapw)

Kamar mandi adanya di luar dan dipakai buat umum. Air juga harus ditampung dulu dari bak penampungan air lalu digeret masuk ke kamar mandi. Selama pagi sampai sore air harus dihemat, karena air diambil dengan pompa yang hanya bisa menyala setelah genset dinyalakan ketika maghrib.

___

Sampai sana, kami langsung ke acara inti, yaituuuuuu santai-santai! Hahaha. Duduk di teras belakang yang menghadap langsung ke laut, keluarkan domino, snack dan duren – sempurna! Puas main kartu, kami memasang portable hammock di antara 2 pohon di belakang penginapan. Saya dan Lina betah duduk berdua diayun-ayun angin disana, ngobrol berjam-jam, memandang laut, dan catch up peristiwa hidup selama 2 bulan tak bertemu *begitulah*.


What a good day!   (photo by @lampurio)

Setelah puas bersantai, tibalah waktunya untuk mengeksplor pulau. Rupanya pulau Samalona sama sekali tidak luas, bahkan bisa dikitari dalam waktu beberapa menit saja. Kami telah menyewa perlengkapan snorkeling, masih oleh ibu yang sama. Tapi baru beberapa menit nyemplung, hujan deras turun mengguyur. Akhirnya niat snorkeling gagal, dan kami lanjut berenang-berenang lucu dibawah hujan sajaaa.


The fabulous Samalona...   (photo by @eva_bachtiar)

Tapi berenang lucu ini pun jadi tidak lucu karena selama kami berenang rupanya kepiting-kepiting genit dengan kurang-ajarnya ingin ikut berenang bersama kami. Itulah yang namanya pesona, kepiting aja takluk dibuatnya kan *uhuuuuk*. Ada kali, 6 kepiting mencapit-capit, sukses membuat pria-pria brewokan ini pun jejeritan dengan cantiknya. Ahahaha.

Puas berenang dan dicolekin kepiting, kami lalu singgah di dapur sebuah rumah yang konon dengar-dengar menjual pisang goreng. Gorengan pun langsung diolah saat itu juga. Kayaknya sih si ibu kasihan melihat muka-muka kelaperan kami yang ngejogrok bersusun di pintu dapurnya, dengan tatapan kosong dan iler menetes. Begitu pisangnya jadi, hanya dalam waktu beberapa detik saja, pisang goreng rica hangat ibu yang maknyus sudah berpindah tempat ke perut-perut rakus.
  
Kami lalu kembali ke penginapan. Kali ini agendanya adalah foto-foto dan menikmati sunset. Sayangnya mendung masih menggelayut sepanjang siang hingga sore, sehingga foto-foto pun nampak kelabu. Tapi yang paling bikin kami mengelus dada *yang pasti yang dielus dada sendiri yah, hehehe* adalah karena banyak sekali sampah yang kami jumpai.


Ulala!   (photo by @lampurio)

Tumpukan sampah nampak menggunung di sana-sini, betul-betul merusak pemandangan. Kami bahkan melihat langsung orang lokal sini membuang sampah satu kardus langsung ke laut. Oh my! Kalau begini ceritanya, tak lama lagi Samalona hanya akan tinggal nama, tak menarik apalagi mempesona. Hmmm…

Rupanya kami telah berada di spot yang tepat, karena di belakang penginapan adalah lokasi yang pas untuk menikmati sunset. Sunset turun dengan malu-malu kali ini, meninggalkan semburat merah yang berlangsung cukup lama. Kami pun hanya duduk di sana, beralaskan pasir putih, menikmati senja menutup hari.


Sunset ala Samalona.   (photo by @linapw)

Setelah puas menyaksikan sunset eksotis lalu sukses teringat pedihnya hidup *eaaaaa*, nungguin ember penuh sambil antri sama penghuni kamar lain, lalu mandi dengan penuh perjuangan pake senter hape soalnya di kamar mandi gak ada lampu, akhirnya saya pun keluar dari kamar mandi dengan cantik dan bercahaya bak putri salju turun dari kereta labu.

___

Malamnya saya dan Lina lalu berburu makan malam. Jadi, di pulau sini memang tidak ada warung makan, kalau lapar sistemnya minta dimasakin sama ibu-ibu di rumah sekitar. Uniknya, ternyata satu pulau ini bersaudara semua.

Jadi cara menjaga bisnisnya tetap fair adalah sistem take-take-an gitu. Satu kelompok tamu biasanya dipegang sama satu orang, mulai dari penginapan, makan, sewa alat snorkel, dll. Jadi nih, misalnya kita nginap di ibu Anu, tapi kepengen makan di ibu Una, biasanya bu Una akan menolak dengan halus. Istilahnya, kami ini sudah jatah rezekinya ibu Anu. Begituuu.

Nah, kami lalu diantarkan menemui seorang bapak yang punya keramba di laut. Langsung deh, si bapak nyemplung ke laut, menarik kerambanya, dan menunjukkan pada kami ikan-ikan di dalamnya untuk dipilih. Yang bikin sedih, di dalam keramba itu ada seekor hiu unyu yang terperangkap, nampak siap menghadapi ajalnya dan berakhir di perut orang-orang yang belum sadar tentang konservasi hiu.

Kami sempat nyeletuk, wah pak, gak boleh nih ikan hiu dimakan, bahaya dan dilindungi juga. Eh bapaknya bilang, banyak kok yang suka. Jengjeeeeng. Bodohnya, waktu saya menulis catatan ini baru kepikiran, kenapa waktu itu gak kami beli aja hiunya trus kami lepas ke laut yaa? Ah, emang suka lemot juga nih saya *menyesal*.

Anyway, akhirnya kami memilih beberapa ikan. Selang setengah jam kemudian, ikan bakar plus sayur tumis plus sambal dabu-dabu plus nasi sebakul pun datang. Ikan segar memang gak ada bandingannya, nikmat kali puuun. Apalagi makannya sambil rebutan sama pria-pria gahar bernafsu makan kuli bangunan. Sampai ikannya kandas pun kami masih asyik menghisap-hisap tulang ikan, hihihi.

Puas, wangi, dan kenyang, kini kami siap menikmati malam. Kami geser dipan kayu besar ke tengah hamparan pasir pantai, kami pungut ranting kering dan beberapa potong kayu bakar yang terserak, kami buat api unggun kecil yang menghangatkan suasana, kami jalan mengitari pulau dan memalak gitar yang dibawa sekelompok anak sekolah *ehem, yang ini jangan ditiru yah*, kami boyong bantal dan sarung dari kamar keluar, lalu disanalah, kami berbaring menatap bintang malam, tak banyak bicara dan lebih memilih diam menikmati suasana, buka botol hangatkan perut sedikit, sementara pria-pria bergitar dan menyanyi lagu batak roaming mendayu-dayu yang entah apa artinya. 


Antar aku (lagi) ke Samalona...   (photo by @lampurio)

Malam itu kami tidur diiringi lagu Payung Teduh dari speaker kecil, gaung suara kipas yang mati otomatis pukul 6 pagi ketika genset dimatikan, dan hujan yang turun permai di pagi hari. Esoknya kami hanya jalan-jalan menikmati pulau sebelum kapal datang menjemput, pulang, tentunya siap menjelajah bagian Makassar lain lagi esok hari!


0 comments: