Rss Feed

Mesmerizing Bira


photo by @linapw

Pagi ini kami bangun di Makassar dengan hati ceria, tapi rupanya tak demikian dengan cuaca di luar sana. Hujan deras turun seharian non stop, dan udaranya yang semriwing semakin sukses membuat saya dan Lina betah ngendon di kamar dan nonton gosip *ehem, maklum orang udik, di desa gak pernah ketemu tipi*.


Belom lagi, pagi-pagi kami sudah disuguhin perbaikan gizi alias sarapan masakan mama Kia, tuan rumah paling baik seantero Sulawesi, yang asoy geboy, meskipun saya yakin setelah itu mama Kia akan mendapat hidayah bahwa sesungguhnya memberi kami makan sama saja dengan bikin bangkrut usaha kateringnya *sambil nyomot perkedel*.

Akhirnya beranjak sore, begitu pantat rasanya makin berat digerakin dari kasur, kami akhirnya mengambil keputusan krusial bahwa pada akhirnya semua yang indah-indah itu harus diakhiri jua. Maka siang itu kami memberi salam perpisahan pada mama Kia dan perkedelnya yang nikmat, dan TV, dan kasur, dan rumahnya yang seperti memanggil-manggil kami untuk pulang *halahh*.

Jam 2 siang, dengan gagahnya kami menembus hujan gerimis, berangkat ke terminal dengan bentor, dan lekas-lekas mencari oto yang akan membawa kami ke Tanjung Bira. Berbekal pesona gadis-gadis setengah basah kehujanan *ngomong apa sih ini*, maka si pak supir lalu bersedia membandrol biaya 55ribu diantar sampai ke tujuan. Kami juga janjian sama si bapak untuk menjemput kami lagi esok siang, karena Lina harus kembali sebelum malam.

Bersama kami di oto adalah seorang cewek manis asal Bulukumba yang kuliah dan kerja di Bogor yang hendak kembali ke kampungnya untuk membuka kantor cabang di sana, seorang pria tambun bertato sok kece yang punya selera lagu norak, serta seorang anak gadis umur tanggung yang kabur janjian dengan pacarnya di Bulukumba. Nah, bepergian itu menyenangkan karena bisa bertemu dengan rupa-rupa anak manusia di penjuru dunia!

Perjalanan ke Bira adalah roadtrip menyusuri pesisir bagian selatan Sulawesi Selatan. Kami melewati beberapa spot: di Galesong dimana saya sudah semaput, jadi tak ingat apa-apa; di Takalar tempat kami membeli jagung rebus enak yang dijajakan sepanjang jalan poros; di Jeneponto tempat saya menyaksikan kuda-kuda berkeliaran bebas di padang rumput; di Bantaeng tempat kemana kepala menengok hanya ada sawah sawah dan sawah, hijau berundak permai; dan akhirnya sampailah kami di Bulukumba.

Bulukumba adalah kota besar terakhir yang kami singgahi sebelum ke Bira. Di sini penumpang-penumpang lain turun hingga tinggal kami berdua dan pak supir yang meneruskan perjalanan. Jalanan sudah berganti wujud jadi jalan setapak sempit, terjal, dan berbatu. Kami lalu diantar langsung ke penginapan yang sudah kami book berdasarkan rekomendasi Lonely Planet: Sunshine Guesthouse.

Sampai di penginapan, waktu sudah menjelang sore. Kamar kami ada di lantai 2, tarifnya murah meriah sekali sodara-sodara, 200rebu semalam kalau menginap 1 hari, 180rebu semalam kalau lebih dari sehari. Kamar mandinya di luar, but it’s not really a big problem karena pas kita datang memang bukan musim liburan atau weekend, jadi penginapan kosong melompong. Cuma ada satu turis Jerman bersama kami yang datang liburan sama anaknya. 

Tanpa basa-basi lagi, saya dan Lina langsung cabut, gak pake acara touch-up langsung ngabur ke pantai. Cuma tinggal jalan kaki sebentar daaaan sampailah kami. Rupanya, Bira itu sudah well-developed, dilihat sepintas pun sudah macam Bali lah kios-kios di pinggir jalannya. Sudah banyak penginapan, ada dive centre, dan mereka sudah terbiasa melayani turis asing.

Pantai Bira itu… saya speechless sodara-sodara! Pasirnya halus kali puuuuun. Kalau ke sini, langsung buka alas kakimu dan rasakan sendiri nikmatnya bertelanjang kaki menyusuri pantainya yang landai dan luas. Memang momen-momen begini, bikin saya nyesal kenapa kesini bawa Lina dan bukannya bawa pacar *lalu digorok Lina*.


photo by @eva_bachtiar


Yang bikin asyiknya dobel adalah, karena kami kesana bukan pas hari ramai pengunjung, jadi seantero Bira itu isinya cuma kami berdua dan sepasang bule di sana yang lagi asyik duduk-duduk. Waaah, mumpung gak ada yang lihat, saya bisa puas-puasin joget-joget kayak orang gila.


photo by @linapw

photo by @linapw


Menjelang terbenam, langit mulai temaram dan sinarnya teduh memayungi langit Bira. Sunsetnya pun juara. Langit merah keunguan nampak ciamik dipasangkan dengan pasir cantik dan kapal yang tengah bersandar. Ahhhh, pacaaar mana pacaaaarrr.


photo by @eva_bachtiar

photo by @eva_bachtiar


Sesorean itu, saya dan Lina puas-puasin jalan-jalan di pantai, foto-foto, sampai waktu malam perlahan turun, naga berkepala sembilan di perut semangat menggedor-gedor minta dikasih makan. Di sepanjang Bira sebenarnya ada banyak kios, tapi cuma satu dua yang buka, itupun cuma jual makanan ringan dan mie instan. Saat itulah kami lalu menengok ke arah kejauhan *pake slow motion dan soundtrack lagu malaysia, dan melihat secercah cahaya surga di atas tebing.

Lincuy, apakah itu surga?
Iya cuy, surga yang masuknya harus bayar. Hahaha.

Jadi, di bagian ujung Bira, ada resto keren yang letaknya pas di tebing, bentuknya seperti kapal pinisi raksasa yang dipasangi lighting-lighting romantis, dan sayup-sayup suara live music terdengar meriah dari kejauhan. Saya sama Lina cuma bisa memandang resto ini dari kejauhan sambil ngelirik dompet.

Nasib backpacker kere memang tragis. Inilah masa-masa ketika perut dan dompet tak lagi seiya sekata, sehingga memutuskan untuk jalan masing-masing. Kami berdua akhirnya ngejogrok gitu aja di tengah luasnya Tanjung Bira, ngitung duit recehan di tas, dan mengira-ngira, kalau kami nekat makan di resto aduhai, kira-kira kami harus menggadaikan baju celana gak ya buat pulang?

Dan setelah perhitungan integral lipat dua dan regresi linear yang sangat matang *halah, akhirnya kami berdua lalu memantapkan tekad, menegakkan kepala, dan berjalan ke arah resto sambil membusungkan dada. Baru beberapa langkah masuk ke dalam resto, mbak waiternya langsung menghampiri. Apakah mbak ini menyaksikan kami hitung-hitungan dari jauh hingga takut kami gak mampu bayar? Dengan muka menyesal yang dalam, mbaknya lalu bilang, “Maaf ya mbak, untuk hari ini semua restonya sudah di-reserve orang yang ulang tahun.”

Ealaaah, tahu gituuuu kami gak usah pake acara semedi lama-lama tadi. Akhirnya dengan langkah diseret masih sambil misah misuh, saya dan Lina kembali lagi ke warung mie instan. Beli mie 2 bungkus, makan kayak orang kelaparan, trus duduk-duduk romantis sambil ngebir dan makan kacang, menikmati angin laut dan sunyinya malam.


photo by @eva_bachtiar


Dan demikianlah malam kami di Bira. Si ibu penjaga warung bahkan sudah ketiduran pas kami mau bayar makanan dan pulang. Sampai guesthouse, kami langsung mandi dan semaput dengan suksesnya.

___

Esok paginya kami bangun pagi-pagi sekali, sikat gigi gak pake mandi, langsung ngabur lagi ke tempat rental sepeda motor di dekat pantai. Tarifnya 60rebu perhari. Kami sudah mencoba mengeluarkan teknik persuasi kami yang dibalut senyum memikat, tapi si abang tetep keukeuh gak mau ngurangin harga, meskipun kami cuma akan pakai motornya setengah hari.


photo by @eva_bachtiar


Destinasi pertama kami pagi ini adalah melihat lokasi pembuatan kapal pinisi. Dengar-dengar dari orang sana, kami harus ke desa Tanah Beru yang jaraknya hampir 45 menit naik motor. Di sana kami sempat beberapa kali nanya sama orang-orang desa tapi gak ada yang tahu, dan akhirnya secara kebetulan nanya sama tukang ojek yang langsung bersedia mengantarkan kami ke rumah saudaranya, yang katanya bikin kapal pinisi.

Kami lalu mengikuti bapak ini dengan semangat, meskipun kami sempat terheran-heran juga sih, kok pembuat kapal pinisi bikinnya di tengah pemukiman gini? Sampai di rumah saudara si bapak, kami lalu ditunjukkanlah hasil karya spektakuler beliau, yang berupa kapal-kapal pinisi … pajangan -___-“

Toweweweweweeeng. Rasanya kok antara dongkol, tapi kocak juga, hihi. Jadi yaah, diambil hikmahnya saja, bahwa lain kali kalau nanya penduduk itu harus yang suangat jelas tanpa ambiguitas sama sekali, hihi. Makasih ya bapak, maaf kalau mengira kami calon pembeli potensial, sebenarnya kami hanyalah pelancong nyasar.

Akhirnya kami kembali lagi ke Bira, tepatnya ke lokasi di dekat dermaga. Dari atas jalan raya sudah terlihat pucuk-pucuk tiang kapal yang sedang dibangun. Dan betul saja, begitu kami datang, saya dan Lina langsung terpukau menyaksikan empat kapal pinisi yang legendaris itu, langsung di tanah asalnya.


photo by @linapw

photo by @linapw

photo by @linapw


Di sana nampak beberapa tukang kayu sedang sibuk bekerja. Yup, kapal raksasa yang sudah termahsyur kehandalannya menaklukkan samudra dunia itu dibuat secara manual oleh tangan-tangan ulet tukang kayu kebanggaan Indonesia. Katanya, pembuatan satu buah kapal ini bisa menelan biaya milyaran dan waktu hingga setengah tahun! Salut!


photo by @eva_bachtiar

photo by @linapw


Puas melihat-lihat kapal pinisi yang gagah, kami lalu kembali lagi ke Tanjung Bira untuk sarapan yang tertunda. Yah, bagi yang gatal pengen komentar melihat muka saya yang di bawah, itu memang ekspresi saya yang merasa hidup hampa, kelam, dan suram, kalau belum makan. Hehehe.


photo by @linapw


Akhirnya, setelah nasi sebakul sudah mendarat di perut, hati rasanya gembira lagi, hidup pun ceria dan berbunga-bunga kembali. Sekarang kami hendak meneruskan perjalanan ke Bara. Namanya Bara saja yah, gak usah ditambah-tambahin jadi Barabaraberebere *goyang koplo*.


photo by @linapw


Bara ini lokasinya tidak begitu jauh dari Bira, sekitar setengah jam naik motor menyusuri garis pantai, tapi lewat hutan dan melewati centralized prostitution. Yup, dimana ada lokasi wisata maju, disitu pasti ada pub-pub plus-plus seperti ini. Konon, Bara ini jauh lebih bagus dari Bira, dan karena belum terkenal, di sana masih sepi. Penasaran kan? Perasaan Bira aja sudah cihuy beuttt *alay kumat*, gimana dengan pantai yang lebih cihuy?


photo by @eva_bachtiar


Alkisah singkat cerita, sampailah kami di Bara. Dan masih di ujung jalan aja, kami sudah kegirangan. Pas sampai di bibir pantai, kami cuma bisa menganga. This place is such a little heaven on earth. Pantainya luaaaas, putiiiiih, bersiiiiih, haluuuuus, dan kosoooong! Kami berdua rasanya sudah semacam penguasa dunia di sana.


photo by @linapw

photo by @linapw


Siang itu ombak sedang tenang-tenangnya, nyaris tak ada pergerakan berarti. Pasirnya 11-12 sama di Bira, masih super halus dan tetap bikin pengen orang guling-guling di atasnya. Pantainya pun bersih tanpa sehelai pun sampah. Tebing-tebing rendah di pinggirnya seperti memagari dengan kokoh dan menambah keindahannya. Gradasi warna lautnya mempesona: dari bening, hijau tosca, lalu ke biru pekat.


photo by @eva_bachtiar

photo by @linapw


Ah, senangnya menemukan keindahan bumi pertiwi seperti ini. Semoga saja kelak seiring dengan semakin terkenal dan berkembangnya lokasi ini, keindahannya bisa terus dilestarikan. Sepenglihatan kami baru ada satu resort di sana. Semoga resort-resort yang nantinya dibangun di sana juga bisa menjaga keasriannya yaaa.


photo by @linapw

photo by @linapw


Dari Bara, kami lalu kembali lagi ke Bira. Yah, memang mantan aja yang bisa bolak-balik? *eaaaakk*. Kemarin kan ke Bira cuma pas sore, jadi kepengen juga menikmati Bira yang masih full terguyur matahari. Rupanya banyak sudut-sudut Bira, khususnya di atas tebingnya yang kece banget buat difoto kalau pas terang begini.


photo by @eva_bachtiar

photo by @linapw


Oia, di Bira ini kami banyak menjumpai resort-resort semacam rumah-rumah kayu yang di-abandon begitu saja. Sayang bangeeet, karena rumahnya cantik-cantik, dan view-nya astaga-juara-sekali karena menghadap langsung ke laut Bira. Ini mah ocean-view-se-ocean-view-ocean-view-nya. Nahloo.


photo by @linapw


Anyway, karena Lina harus mengejar pesawat sorenya, kami jadi harus sudah kembali siang ini. Waktu balik ke guesthouse, kebetulan anaknya yang punya guesthouse baru pulang dari sekolah. Rupanya nama Sunshine Guesthouse itu diambil dari nama si cantik ini. Sunshine namanya, ibunya asli lokal, ayahnya bule Inggris. Sekarang dia duduk di kelas I, dan doi sekolah di sekolah negeri.


photo by @linapw


Seperti anak indo lainnya, gak usah ditanya lagi, Sunshine ini cakep banget. Saya sudah kebayang doi besarnya akan jadi semacam Cinta Laura, hihihi. Tapi yang paling bikin ngegemesin adalah tingkahnya yang ceriwis sekali. Adaaaa saja pertanyaannya yang bikin kami geleng-geleng kepala.


photo by @linapw

photo by @eva_bachtiar


Akhirnya siang itu sambil menunggu pak supir datang menjemput, kami duduk-duduk di dipan, menikmati view Bira dari kejauhan. Sambil duduk-duduk, saya juga nemenin Sunshine menggambar, melayani pertanyaan dan celetukan ajaibnya, dan manut aja waktu dia semangat banget pengen nyobain dengerin lagu dari iPod pake headphone.
Ini salah satu petikan percakapan serius saya dengan Sunshine:

So you’re going back today?
Unfortunately yes, soon this afternoon.
Why?
Why what?
Why’d you have to go back?
(mencoba mencari jawaban yang gampang dicerna) Because I have to work, so I can have money, so I can come back here again sometimes later for another holiday!
But you can stay here for holiday forever!
Hahaha, I wish Sunshine, I wish.
(dengan nada menggurui) But you said, you have to work, so you can have money, for holiday. So if you can stay here for holiday, then why’d you have to go back?
… (Urrrm, ini saya yang bego apa ini anak emang jago ngomong ya? Hahahaha)

Sementara itu, Lina masih terus berusaha menghubungi pak supir yang gak muncul-muncul batang hidungnya. Beberapa kali ditelpon, si bapak malah bilang kami dialihkan ke supir lain. Kami tunggu lagi, tunggu lagi, tunggu lagi, sampai si Lina mendidih, tapi yang jemput tetap gak muncul-muncul. Setelah nelpon beberapa kali lagi, hp si bapak malah mendadak gak aktif. Baiklah, kalau begini mau gak mau, kami harus mengambil keputusan untuuuuk berangkat sendiri.

Dan demikianlah. Saya dan Lina pun akhirnya jalan kaki dari penginapan sampai ke dermaga, soalnya di sini memang belum ada angkutan umum. Sialnya, gak ada satu pun kendaraan pribadi yang lewat yang bisa di-hitchhike, huaaa. Maka dua gadis manis itu pun sukses membuat kulitnya semakin eksotis di tengah siang bolong yang panasnya naujubile. Tapi toh kekecean kami tak berkurang meskipun keringetan nenteng-nenteng carrier dan cuma pakai celana pendek *kibas poni*.  

Sampai di dermaga, untungnya selalu saja ada orang baik hati yang ngasih jalan buat kami ketemu mobil yang ke Makassar. Supir yang ini ajaib banget, berulang kali maksa kami supaya men-carter mobilnya 800ribu supaya bisa langsung cuss ke Makassar gak pake acara brenti-brenti. Yakaleee, kami rela keluar 800ribu paaak. Buat makan aja masih mikir, haha.

Akhirnya, dengan demikian berakhirlah petualangan kami di Bira, surga pantai pasir halus. Sepertinya saya akan kembali lagi ke sini kapan-kapan untuk mencoba menjelajah Selayar dan Takabonerate. Tapiii, nabung dulu, hehehe. Yuk pak supir kita berangkat. Jugijagijugijagijuuug!!



0 comments: