Akhirnya,, akhirnya,, akhirnyaaa,,, *nyanyikan dengan nada ayu tingting* rencana trip ke Wakatobi yang sudah diidam-idamkan sejak lama kesampaian juga! Dan inilah catatan perjalanan lengkap saya, maaf bila terlalu panjang, I simply don’t wanna miss a thing! :) Semoga itinerary dan infonya bisa berguna. Happy reading!
Seperti yang sebagian besar kalian pasti sudah tahu, Wakatobi sebenarnya adalah singkatan 4 nama pulau utama di kepulauan ini, yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Masing-masing pulau punya keunikan dan keindahannya masing-masing. Wakatobi juga bagian dari Tukang Besi Archipelago, disebut demikian karena konon masyarakat asli sini dulunya kebanyakan bekerja sebagai tukang besi.
|
Wakatobi, part of Tukang Besi Archipelago |
Perjalanan hari pertama dimulai bertolak dari Makassar menuju Wangi-wangi. Wakatobi memang sudah makin berkembang belakangan ini dan wisata baharinya dipromosikan dengan gencar oleh pemerintahannya, jadi untungnya meskipun sangat terpencil, sudah ada maskapai yang mengambil rute kesana. Nama maskapainya Express Air, dengan pesawat jenis Dornier 328-100. Ini pesawat paling kecil yang pernah saya tumpangi loh. Total hanya 3 seat di setiap barisnya, dengan jumlah total 12 baris, dan pramugarinya pun hanya satu! Kejanggalan aneh di pesawat ini adalah nomor seat-nya yang di-sortir dengan sangat aneh. Coba perhatikan apa yang ganjil? :p
|
Inside Dornier Express Air |
|
Penomoran kursi yang aneeehhh -___-" |
Harga tiketnya masih sangat mahal, maklum masih satu-satunya maskapai yang kesini. Kata orang, Makassar-Wakatobi normalnya sekitar 900rb, tapi karena saya kesana bulan December, saya dapat tiket seharga 1.3 juta, dengan daerah transit di Bau-bau. Kalau merasa tiketnya terlalu mahal, ada alternatif rute kesini yaitu ke Kendari terlebih dahulu. Dari sini silakan pilih mau naik Express Air seharga 400rb atau naik kapal seharga 130rb ke Wangi-wangi. Tapi pastikan fisik yang oke kalau mau naik kapal, karena perjalanannya akan memakan waktu sekitar 10 jam, bisa lebih lama kalau ada badai atau ombak besar.
|
Bandar Udara Betoambari, Bau-bau |
|
Penampakan dari udara |
Kami sampai di bandara Matohara di Wangi-wangi sekitar pukul 12 siang, dan langsung disambut oleh teriknya matahari yang membakar kulit. Di bandara kami sudah dijemput oleh driver dari Patuno Resort, tempat kami akan menginap. Jadi, Wangi-wangi adalah pulau terbesar dan pulau utama di Wakatobi, dan Wanci yang merupakan ibu kota Wakatobi juga ada di pulau ini. Kalau diperhatikan struktur pulaunya mirip dengan Nusa Lembongan, dimana jalan utama yang mengelilingi pulau ada terletak sekitar 10m dari bibir pantai.
|
Yeah, WELLcome to Wakatobi! Hihihi... |
Nah, Patuno resort tempat saya menginap ini adalah resort yang sangat nyaman. Kamarnya berbentuk rumah-rumah kayu yang menghadap langsung ke pantai. Nampak sederhana dari luar tapi cukup mewah di dalam, dengan ruang tidur dan kamar mandi luas, dan tentunya kasur empuk, TV, serta AC. Di bagian depan tiap-tiap rumah ada pondok kayu nyaman untuk berjemur dan bersantai, dengan jejeran pohon kelapa di sepanjang jalan setapak. Suasananya sangat sepi dan tenang. Quite and very peaceful. Sepertinya pilihan bagus buat pasangan-pasangan honeymoon yang mau menikmati dunia berdua saja, hihi.
|
Rumah-rumah kayu di Patuno Resort |
|
Fasilitas kamar standard dengan rate 500rb |
|
Teras kayu yang menghadap langsung ke pantai |
Hari pertama saya habiskan untuk bersantai, istirahat, dan tidur cepat. Hari kedua rencananya akan diving, tapi karena saya sedang sedikit pilek hari itu (orang pilek agak berbahaya untuk diving), maka hari itu saya nikmati dengan hanya menikmati resort. Apalagi suasananya memang super mendukung untuk berleha-leha menikmati angin pantai. Sorenya, waktu matahari sudah agak teduh, tinggal ngesot sedikit ke laut dan nyemplung! Airnya hangat, nikmat buat berendam berlama-lama. Berasa seperti satu-satunya makhluk di samudra maha luas. Alhamdulillah yaaahh :)
|
Owyeahhh,, what could've been better? :) |
|
Kelomang unyu yang berkeliaran di pantai |
|
Yup, the ocean is alll yours! |
Agak sore sedikit kami ke anjungan atau jetty yang lokasinya pas di depan restoran. Hanya dalam diam kami menikmati angin laut yang samar-samar. Satu persatu kapal mulai berdatangan dan merapat. Menjelang senja, semburat-semburat sunset keluar perlahan, indahnya luar biasa. Yah, pulau ini memang menakjubkan secara sederhana.
|
Menikmati Senja di Anjungan |
|
Resto nyaman tepat di samping laut |
Hari ketiga, jiwa petualang sudah menggelegak di dalam jiwa (seddaaaap). Maka dengan bersemangat, kami bertemu sang divemaster dari resort untuk mem-planning-kan dive trip kami ke depan. Rencananya, kalau biayanya bersahabat, kami berniat untuk mengambil sertifikat diving open-water sekalian. Tapi sayangnya, sang dive master ternyata mau ke luar kota menghadiri pernikahan adiknya, jadi buyarlah rencana kami. Diving disini ternyata tidak semahal yang diduga, 450rb untuk non-certified diver dan 350rb untuk certified diver, untuk sekali nyemplung, plus 150rb untuk sewa equipment per harinya. Akhirnya hari itu kami sepakat untuk mengambil paket 2x diving.
|
Siap tempur, di depan lokasi dive tools Patuno |
Siang hari jam 10 kami diantarkan ke lokasi, sebuah anjungan beton yang disebut jetty Sombu (anjungan pantai Sombu). Di kiri-kanan jetty saja sudah nampak coral-coral dan ikan kecil yang menarik kita untuk snorkeling. Dari jetty ini kita lalu diantarkan dengan perahu karet menuju dive boat, karena kapal besar memang tidak bisa menambatkan jangkar di jetty. Selama saya dive, inilah dive boat yang paling keren yang pernah saya pakai, mungkin seimbang sama harganya yah, haha..
|
Transfer dari perahu karet ke dive boat |
|
Dive boat kami yang kece |
Divemaster kami bernama pak Arif, beliau adalah penduduk asli sini. In term of diving, beliau ini sangat mementingkan aspek buoyancy, yang kata beliau adalah hal kunci dalam dviving. Sekali kita menguasai skill ini, maka diving akan menjadi hal yang sangat menyenangkan. Jadi, dalam bahasa primitifnya, buoyancy adalah kemampuan untuk floating dan mengendalikan tubuh dalam menyelam. Bagi diver amatir, termasuk saya, seringkali mengandalkan udara dalam BCD, atau dengan kata lain mengendalikan kedalaman dengan mengempeskan atau mengembungkan BCD. Sementara buoyancy mengendalikan kedalaman dengan jumlah udara dalam paru-paru. Kedengarannya gampang yah, tapi prakteknya naujubilah susahnya, butuh jam terbang yang cukup tinggi.
|
Pak Arif, divemaster dari Patuno Resort |
Dive spot pertama kami di Sombu (saya tak tahu namanya), berbentuk wall. Arusnya sangat tenang, tapi visibility agak keruh sedikit. Kami banyak menemui staghorn coral, brain coral, soft coral, anemon, dan banyak tube sponge raksasa. Ikan-ikan besar tidak banyak ditemui selain beberapa bumphead, tapi penuh ikan kecil lucu yang berwarna-warni. Nudibranch-nudibranch cerah bertebaran dimana-mana. Kami juga dua kali menemui sea snake besar mungkin sepanjang 1.5meter yang meliuk-liuk genit tanpa menyadari kehadiran kami sama sekali. Ohya, ini launching pertama underwater camera saya, jadi masih coba-coba settingan. Dan hasilnya bisa dilihat, hampir biru semua, hahaha. Percayalah, aslinya jauh lebih colorful dibanding yang Anda lihat di foto-foto ini. Banyak pula obyek-obyek keren yang tak terfoto karena geraknya terlalu lincah sehingga tak terkejar. Maklum baru belajar :p
|
Suka sekali coral berbentuk bunga eksotis ini! |
|
Tube sponge raksasa |
|
The beautiful sea fan |
|
Me, exploring the sea |
Dive spot kedua di Sombu (masih tak tahu namanya) jauh lebih jernih dan visibility super clear. Masih berbentuk wall, dengan terumbu karang warna-warni yang sangat sehat. Ragam coral dan ikannya tidak jauh berbeda dengan di spot pertama. Disini kualitas fotonya sudah lumayan ada peningkatan, tapi baru beberapa menit dipakai langsung habis baterai saudara-saudara! Aaaarrggghhhh..
|
Hamparan coral sehat |
|
Karakteristik wall |
|
Another coral captured |
|
Another (more) coral captured |
Oia, saya ini termasuk orang yang suka susah menghafal nama-nama ikan dan jenis coral. Gak lucu kan, kalau waktu cerita ke teman, "Eh tadi saya menyelam ketemu ikan kuning panjang loreng-loreng loohh!". Dijamin pasti gak keren dan bikin orang bingung. Untungnya, si pak Arif ini punya katalog biota-biota laut Wakatobi, jadi setelah bertemu ikan-ikan lucu, bisa langsung cari namanya di katalog ini. Bisa sekalian buat belajar dan menambah perbendaharaan nama-nama ikan juga. Tadinya mau minta katalognya buat oleh-oleh tapi ternyata gak boleh, hehe.
|
8-pages Katalog Ikan dan Coral Wakatobi |
Malamnya setelah kelelahan pasca diving, kami makan malam di resto resort yang lokasinya di anjungan kayu. Tempatnya romantis dan menyenangkan, dengan lampu-lampu yang kerlap kerlip menerangi air laut. Tapi setelah dipikir-pikir, saya mulai bosan dengan masakan resto di sini. Maklum yang namanya resort, lokasinya terpencil dan jauh dari mana-mana, jadi sudah 3 hari ini saya hanya makan dari resto resort. Saya tiba-tiba rindu masakan gerobak, rindu jalan-jalan di keramaian pasar, pengen bercengkrama dengan penduduk asli, dan ingin merasakan jajanan tradisional khas lokal. I guess I'm not really a resort type, jadi setelah merasa cukup puas dengan suasana resort yang tenang, kami memutuskan untuk menyeberang ke pulau Tomia esok hari.
|
Santapan malam, apalagi kalau bukan seafood! |
|
Duduk dalam keremangan *seddaaaaap* |
Kapal yang menyeberang ke Tomia hanya berangkat dari pelabuhan di Wanci, jadi esok siangnya kami bertolak ke Wanci, diantar oleh driver dari resort (bagian dari servis resort). Patuno resort yang lokasinya di desa Patuno ini ternyata jaraknya agak jauh dari Wanci, sekitar 40 menit perjalanan darat. Kami lalu menginap di hotel Wisata, hotel yang cukup nyaman, fasilitas TV, AC, air hangat, dan kamar yang bersih - dengan rate 300rb per malam. Di sini kami berkenalan dengan pak Iksan. Begini kira-kira percakapan waktu kami berkenalan:
Eva: *celingak-celinguk*
Bapak-bapak pakai oblong dan celana butut: "Mau kemana mbak?"
Eva: "Mau nyari makan, pak..." *sedikit acuh tak acuh*
Si Bapak: "Makan di resto hotel ini aja mbak."
Eva: "Ohhh. Lagi pengen nyari makanan tradisional sini pak." *menolak halus*
Si Bapak: "Di resto hotel ini juga ada!" *semangat*
Eva: "Bapak ini koki di resto sini ya?" *polos*
Si Bapak: "Oh bukan. Saya yang punya hotel ini."
Eva: *nyembah minta ampun*
|
Clean and tidy room at Hotel Wisata |
|
Kapal karam tepat di belakang Hotel Wisata |
Menyenangkan rasanya bisa kembali ke hiruk pikuk kota (well, desa lebih tepatnya). Dengan merental motor mas-mas pegawai hotel seharga 50rb, kami berjalan-jalan mengelilingi kota Wanci. Kotanya relatif kecil, tapi nampak sudah berkembang. Mobil sudah lumayan banyak berseliweran di jalan, walaupun mungkin karena masih jarang, kok sepertinya para pengendara mobil ini nampak sangat angkuh dan berasa seperti penguasa jalan - ngebut dan klakson seenaknya. Rumah penduduk 80% sudah terbuat dari beton, sisanya masih rumah tradisional. Di seluruh Wakatobi, ATM hanya ada di Wanci, saya kemarin sempat menemukan ATM BRI dan BNI. Sayangnya, tak banyak toko souvenir yang ada, kami hanya menemukan sebuah toko dengan stok nyaris habis yang harganya juga mahal.
|
Rute kota Wanci. Not big heh? |
|
Wanci, kota yang relatif sudah berkembang |
|
Rumah tradisional yang masih bisa ditemukan di sudut-sudut kota |
Malamnya sesuai janji kami pada pak Iksan, kami mencoba menu makan malam di resto Wisata, resto hotel yang ternyata justru berdiri lebih awal dari hotelnya yang baru dibangun sekitar 2 bulan lalu. Lokasinya tepat di belakang hotel, dibangun di atas tepi laut, sehingga cukup berangin saat malam. Menu utamanya kebanyakan sea-food, tapi menyediakan juga makanan khas tradisional. Saya lalu mencoba kasuami, yaitu makanan pokok pengganti nasi yang terbuat dari singkong yang diparut, diperas airnya dan dikukus. Lauknya adalah ikan parende kuah kuning, yang dibumbui dengan bumbu asam kadar tinggi. Saya memang tidak terbiasa makan karbohidrat selain nasi, tapi ikannya cukup lezat dan porsinya jumbo!
|
Kasuami dan ikan parende khas Wakatobi |
Esok paginya, hari kelima, kami sudah siap berangkat menuju pelabuhan, dan bahkan sudah check-out dari hotel. Tapi kemudian hujan turun dengan sangat deras, deras yang benar-benar deras, membuat kami jadi berpikir ulang, takut bila bisa-bisa berbahaya di perjalanan. Ketika masih menimbang-nimbang, seorang supir taxi yang singgah di hotel memberitahu bahwa semua kapal ke Tomia sudah full oleh para jamaah yang baru pulang haji beserta pengantarnya. Konon kalau orang Sulawesi, 1 orang yang naik haji, pengantarnya bisa satu kampung, hihi. Jadilah hari itu kami batal menyeberang ke Tomia dan extend 1 hari lagi di Wangi-wangi.
Hari ke-enam esoknya, kami sudah siap berangkat ke Pelabuhan dengan ojek. Info dari pegawai hotel, kapal ke Tomia berangkat jam10. Kami sampai di pelabuhan pukul 10.10 tapi ternyata speedboat sudah berangkat 15 menit lalu karena sudah full, kapal kayu terakhir pun sudah berangkat beberapa detik yang lalu. Untungnya kapalnya mau balik kembali ke pelabuhan untuk mengangkut kami. Baik yaaaah...
|
Pelabuhan Wanci |
Nah, kapal kayu ini adalah kapal tradisional dengan motor yang powernya tidak sebesar motor kapal speedboat. Kalau speedboat bisa mencapai Tomia dalam 2 jam, kapal kayu butuh waktu 3.5 jam. Penumpangnya duduk lesehan di kabin penumpang, tumpang tindih kayak sarden. Penduduk asli sini yang sudah biasa menyeberang antar pulau, bahkan membawa karpet lipat dan bantal. Beberapa menit di kabin ini saya langsung pusing, jadi saya memutuskan naik ke bagian atas kapal, tempat barang-barang dan motor diletakkan. Dengan hembusan angin kencang, pusing saya hilang seketika. Pemandangannya pun cantik dan meneduhkan jiwa (halaahhh). Dari kejauhan kami bisa melihat perkampungan suku Bajo asli yang hidup di tengah laut. Mereka inilah satu-satunya penduduk lokal yang masih mempertahankan kehidupan berperahu tradisional dan hidup sepenuhnya bergantung pada laut.
|
Perkampungan suku Bajo, from a far |
|
Sesekali menjumpai sampan-sampan kecil dengan layar nanggung :p |
Yang lucu adalah setelah sekitar 2 jam perjalanan, kapal berhenti di tengah laut dan tak lama kemudian datanglah sampan-sampan yang ternyata dari pulau Kaledupa dan Hoga yang membawa 4-5 penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke Tomia. Kemudian secara agak kurang berkeperimanusiaan, penumpang tersebut ditransfer ke kapal kami,,, lewat jendela! Yup, lewat jendela saudara-saudara!! Satu-persatu mereka memanjat ke jendela, bagian kepala dibantu ditarik oleh penumpang di dalam kabin, dan bagian bokong dan kaki dibantu dorong oleh orang-orang di sampan. Saya jadi penasaran apa yang dirasakan 2 orang bule yang ada di antara penumpang transferan itu. This is Indonesia, everything can happen! Hehehe...
|
Seorang ibu yang susah payah memanjat jendela kapal |
Saking nikmatnya menikmati angin laut, saya sampai ketiduran di dek atas, selama 3 jam, hanya menggunakan celana pendek, dan bodohnya, tanpa pakai sunblock sama sekali. Efeknya baru terasa keesokan harinya, sun-burnt level akut! Kulit yang terekspos matahari langsung hitam legam teramat sangat, terasa panas perih dan terbakar, dan terkelupas sampai 2 minggu sesudahnya!
|
Bersantai dan berjemur di kabin atas |
Merapat di Tomia, kami sudah dijemput pegawai dari Tomia Dive Center yang sudah kami hubungi sebelumnya. Tomia Dive Center ini dikelola oleh dr. Yudi yang adalah seorang divemaster dan juga seorang dokter. Hebat yah? A great life balance. Jadi ceritanya dulu dokter ini ditugaskan PTT di Tomia, jatuh cinta pada underwaternya, belajar dive dari nol hingga jadi divemaster, sampai akhirnya membangun dive center sederhana dengan merekrut masyarakat lokal setempat. Tarifnya cukup murah, hitungannya kira-kira 800rb sehari sudah termasuk penginapan, makan 3x sehari, dan diving 2x. Bisa upgrade ke penginapan yang lebih nyaman kalau mau, tapi kalau soal makanan memang susah cari alternatif, karena disini warung masih relatif jarang.
|
Bangunan Tomia Dive Centre |
|
Berpose di basecamp sebelum nyempluuung! |
Sore harinya saya istirahat dan sedikit berjalan-jalan melihat-lihat pulau. Pulau Tomia ini jauh lebih sepi dan tenang dibanding di Wangi-wangi, bahkan tidak ada mobil yang melintas di jalan. Listrik biasanya padam selama siang hari dan menyala kembali sekitar maghrib. Yang menyenangkan disini adalah penduduknya yang sangaaat ramah, khususnya anak-anak kecilnya yang tak segan-segan menyapa kami dengan lucunya. Selain Tomia Dive Center, di sini juga terdapat resort milik investor asing yang kemashyurannya sudah terkenal di dunia, Wakatobi Dive Centre yang letaknya di Pulau Anemobaa, tak jauh dari pulau Tomia. Rate-nya gila-gilaan, puluhan juta dalam satu malam, dan konon selalu full-booked sampai tiga bulan ke depan. Dive resort ini punya helipad sendiri, pembangkit listrik sendiri, pengolahan air tawar sendiri, dan tamu yang menginap bebas diving kapan pun mereka mau. Bukan main!
|
Wakatobi Dive Center, photo taken from wakatobi.com |
Kalau mau menyelam di Tomia, pastikan didampingi oleh divemaster yang berpengalaman dan mengetahui seluk-beluk daerah tersebut. Karena ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan, yang paling penting adalah kalender arus. Musim kunjungan terbaik Wakatobi adalah bulan April s/d Juni dan Oktober s/d Desember setiap tahunnya. Sayangnya karena pemanasan global, perubahan cuaca jadi sering kurang menentu akhir-akhir ini. Waktu kedatangan kami di bulan December ini saja ternyata sudah memasuki musim barat. Bila dive di waktu yang tepat dan arus yang tepat, visibility perairan Wakatobi bisa mencapai 100m loh. Outstanding!
|
Dive boat Tomia Dive Center |
Hari ketujuh, hari pertama di Tomia, kami bangun dengan segar bugar dan siap menjelajah dive site terbaik di Tomia. Setelah naik kapal sekitar 20 menit kami sampai di dive spot pertama, Mari Mabuk. Ini adalah dive spot paling terkenal di Tomia, yang memperoleh namanya karena konon keindahannya membuat para penyelam mabuk dan lupa diri, hahaha. Kami menyelam berdua, didampingi divemaster dr. Yudi. Mari Mabuk ini karakteristiknya coralnya berbentuk long ridge dari kedalaman 15 sampai 80 kaki. Coral yang umum kami temui adalah staghorn coral, brain coral, sea fan, tube sponge, table coral, banyak soft coral di antara karang, dan ada pula cabbage coral berbentuk bunga raksasa. Kami juga menemukan banyak schooling fish trevallies, clown fish cerah, sepasang bumphead sebesar 2x paha saya yang nampaknya sedang pacaran, nudibranch warna-warni, bintang laut gendut, teripang, manta (pari) yang terlalu lincah untuk difoto, barracuda, dan lionfish hitam super eksotis di akhir penyelaman.
|
Mari Mabuk - Tube Sponge |
|
Mari Mabuk - Soft Coral |
|
Mari mabuk menyelam di Mari Mabuk! |
|
Mari Mabuk - Lionfish eksotissss |
Setelah istirahat setengah jam, kami melanjutkan perjalanan ke dive spot kedua, Magnifica. Karakteristiknya berbentuk pinnacle jadi kami dive mengelilingi coralnya. Warna coralnya sangat indah dan warna-warni, arus pun sedang sangat bersahabat sehingga visibilitynya sangat jernih dan menakjubkan. Katanya ini juga salah satu dive spot paling keren di Tomia yang bahkan sudah bisa dinikmati hanya dengan snorkeling. Asal katanya saja kira-kira berarti magnificent. Disini kami terdapat banyak soft coral dan berbagai jenis gorgonians aneka warna dan kami menemukan nudibranch lucu dan crocodile fish yang bersembunyi.
|
Exploring the steep slope of Magnifica |
|
Magnifica - Cute Nudibranch |
|
What a magnificent Magnifica! |
|
Magnifica - (Almost) Invisible Crocodile Fish |
Sayangnya, baru 10 menit diving di dive spot yang direkomendasikan sebagai reef-dives terbaik di planet ini, saya mengalami gangguan teknis. Di kedalaman 19m, regulator saya terlepas cukup jauh. Ketika hendak dipasang kembali, saya sudah meminum banyak air laut, dan menjadi panik, hal terlarang bagi diver. Saya sempat memberi sign darurat pada sang divemaster tapi kemudian tanpa berpikir panjang langsung naik ke permukaan. Selama beberapa detik itu, I feel like I'm really going to die. Mengerikan. Ini adalah mimpi buruk bagi semua penyelam. Naik 19m itu berarti saya mengalami perbedaan tekanan 2 atmosfir hanya dalam beberapa detik, tanpa mengambil safety stop sama sekali. Besar kemungkinan saya mengalami decompression, yang terjadi akibat tumpukan nitrogen yang menyumbat saluran darah.
Untungnya memiliki pemandu yang juga seorang dokter adalah, beliau menyediakan oksigen di kapal. Jadi saya langsung diberi oksigen selama beberapa menit, dan terpaksa harus menghentikan diving hari itu. Sang dokter bilang, deco yang paling parah bisa sampai membuat lumpuh, paru-paru meledak, atau bahkan kematian. Untungnya saya hanya sedikit pusing, meskipun badan langsung lemas dan lunglai karena merinding mendengar penjelasan si dokter. Malamnya, saya dijemput sang dokter menuju Puskesmas tempat beliau praktek. Di sini sekali lagi saya diberi terapi oksigen murni selama setengah jam.
|
Tomia Divesite Map |
Besoknya saya melewatkan diving pagi hari jam5.30. Selain karena ogah bangun pagi, sepertinya saya juga merasa butuh lebih banyak istirahat. Trauma? Yup, saya sedikit trauma. Tapi kalau hanya karena sekali nyaris-deco membuat saya harus melewatkan semua makhluk indah di bawah laut yang menanti untuk disapa, nampaknya terlalu sayang yahh. Toh, ini bisa jadi pengalaman berharga supaya lebih berhati-hati. Nah, pagi itu saya meleawatkan dive spot Ali Reef. Katanya, menyelam disini arusnya cukup kuat, jadi tubuh harus fit. Tapi sebagai gantinya, jutaan ikan-ikan akan siap menyambut Anda. Ini beberapa foto yang mereka dapat.
|
Ali Reef - Can you see that super big schooling fish? |
|
Ali Reef - Eel yang hobi melotot |
|
Ali Reef - Ohhh blue cuties! |
|
Ali Reef - Nudibranch |
Setelah makan siang, saya sudah siap untuk menyelam lagi. Kali ini kami menuju dive spot Fan 38 West. Dinamakan demikian karena ada banyak coral sea-fan yang berwarna-warni, sebagian berukuran besar. Karakteristik steep slope yang juga merupakan favorit sepanjang masa, khususnya untuk yang sudah certified untuk deep dive. Warna-warni coral dan ikannya yang sungguh beraneka ragam sangat memanjakan mata. Hampir semua jenis coral di tempat lain bisa ditemui disini, khususnya sea fan yang selalu indah jadi obyek foto. Kami juga menemukan bintang laut gendut, teripang, lion fish oranye, big-eye fish, trumpetfish, dan banyak jenis ikan yang belum tahu namanya.
|
Fan 38 West - Anemon yang subur sekali yahhh |
|
Fan 38 West - Gorgonians is everywhere! |
|
Fan 38 West - Beautiful lionfish |
|
Fan 38 West - Ikan imyuuut, siapa namamu??? |
|
Fan 38 West - They're just... GORGEOUS! |
|
Fan 38 West - Schooling big eye fish |
|
Fan 38 West - Sea fan,,, again! |
Saat istirahat, saya penasaran melihat sang nahkoda mengemudikan kapal. Iseng-iseng, saya lalu minta diajari caranya, dan ternyata menyetir kapal cukup gampang! Ada semacam tuas dua arah yang berfungsi sebagai gigi untuk maju, netral, dan mundur. Gasnya diatur dengan dari sejauh mana tuas tersebut ditarik. Sisanya hanya setir yang sama persis dengan mobil, hanya saja kalau mobil maksimum 2 putaran, di kapal ini putarannya banyak sekali! Sampai pegal memutarnya. But you know what? It feels sexy and I feel like Nami!
|
Do I look like Nami? :) |
Setelah dirasa cukup istirahat, sejam kemudian kami nyemplung lagi di dive-spot berikutnya bernama Table Coral. Karakteristiknya berbentuk sea-mount dengan berbagai jenis table coral, staghorn coral, cabbage coral, sponges, brain coral, dan gorgonian. Di sini kami bertemu satu kompi barracuda besar yang berbaris dengan gagahnya, tak bergeming saat kami memandangi mereka. Selain itu juga ada sea-snake yang menari dengan genit, trevallies besar yang melintas sesekali, lizardfish yang bertengger di atas brain coral, puffer biru yang sangat amat boxy, anemone fish berwarna menyala di antara staghorn coral, teripang, dan bintang laut.
|
Table Coral - Soft corals |
|
Table Coral - Sea snake dancing nimbly |
|
Yihaa!! I'm swimming with the barracudas! |
|
Lizardfish yang hobi nemplok |
|
Table Coral - Sesuai namanya, table coral ada dimana-mana |
|
Table Coral - Hey puffer! |
Keesokan harinya, petualangan bawah laut kami masih berlanjut. Hari kesembilan dalam perjalanan kami dimulai dari dive-spot bernama Dunia Baru. Karakteristiknya berbentuk slope dengan sandy bottom. Warna-warninya menakjubkan, seperti aquarium bawah laut raksasa yang bahkan sudah dapat dinikmati dengan snorkeling. Soft coral mendominasi dengan selingan brain coral, sponge, sea fan, dan anemone. Kami juga menemukan berbagai jenis ikan-ikan unik, seperti eagle stingray yang tidak sempat terfoto karena langsung terbang melenggang dengan anggunnya, teripang, aneka nudibranch cerah, sepasang trevallies besar yang sedang berkejaran, bintang laut biru, clown triggerfish dengan warna-warni mencolok mata, trumpetfish kuning yang langsing, dan lobster yang tengah bersembunyi di sarangnya. Kata dr. Yudi bila nightdive disini akan banyak menjumpai banyak lobster dan shrimp yang keluar dari sarangnya.
|
Definitely giant aquarium! |
|
Bright nudibranch |
|
Nice symbiosis |
|
Blue starfish |
|
Yellow Trumpetfish |
|
Soft coral as far as you can see |
|
Hey lobster, don't you wanna say hi? |
Waktu beristirahat selama sejam lalu kami habiskan dengan island hopping ke sebuah pulau kecil cantik tak jauh dari lokasi diving. Namanya pulau Waha, dengan batu karang besar dan pasir putih yang lembut. Sayang banyak kotoran yang terbawa arus ke pantai. Di pulau ini kami duduk bersantai di pantai dan berendam di airnya yang hangat, sebelum siap nyemplung lagi di dive spot kami yang terakhir.
|
Pulau Sawa |
Next stop kami bernama Gunung Waha, yang karakteristiknya berbentuk pinnacle yang terekspos arus. Tadinya kami berencana mengelilingi pinnacle dimulai dengan rute melawan arus terlebih dahulu, lalu kembali dengan drift dive (diving mengikuti arus). Tapi arusnya sungguh sungguh sangat kuat, dan inilah dive spot yang paling menguras tenaga. Beberapa kali kami berpegangan pada karang melawan arus, bahkan ada batu karang yang sampai terlepas saking kuat arusnya. Tapi sesungguhnya arus yang kuat adalah surganya ikan-ikan besar, yang sayangnya membuat kami tak bisa cukup steady untuk mengambil foto-foto terbaik.
Coral yang umum adalah soft coral, brain coral, table coral, staghorn coral, dan cabbage coral. Kami bertemu ikan bumphead besar, schooling tuna fish yang tak kalah besarnya (yes you would expect a BIG fish when you're diving on strong current), clown triggerfish yang kami temui berkali-kali, big-eye fish, lizardfish, serta crocodile fish yang cantik di akhir dive kami.
|
Gunung Waha |
|
Ini cabbage coral favorit saya! |
|
Corals in Gunung Waha |
|
Ikan totol-totol |
|
The clown triggerfish |
|
Crocodile fish yang pintar menyamar |
...
Dan demikianlah petualangan kami di Tomia ternyata harus berakhir juga. Selama beberapa hari kemarin rasanya seperti menjalani hidup dalam mimpi. Bangun, makan, diving, island hopping, makan, diving, makan, tidur. Tapi all good things comes to an end. Sebenarnya masih ada 2 pulau yang ingin kami datangi: Pulau Hoga di Kaledupa dan Pulau Binongko.
Hoga sejak dulu sudah terkenal pula akan dive-site-nya, in fact merekalah yang terlebih dahulu mengembangkan wisata diving di Wakatobi. Saya sangat tergoda untuk menjelajah dive-spot disana, yang katanya selain diving dan snorkeling, kita juga bisa Dolphin Watching dan melihat panorama sunset dan sunrise terbaik. Tapi informasi dari penduduk sini, di Hoga belum ada penginapan yang ber-AC. Di musim hujan seperti ini, tanpa AC bisa dipastikan kami akan jadi santapan empuk nyamuk-nyamuk ganas. Selain itu, belum ada fasilitas air tawar yang baik, alias masih asin. Sedangkan pulau Binongko tidak terlalu kaya dengan dive-site. Obyek wisata menarik disana hanyalah pakam pahlawan nasional Pattimura. Jaraknya pun cukup jauh, dan belum ada fasilitas untuk wisatawan. Dengan alasan tersebut, kami memutuskan untuk skip kedua pulau tersebut dan kembali ke Wangi-wangi.
|
Hoga dan Binongko yang belum sempat dijelajahi :( |
Esok paginya, hari ke sepuluh dalam perjalanan kami, setelah sarapan dan pamit pada dr.Yudi, kami menyeberang kembali ke pulau Wangi-wangi dengan speedboat. Tidak seperti kapal kayu yang kami tumpangi kemarin, speedboat jauh lebih nyaman, meskipun sepanjang jalan kami ditemani lagu-lagu dari speaker buluk yang mendendangkan lagu pilihan awak kapal, yang berarti adalah lagu alay dan lagu dangdut, hahaha.
|
Nampak sangat nyaman yaah,,, hihihi |
Sesampainya di Wangi-wangi kembali, setelah makan siang, saya segera menuju RSUD Wanci untuk menjalani terapi hyperbarik oksigen murni. Ini adalah konsekuensi accident kemarin, dimana terapi ini wajib dilakukan sebelum saya naik pesawat. Jadi, terapi hyperbarik atau disebut juga Recompression Chamber adalah terapi dimana pasien dimasukkan ke dalam tabung serupa kapsul besar, dan di dalamnya diberi tekanan udara seperti sewaktu kita menyelam. Dengan demikian buih-buih nitrogen yang menyumbat didalam aliran darah akan kembali melarut didalam darah, dan dinetralisir secara alamiah oleh tubuh melalui proses pernafasan.
|
Hyperbaric chamber yang nampak rumit :p |
Untuk menjalani terapi chamber ini kami harus janjian dulu dengan yang staff penjaganya. Soalnya ternyata RS ini letaknya di ujung kota dan sepiiiii sekali. Tidak nampak ada kehidupan sama sekali saat kami kesana. Di dalam chamber yang katanya bisa untuk 6 orang ini ternyata sempit sekali, dan karena bentuknya yang bulat, saya jadi tidak bisa duduk dengan nyaman. Sebenarnya ada chamber seperti ini di lokasi terpencil seperti Wangi-wangi saja sudah ajaib, sepertinya diadakan sebagai konsekuensi dipromosikannya Wakatobi sebagai daerah wisata diving. Nah, tidak seperti fasilitas chamber di kota, di sini belum tersedia AC di dalam chambernya. Jadilah selama hampir sejam berada di dalam saya sukses terpanggang dan keringat mengucur deras sampai begitu keluar dari chamber rupanya seperti habis mandi sauna. Kata mas penjaganya, terapi oksigen murni ini bisa juga untuk kecantikan supaya awet muda atau untuk mempercepat recovery misalnya pasca patah tulang. Biayanya untuk sekali terapi adalah 350rb.
|
Hyperbaric chamber RSUD Wanci |
|
Inside chamber |
Esoknya, hari kesebelas yang juga hari terakhir perjalanan kami, adalah waktu dimana kami harus meninggalkan Wakatobi. Kami sampai di bandara Matohara dengan menyewa taksi seharga 100rb. Karena kemarin kami langsung dijemput, saya baru menyaksikan sendiri rupa bandara kecil ini. Hanya ada 1 counter check-in dan ruang tunggu kecil yang ACnya tidak menyala. Tadinya kami bermaksud naik Express Air yang jurusannya langsung Wakatobi-Jakarta, tapi harganya gila-gilaan, 2.5jt! Untung kami diberi tahu trik alternatif murah oleh dr.Yudi, yaitu naik Express Air ke Kendari dulu, lalu dilanjutkan naik pesawat komersil Kendari-Jakarta. Express Air yang ke Kendari memang lebih murah, 400rb fix, karena disubsidi pemerintah.
|
Adios Wakatobi! |
Wangi-wangi - Kendari ditempuh dalam waktu yang cukup singkat, tidak sampai 1jam. Bandara Hauoleo di Kendari ini surprisingly cukup megah dan bagus bangunannya. Sampai disini kami segera ke counter ticket, tapi ternyata pegawainya masih banyak yang makan siang sampai jam2. Menyebalkan! Akhirnya setelah membandingkan tiap counter Lion, Batavia, dan Garuda, kami mendapatkan tiket seharga 1.2jt yang berangkat 2 jam kemudian (plus delay hampir sejam).
|
Bandara Haluoleo yang cukup keren |
Dan dengan demikian, berakhir sudah petualangan bahari kami di jantung segitiga coral dunia, Wakatobi. Sungguh, tak habis-habisnya decak kagum mengagumi keindahan alam negeri kita ini. Tak heran, seantero dunia berbondong-bondong datang dari jauh untuk menyaksikannya. Jadi kalian, mari datang, saksikan dengan mata kepala sendiri, lalu kabarkan indahnya pada dunia!!
8 comments:
damn.... seru sekali nampaknya. pake near death experience segala... pasti jadi cerita seru di kemudian hari tuh. lama jg lo ambil cuti ya, gw sih bisa diputus kerja ama kantor kalo selama itu, wkwkwkwk...
total jenderal abis berapa tuh Va?
btw, you're no where near Nami. she has humongous TITS!!! #kabooor
dan satu lagi, utk posting panjang kaya gini, mending jadi 2 post aja. template blog lo kayanya ga mencukupi tuh, hampir separo tulisan ada di luar desain blog, jadi susah kebaca :)
@kak Gadang:
Yet it was super super fun!
Hehehe, kalau ditulis, near-death experience itu emang kayaknya seru, tapi yang sebenarnya serem gilaaaaak! Akhirnya resolusi taun baru gw salah satunya adalah; gak bolong solat. You simply never know when you die, huh?
Iyaaa, ini sedikit hal yang gw suka dari tempat kerja sekarang. Looong working hours is paid by looong vacation. Jadi lebih enak kalau mau trip2 kemanaaa gitu. Tapi bukannya oil company rosternya malah lebih enak ya? 2minggu kerja 2minggu libur bukan sih?
Total di Wakatobi doang berapa ya? Sekitar 10-an kali yaah. Tp tergantung number of divingnya banget sih, kan itu yang paling menguras duit, sama tiket pesawatnya yang masih mahaaal. tapi gw biasa kalau cuti di kota habisnya malah lebih jauh.
Hiks hiks *menatap dada*
Iyaaa, kemaren mikir gitu, tapi kok ntar kesannya jadi kayak 2 post kepisah gitu yah? Btw itu maksudnya yang keluar2 widgetnya apa isi postnya?
hehehehe, mudah2an konsisten solatnya. emang begitu kalo barusan ketimpa nyerempet2 maut. pernah ngalamin jg. tapi ya manusia, anget2an resolusinya, hehehe... mudah2an kita berdua bisa konsisten...
iya, di kompeni minyak emang sama aja, tapi itu kalo lo kerja field. lah gw kan anak baik2 (kantoran maksudnya, wkwkwkwk).
ampun2 dah, masa cuti di kota bisa abis lebih parah dari itu? wkwkwk... boros bgt ya. duit segitu buat gw bisa buat beli lensa baru plus stompbox baru :D
isi postnya yg luber ke bawah. jadi keluar dari template desain di bagian bawah (coba di buka di browser deh), tulisannya saru ama background, susah dibaca, termasuk komen ini :p
@ka Gadang:
Yaaaaahhh jangan dibandingin sama buat beli gadget kamera doooong.. Orang2 kan beda-beda preferensi spending uangnya, hehehe.. Kalau gw mah malah ga bakal mau keluar duit banyak buat kamera, hehehe..
Ih masak sih? Aku coba buka dari dulu bagus2 aja tuh tampilannya. Mungkin browsernya kak Gadang yg gak mumpuni, hehehe...
Wuaaaa Va ini sriusan keren kali. Cita-vita gw ini. Mdah2an klo lo2s jd PM ny gw dapat di Banggai deh biar di antara Wakatobi dan Bunakeh. Hahahhahah
Hooo katanya pengen di Halmahera.. Ahaha kayaknya Esil obsesi pengen penempatan di deket laut yah. Aku bantu doain :)
Hahahha,
mdah2an jalan kita mulus utk menuju camp. Iy obsesi gw emg laut soalny dr kecil hutan mulu. eh krja pun sring k wilayah2 hutan. Lautaaaan fighting. *aminn
:)
Amiiiin ya Silll..
Post a Comment