Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan..
(Imam Syafii)
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan..
(Imam Syafii)
Ada
banyak pikiran dan ide-ide yang berkecamuk di kepala bila tiba waktunya bagi
saya untuk mulai memikirkan, hendak kemana kau pergi setelah pulang bertugas di
penempatan, hei Eva? Terbersit hasrat untuk meneruskan pendidikan ke luar negeri,
terpikir pula hendak kembali ke tempat kerja yang setia menawarkan posisi, juga
tak menampik keinginan untuk terus berkiprah di dunia social movement seperti saat ini.
Ya,
penempatan selama setahun lamanya memang telah mengubah semuanya. Betul-betul
semuanya. Kini aku tak lagi hidup untuk diri sendiri, melainkan untuk negeri.
Tujuan hidup bukan lagi untuk memperkaya diri, tapi untuk berbakti dan
mengabdi. Aku tak lagi pusing pada hal-hal sepele menyangkut pribadi, tapi
mencari sesuatu yang lebih hakiki.
Tapi
satu hal mengganggu pikiranku.
Selama
setahun kemarin itu pula sebenarnya aku banyak merenung. Dalam rangka mencapai
tujuan peningkatan mutu pendidikan – yang menjadi alasan saya ditempatkan
beribu mil jauhnya dari rumah, di desa sudah sewajarnya saya berusaha menyentuh
sebanyak-banyaknya lapisan masyarakat untuk diberdayakan. Itu berarti,
interaksi dengan stakeholder, tidaklah terhitung banyaknya, dan susahnya. Tak
sedikit stakeholder yang benar-benar menguji iman, membuat saya menggerutu, menjungkirbalikkan
mood seketika, hingga yang membuat
saya tak sanggup bersuara dan hanya mengelus dada.
Ya,
atas nama sebuah tujuan jangka panjang yang lebih besar, memang pada akhirnya
saya lebih banyak mengalah. Menyediakan dua kuping selebar-lebarnya, dibanding
hanya bercerita. Mendengar keluh kesah orang tak habis-habisnya, dan menelan
sendiri rasa kecewa.
Lalu
saya seketika bertanya, kalau pada dinas, pejabat, pemuka agama, pemangku adat,
dan tokoh masyarakat saya mampu mengesampingkan ego dan selalu tersenyum, lalu
bagaimana pada orangtuaku sendiri? Rasanya saya sejak dulu adalah anak yang
selalu mau didengar. Kalau pada stakeholder daerah ini saya mau mencoba
menunduk lebih dalam dan menyelami sudut pandang mereka, lalu mengapa tak
pernah hal serupa saya lakukan pada orangtua? Kalau pada orang-orang ini saya
selalu bisa tabah, maka mengapa pada orangtua sendiri saya seringkali habis
kesabaran?
Lalu
hal lain mengganggu lagi pikiranku.
Kala
itu siang menyengat tepat sehari sebelum lebaran. Aku yang tinggal bersama
bapak dan ibu piara sudah bangun sedari pagi untuk menumbuk rempah. Aku
membantu ibu piara masak besar sementara bapak piara bertugas untuk memotong
ayam dan segala tugas kelaki-lakian. Seharian kami bahu membahu dan banyak
bercerita dan tertawa-tawa. Rasanya seperti berada di tengah keluarga sendiri –
kecuali fakta bahwa akhir-akhir ini aku justru hampir tak pernah hadir di
tengah keluarga sendiri.
Kalau
di keluarga angkat, aku selalu siap sedia menyingsingkan lengan, lalu mengapa
di rumah sendiri seperti majikan? Kalau aku selalu menemani ibu angkat
bercerita, lalu mengapa aku hampir tak pernah punya waktu untuk sekedar
mendengar ocehan ibu kandungku sendiri? Kalau aku sangat peduli pada kesehatan
bapak angkatku, kenapa aku sering luput pada sakitnya bapak kandungku? Kalau
aku selalu siap menemani adik angkatku bermain, lalu kenapa aku sering merasa
terusik bila diganggu adik kandungku sendiri?
Ya,
rasanya miris.
Maka
setelah setahun yang penuh dengan pembelajaran, sekian ribu tapak langkah yang
penuh perjuangan, aku memutuskan untuk pulang. Ke rumah.
Pulang
dan mencium tangan mamak. Pulang dan mencium kening bapak.
Pulang
dan menemani mamak memasak. Pulang dan mendengarkan celoteh bapak.
Pulang
dan meresapi.
Merantaulah,
agar kamu tau bagaimana rasanya dan kemana kau harus pulang.
Merantaulah,
engkau akan mengerti alasan mengapa kau harus kembali.
Merantaulah,
akan tumbuh cinta yang tak pernah hadir sebelumnya,
pada
kampung halamanmu, pada mereka yang kau tinggalkan.
- Imam Syafii -
Moilong, 11 Januari 2014
Tiba-tiba disadarkan, berapa banyak waktu yang kupunya
untuk membahagiakan orangtua?
10 comments:
Merinding bacanya va ;')
tapi emang bener sih, seringkali kita lebih berusaha membahagiakan org lain ketimbang ortu sendiri, yang kasih sayangnya ga pake itung2an...
ayok, kembali ke rumah ;)
Iya bener, Nda.
Makanya bersyukur banget dibukakan matanya justru pas lagi jauh dari orangtua.
#marikembalikerumah :)
Aaakkkk eva balik, aku stay di btg skrg va, ikut suami..kabar2 ya kali aja aku bs mengunjungi mu ;)
Tersenyum sendiri baca tulisan ini, Va.. :) sekaligus jadi reminder buat gue.. Co-pas kutipan dari Imam Syafii -nya ya..
@Livia
Diriku sudah stay 3 hari ini di Sangatta. Aku siap menanti dirimu. Atau kalau pas lagi ada adekku yang bisa nyetirin, nanti aku jalan2 ke Bontang mengunjungi kalian yaaa *smooch
@Ismawan
Silakan kaka. Imam Syafii is one of my fave!
Subhanallah...
Eva, coba deh dikumpulkan semua tulisan kamu, terus dibukukan, aku yakin warna penulisan kamu udah layak untuk dijadikan bahan motivasi buat calon-calon power ranger berikutnya, hehe...
Seperti "Notes From Qatar", kenapa tidak seorang Eva menulis buku "Lullaby of Eve".
@anonim
Haaa, ini siapa ya?
Waah aamiin, nanti siapa ya yang mau baca bukuku? Wkwkwkwk.
Aku mau baca bukumu encik! Tim promosi juga siaapp
*Shio
@Cio
Hihi, gw aamiinin aja yak :)
Post a Comment