Dan seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi hari ketiga ini
masih diawali dengan nongkrong di gazebo sampai masuk angin, dilanjutkan saling
tunjuk-tunjukan siapa yang mandi duluan. Belum lagi kalau ada yang pakai acara
nyetor pagi-pagi. Akhirnya, meskipun sudah bangun dari subuh, tetap saja
ujung-ujungnya kami baru bisa keluar begitu sudah tengah hari.
Nah, ini juga sebenarnya alasan kami enggan menggunakan jasa travel organizer atau sejenisnya. Kami lebih senang begini, bebas mau kemana, memilih destinasi yang mana, tidak dikejar-kejar waktu. Filosofi kami, liburan itu kalau gak santai berarti bukan liburan namanya. Tul gak?
Nah, ini juga sebenarnya alasan kami enggan menggunakan jasa travel organizer atau sejenisnya. Kami lebih senang begini, bebas mau kemana, memilih destinasi yang mana, tidak dikejar-kejar waktu. Filosofi kami, liburan itu kalau gak santai berarti bukan liburan namanya. Tul gak?
Nah, sudah sejak kemarin kami ini penasaran pengen menjajal
warung kopi yang, percaya atau tidak, jumlahnya mungkin ada ribuan di seluruh
Belitung! Buat yang sudah baca buku tetralogi Laskar Pelangi pasti sudah paham.
Jadi, yang unik di Belitung ini, masyarakatnya sangat gemar berkumpul, kalau
kata anak muda jaman sekarang, hang-out dan nongkrong-nongkrong gitu deh.
Gak tua, gak muda, tiga generasi semua hobi sekali berkumpul di warung kopi. Disini mereka bisa nongkrong seharian, mengobrol, membual, dan menggosipkan apa saja. Warung kopi bagi Belitung adalah pusat informasi, media sosialisasi, dan juga sentra kehidupan masyarakat sini. Hebat yah?
Gak tua, gak muda, tiga generasi semua hobi sekali berkumpul di warung kopi. Disini mereka bisa nongkrong seharian, mengobrol, membual, dan menggosipkan apa saja. Warung kopi bagi Belitung adalah pusat informasi, media sosialisasi, dan juga sentra kehidupan masyarakat sini. Hebat yah?
Di antara ribuan warung kopi yang ada disini, ada
satu nama yang paling menonjol. Referensinya pasti sudah ada di berita kuliner
Belitung. Namanya warung kopi Ake, warung kopi legendaris yang sudah berdiri
dari tahun 1922. ITB-since-1928 aja mah lewat, masih kalah tua sama umur warkop
ini.
Menemukan warung kopi ini agak penuh perjuangan,
karena ternyata letaknya ngumpet dibelakang toko. Harus melewati gang kecil
selebar badan manusia. Hebatnya, perkakasnya masih sangat dijaga dan dipakai
sampai sekarang. Ada 3 tungku yang dipakai, yang umurnya 90 tahun. Mungkin kerak-kerak di tungku itu yang bikin enak kali ya. Huahhh,
saluuut!
Pak Ake ini adalah generasi ketiga penerus usaha ini. Disini
kopi diseduh langsung setelah dipesan, dengan tungku arang. Jujur saya bukan
penggemar kopi, jadi jangan tanya saya gimana rasanya. Tapi kopi susu saya
rasanya cukup nikmat kok. Dan muraaaah – maklum mental kere. Kebayang gak sih betapa
senangnya kalau yang biasa ngopi di Starbucks harus bayar 40ribu buat secangkir
kopi, disini hanya perlu bayar sepersepuluhnya untuk kopi hitam otentik yang
mungkin sama enaknya atau bisa jadi lebih enak rasanya?
Beres sarapan, selagi masih ngopi, ngeroko, dan ngalor ngidul, tiba-tiba istri pak Ake, yang masih tampak cantik dan gesit di umurnya yang sudah paruh baya, mendekati meja kami, menatap dua pria ini, lalu nyeletuk dengan polosnya, “Mau telur ayam kampung setengah matang dek?” dan seketika itu juga saya ngakak sampai sakit perut. Entah ada angin apa yang ngebisikan si ibu sampai beranggapan bahwa kedua pria yang bersama saya ini butuh telur setengah matang.
Sudah tahu kan, mitos telur setengah matang dengan khasiat bikin “greng” itu? Hehehe.. Ditodong begitu, dua pria ini tak bisa bereaksi lain selain mengangguk saja, entah memang gak bisa nolak atau memang mungkin “butuh”.
Bu Ake lalu dengan cekatan meracik 2 telur setengah matang dalam gelas, diberi garam dan pepper sedikit. Buat saya kayak agak gimana gitu ya, tapi kata mereka sih enak. Ohh tidak, kebayang gak sih, seharian ini saya akan berada di antara dua pria yang baru saja diberi asupan telur setengah matang, wkwkwk..
Baiklah, jatah hari ini adalah menjelajah Belitung Selatan! Yang juga berarti another 2 hours road trip, with no clue at all, as always. Tapi road trip disini gak akan pernah bikin bosan kok. Jalan yang mulus, petunjuk jalan yang lengkap, abang-abang pinggir jalan yang ramah dan selalu siap ditanya, persediaan cemilan yang cukup, pemandangan baru, dan teman seperjalanan yang mengasyikkan. None in this world compares to this perfect blend lah pokonya.
Rute menuju pantai pertama ini diluar dugaan, agak
muter-muter. Nampaknya, karena ada banyak rute menuju kesana, abang-abang yang
kami tanyai memberi jawaban yang berbeda. Waktu masih di area pemukiman sih
tidak masalah, karena selalu bisa singgah mengkonfirmasi arah. Tapi begitu
masuk ke jalan merah, sama sekali tidak ada rumah dan bangunan. Kendaraan hanya
lewat sesekali. Beberapa kali kami hanya bisa cengok ketika bertemu perempatan.
Tak ada petunjuk, tak ada tanda-tanda kehidupan. Kami tunggu 5 menit berharap
ada kendaraan penduduk yang lewat, nihil.
Di saat-saat terdesak begini, keluarlah semua insting detektif sok-tahu kami. Menganalisa rute berdasar lebar jalan, jejak-jejak ban, sampai tingkat kerimbunan pohon di kiri-kanan jalan. Daaaan 10 menit kemudian, kami kembali ke jalan yang sama, di persimpangan yang sama, hakhakhak..
Oia, di perjalanan ini kami menemukan ada batu super besar yang nyaris setinggi bukit. Jumlahnya hanya satu tapi besarnya luar biasa. Bentuknya eksotis. Letaknya di pinggir jalan tapi sedikit terhalang oleh rumput dan ilalang tinggi. Kalau saja kami bawa sepatu, pengen rasanya mencoba memanjat batu tersebut!
Di saat-saat terdesak begini, keluarlah semua insting detektif sok-tahu kami. Menganalisa rute berdasar lebar jalan, jejak-jejak ban, sampai tingkat kerimbunan pohon di kiri-kanan jalan. Daaaan 10 menit kemudian, kami kembali ke jalan yang sama, di persimpangan yang sama, hakhakhak..
Oia, di perjalanan ini kami menemukan ada batu super besar yang nyaris setinggi bukit. Jumlahnya hanya satu tapi besarnya luar biasa. Bentuknya eksotis. Letaknya di pinggir jalan tapi sedikit terhalang oleh rumput dan ilalang tinggi. Kalau saja kami bawa sepatu, pengen rasanya mencoba memanjat batu tersebut!
Kami sampai di destinasi pertama tepat menjelang tengah hari. Namanya pantai Batu Penyabong di daerah Membalong Selatan. Pertama kali lihat, kesannya just like any other beach in Belitung, sarat batu. Bedanya, batu-batu besar disini bahkan sudah berserakan sejak dari bukit tempat mobil diparkir. Tapi makin ditelusuri, barulah kami sadar. Ini bukan batu biasa. Ini batu super besar, extra massive, gigantis, you name it. Mereka terhampar dengan gagahnya menantang lautan, terserak dibelai ombak - ahseeek.
Kalau mau memotret batu-batu besar ini, bahkan harus ada obyek lain sebagai pembandingnya. Supaya terlihat skala raksasanya. Berdiri di atas batu besar tersebut benar-benar membuat diri merasa kecil, seperti seutas debu di antara batu-batu dashyat dan samudera luas. Subhanallah. You know what, alam memang guru kehidupan yang terbaik, kalau saja kita mau berkontemplasi sejenak. Dan saya mendadak bijak, haha..
Saya sebenarnya penasaran, bagaimana batu-batu ini
tercipta? Atau mungkin, bagaimana mereka bisa sampai disini? Di sebuah sisi,
batu-batu besar ini membentuk sejenis curug yang cukup dalam, dan batu-batu
tersebut juga sangat steady. Berarti besar kemungkinan, batu ini tertancap ke
dasar laut. Saya pernah baca, katanya batu ini asalnya dari muntahan Gunung
Krakatau yang terkenal itu, yang katanya bahkan sampai membelah pulau menjadi
Bangka dan Belitung. Benar atau tidak, wallahu alam.
Puas memanjakan mata, giliran memanjakan perut!
Bersantai di tepi pantai dan minum kelapa muda segar pastinya jadi penutup yang
sempurna. Ahh life is good! Dan sedari tadi hanya ada kami, jadi serasa
menguasai semua pantai Batu Penyabong ini
bertiga saja! Even better! :)
Nah, lanjut ke destinasi berikutnya, adalah pantai di daerah pelabuhan. Pelabuhannya sendiri sebenarnya bisa dijadikan obyek wisata untuk fotografi dan human object, tapi waktu kami lewat kesana, nampak ada proyek dan alat-alat besar yang lalu lalang, jadi kami langsung menuju pantainya. Namanya Teluk Gembira di daerah Membalong.
Sejujurnya, pantai ini pantai yang biasa-biasa saja. Beberapa batu besar masih tetap ada disana, tapi tidak signifikan besarnya dan jumlahnya. Yang menyenangkan dari pantai ini adalah kesunyiannya. Sunyi, tapi tak sepenuhnya sepi. Riuh anak-anak yang bermain di pelabuhan masih bisa terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Kesunyian yang mengundang kami untuk nyebur ke dalamnya!
Akhirnya, setelah banyak pantai yang didatangi, pantai
yang ini berhasil memanggil kami untuk put our shoes off and go swimming! Urmm,
sebenarnya not literally swimming, karena saya gak bisa berenang
saudara-saudara! Iya saya memang cupu, tapi gimana lagi dong. Mau belajar
berenang sama pria-pria ini, tapi mereka mah paling bahagia kalau ngeliat saya kelelep,
hiks. Minta diajarin berenang sama mereka sama aja dengan ngasih mereka alibi buat
nenggelamin saya kalau ada kesempatan.
Jadi karena tahu diri, saya hanya berendam, nongkrong
di pinggir pantai, rebahan di pasir dan menikmati dunia. Si pria satu sedang
sibuk bergalau-galau ria, duduk termenung di batu, dengan pandangan kosong
menghadap angkasa, mungkin lagi curhat sama jin laut. Saya sebenarnya kuatir
kalau dia mau bunuh diri, tapi ya sudahlah yah, sejak dulu begitulah cinta, deritanya
tiada tara.
Waktu saya sudah hampir merem dan mimpi jalan di pantai sama Leonardo Dicaprio di limbo, tiba-tiba si pria 2 bikin heboh, balik ke pantai habis berenang sambil ngacungin tangannya yang sudah berdarah-darah. Ternyata pas doi lagi berenang ke tengah, gak sengaja megang karang yang banyak tritip-nya. Wassalam.
Waktu saya sudah hampir merem dan mimpi jalan di pantai sama Leonardo Dicaprio di limbo, tiba-tiba si pria 2 bikin heboh, balik ke pantai habis berenang sambil ngacungin tangannya yang sudah berdarah-darah. Ternyata pas doi lagi berenang ke tengah, gak sengaja megang karang yang banyak tritip-nya. Wassalam.
Setelah sedikit P3K dan pria galau pamitan sama jin
laut, kami memutuskan untuk pulang ke kota. Lagipula tanpa terasa ternyata
langit sudah mulai gelap. Sampai di hotel dan membersihkan diri, kami menjajal
warung seafood Bang Pasha yang masih di area pantai Tanjung Pendam. Memang
mengenai opsi makan malam ini kami akui agak kurang kreatif. Maklum, balik dari
nyetir biasanya perut sudah keroncongan, jadi sikat warung yang dekat saja,
hehe. Kali ini, setelah makan tanpa bas-basi kami langsung pulang. Tepar.
Nah, that's a wrap for today! Tunggu kelanjutan petualangan trio kwek-kwek ini hari berikutnya di episode Day 4 yak!
1. All pictures copyright Hadi Firdausi, Maidy Putra, dan Eva Bachtiar.
2. Baca juga petualangan sebelumnya di hari pertama di Halo Belitung - Day 1, dan hari kedua di Belitung, Negeri Laskar Pelangi - Day 2.
4 comments:
pengen deh jalan-jalan ke pantainya ^_^
blognya sudah saya follow, follow balik ya mbak.. ^_^
salam kenal..
Trima kasiiiii
Asik tulisannya.
Bagus ceritanya.
Oke juga infonya.
Nice!
Pariwis[Kata]
Terima kasih sudah mampir :)
Post a Comment