Rss Feed

Dieng, Safari di Atas Awan - Halo Dieng!


Apa yang lebih indah dari rencana liburan yang berjalan manis? Rencana impulsif tanpa persiapan, yang ternyata juga berakhir manis tentunya. Ketika saya dan Bayu mengundurkan diri dari sebuah ekspedisi maritim karena alasan tertentu, kami langsung menyusun rencana bertualang yang lain: naik gunung Prau.
Seperti biasa, kami berdua adalah tipe pejalan yang tak suka terlalu merencanakan segalanya dengan detail. Selain rute perjalanan ke lokasi dan browsing harga tiket, kami lebih senang semuanya berjalan begitu saja, tanpa itinerary, tanpa banyak basa-basi.
Sore hari pukul 5 kami bertolak dari terminal Lebak Bulus menuju Wonosobo dengan bus malam PO Malino Putra yang sudah kami pesan sebelumnya. Ternyata sesampainya di terminal, ada banyak PO serupa. Tapi yah namanya terminal, you better watch out sajalah.

Setelah melihat penampakan bisnya, hati kami pun langsung berbunga-bunga riang gembira dibuatnya. Kursinya sih biasa, tapi hey, ruangan apa itu di belakang? Ada toilet, air panas, kopi, dan yang membuat jiwa serasa melayang-layang di udara adalah karena ada smoking room-nya! Ini bis malam paling keren sepanjang masa!

Waktunya singgah makan malam, kami dapat jatah makan gratis prasmanan. Menunya nasi, sayur sop, tahu batu bata, dan telor pucat pasi. Tapi enak loh rupanya. Ternyata memang tak bolehlah kamu menghakimi sebuah makanan dari penampakan luarnya saja.
Dan akhirnya, setelah 14 jam perjalanan yang banyak terhambat perbaikan jalur Pantura dalam rangka perbaikan jalan tahunan menyambut Lebaran, sampai jugalah kami di Wonosobo! Selamat subuh, kota asri nan menawan hati!

Dari kota Wonosobo, kami harus melanjutkan perjalanan via mikrobus menuju Dieng dengan ongkos 15ribu. Di sini memang belum ada angkot atau kendaraan umum lainnya. Beruntung kami bertemu dengan abang kenek yang sangat informatif membagi cerita bagaikan Diengpedia berjalan.

Sepanjang jalan menuju Dieng, kita bakal dimanjakan oleh pemandangan aduhai dari jejeran gunung-gunung Sindoro, Sikunir, Prau, dan lain-lain. Duh, rasanya bagai langsung ingin memanjati gunung-gunung itu, haha.

Selepas setengah jam perjalanan yang memuaskan mata, sampailah kami di Dieng. Ini landmark Dieng yang jadi spot wajib berfoto anak-anak kekinian, yang lokasinya tepat di depan salah satu basecamp pendakian Prau. Kita sudah sampai!

Tepat di depan landmark, kami menginap di homestay yang berjudul Losmen Bu Djono. Ya memang sih namanya terdengar agak bagaimana begitu, tapi konon ini homestay strategis yang sudah terkenal lewat review-review di Lonely Planet.

Losmennya cukup nyaman. Kamar VIP dibandrol 150 ribu dengan fasilitas kamar luas, TV, kamar mandi dalam, air panas yang sifatnya wajib di daerah sedingin ini, dan wi-fi yang setiap hari diganti passwordnya demi kemaslahatan umat. Di bagian depan langsung ada warungnya juga. Perfect spot!
Mengikuti suara hati sang perut, kami pun langsung jalan kaki mencari sarapan. Kali ini kami mencoba kuliner khas Dieng, mie ongklok yang rupanya cara makannya harus disandingkan dengan sate. Enak enak enak!

Selesai sarapan, kami berniat istirahat sebentar untuk mengisi ulang energi di tubuh yang sudah tak muda lagi ini. Tapi begitulah, there is no such thing as quick nap, kami sukses tertidur hingga bangun saat nyaris senja. Maka mari ngesot ke warung dan menikmati suasana dengan kentang goreng khas Dieng, kopi panas, susu coklat yang mengebul, dan rokok sore. 

Dan ternyata hawa dingin memang terbukti secara ilmiah membuat nafsu makan menggelegak secara kurang ajar. Menjelang malam, kami sudah kelaparan lagi. Maka langkah kaki ini pun menuntun kami ke tempat yang semestinya, warung nasgor pinggir jalan yang ditunggui duo abang-abang, yang malam itu mendadak nampak ganteng sekali. Nasi goreng super pedas di malam nan dingin memang tak pernah salah. Suhu malam itu 14 derajat dan duduk di sebelah kompor tak pernah terasa senikmat itu sebelumnya.



NB:  *photos by Eva Bachtiar dan Sebastian Bayu
  • Cerita rute menuju Dieng, penginapan murah meriah, dan dinginnya Dieng yang merasuk jiwa, ada di sini.
  • Cerita tentang jalan kaki ke Candi Arjuna, Candi Bima, serta trekking di Kawah Sikidang, boleh ditengok di sini.
  • Cerita perjalanan ke kompleks Telaga Warna, Telaga Pengilon, situs-situs unik, Batu Ratapan Angin yang bikin speechless, serta kisah anak rambut gimbal ada di sini.
  • Cerita lengkap tentang Gunung Prau mulai dari rute, trek, lika-liku pendakian, sampai kisah camping di suhu -1 derajat, bisa dibaca di sini.
  • Cerita tentang sosok inspiratif yang 4 tahun napak tilas Bung Karno keliling Indonesia, jalan-jalan ke Petak Sembilan yang ciamik, Tuk Bimalukar, dan akhirnya harus pulang, ada di sini

Mesmerizing Bira


photo by @linapw

Pagi ini kami bangun di Makassar dengan hati ceria, tapi rupanya tak demikian dengan cuaca di luar sana. Hujan deras turun seharian non stop, dan udaranya yang semriwing semakin sukses membuat saya dan Lina betah ngendon di kamar dan nonton gosip *ehem, maklum orang udik, di desa gak pernah ketemu tipi*.


Belom lagi, pagi-pagi kami sudah disuguhin perbaikan gizi alias sarapan masakan mama Kia, tuan rumah paling baik seantero Sulawesi, yang asoy geboy, meskipun saya yakin setelah itu mama Kia akan mendapat hidayah bahwa sesungguhnya memberi kami makan sama saja dengan bikin bangkrut usaha kateringnya *sambil nyomot perkedel*.

Akhirnya beranjak sore, begitu pantat rasanya makin berat digerakin dari kasur, kami akhirnya mengambil keputusan krusial bahwa pada akhirnya semua yang indah-indah itu harus diakhiri jua. Maka siang itu kami memberi salam perpisahan pada mama Kia dan perkedelnya yang nikmat, dan TV, dan kasur, dan rumahnya yang seperti memanggil-manggil kami untuk pulang *halahh*.

Jam 2 siang, dengan gagahnya kami menembus hujan gerimis, berangkat ke terminal dengan bentor, dan lekas-lekas mencari oto yang akan membawa kami ke Tanjung Bira. Berbekal pesona gadis-gadis setengah basah kehujanan *ngomong apa sih ini*, maka si pak supir lalu bersedia membandrol biaya 55ribu diantar sampai ke tujuan. Kami juga janjian sama si bapak untuk menjemput kami lagi esok siang, karena Lina harus kembali sebelum malam.

Bersama kami di oto adalah seorang cewek manis asal Bulukumba yang kuliah dan kerja di Bogor yang hendak kembali ke kampungnya untuk membuka kantor cabang di sana, seorang pria tambun bertato sok kece yang punya selera lagu norak, serta seorang anak gadis umur tanggung yang kabur janjian dengan pacarnya di Bulukumba. Nah, bepergian itu menyenangkan karena bisa bertemu dengan rupa-rupa anak manusia di penjuru dunia!

Perjalanan ke Bira adalah roadtrip menyusuri pesisir bagian selatan Sulawesi Selatan. Kami melewati beberapa spot: di Galesong dimana saya sudah semaput, jadi tak ingat apa-apa; di Takalar tempat kami membeli jagung rebus enak yang dijajakan sepanjang jalan poros; di Jeneponto tempat saya menyaksikan kuda-kuda berkeliaran bebas di padang rumput; di Bantaeng tempat kemana kepala menengok hanya ada sawah sawah dan sawah, hijau berundak permai; dan akhirnya sampailah kami di Bulukumba.

Bulukumba adalah kota besar terakhir yang kami singgahi sebelum ke Bira. Di sini penumpang-penumpang lain turun hingga tinggal kami berdua dan pak supir yang meneruskan perjalanan. Jalanan sudah berganti wujud jadi jalan setapak sempit, terjal, dan berbatu. Kami lalu diantar langsung ke penginapan yang sudah kami book berdasarkan rekomendasi Lonely Planet: Sunshine Guesthouse.

Sampai di penginapan, waktu sudah menjelang sore. Kamar kami ada di lantai 2, tarifnya murah meriah sekali sodara-sodara, 200rebu semalam kalau menginap 1 hari, 180rebu semalam kalau lebih dari sehari. Kamar mandinya di luar, but it’s not really a big problem karena pas kita datang memang bukan musim liburan atau weekend, jadi penginapan kosong melompong. Cuma ada satu turis Jerman bersama kami yang datang liburan sama anaknya. 

Tanpa basa-basi lagi, saya dan Lina langsung cabut, gak pake acara touch-up langsung ngabur ke pantai. Cuma tinggal jalan kaki sebentar daaaan sampailah kami. Rupanya, Bira itu sudah well-developed, dilihat sepintas pun sudah macam Bali lah kios-kios di pinggir jalannya. Sudah banyak penginapan, ada dive centre, dan mereka sudah terbiasa melayani turis asing.

Pantai Bira itu… saya speechless sodara-sodara! Pasirnya halus kali puuuuun. Kalau ke sini, langsung buka alas kakimu dan rasakan sendiri nikmatnya bertelanjang kaki menyusuri pantainya yang landai dan luas. Memang momen-momen begini, bikin saya nyesal kenapa kesini bawa Lina dan bukannya bawa pacar *lalu digorok Lina*.


photo by @eva_bachtiar


Yang bikin asyiknya dobel adalah, karena kami kesana bukan pas hari ramai pengunjung, jadi seantero Bira itu isinya cuma kami berdua dan sepasang bule di sana yang lagi asyik duduk-duduk. Waaah, mumpung gak ada yang lihat, saya bisa puas-puasin joget-joget kayak orang gila.


photo by @linapw

photo by @linapw


Menjelang terbenam, langit mulai temaram dan sinarnya teduh memayungi langit Bira. Sunsetnya pun juara. Langit merah keunguan nampak ciamik dipasangkan dengan pasir cantik dan kapal yang tengah bersandar. Ahhhh, pacaaar mana pacaaaarrr.


photo by @eva_bachtiar

photo by @eva_bachtiar


Sesorean itu, saya dan Lina puas-puasin jalan-jalan di pantai, foto-foto, sampai waktu malam perlahan turun, naga berkepala sembilan di perut semangat menggedor-gedor minta dikasih makan. Di sepanjang Bira sebenarnya ada banyak kios, tapi cuma satu dua yang buka, itupun cuma jual makanan ringan dan mie instan. Saat itulah kami lalu menengok ke arah kejauhan *pake slow motion dan soundtrack lagu malaysia, dan melihat secercah cahaya surga di atas tebing.

Lincuy, apakah itu surga?
Iya cuy, surga yang masuknya harus bayar. Hahaha.

Jadi, di bagian ujung Bira, ada resto keren yang letaknya pas di tebing, bentuknya seperti kapal pinisi raksasa yang dipasangi lighting-lighting romantis, dan sayup-sayup suara live music terdengar meriah dari kejauhan. Saya sama Lina cuma bisa memandang resto ini dari kejauhan sambil ngelirik dompet.

Nasib backpacker kere memang tragis. Inilah masa-masa ketika perut dan dompet tak lagi seiya sekata, sehingga memutuskan untuk jalan masing-masing. Kami berdua akhirnya ngejogrok gitu aja di tengah luasnya Tanjung Bira, ngitung duit recehan di tas, dan mengira-ngira, kalau kami nekat makan di resto aduhai, kira-kira kami harus menggadaikan baju celana gak ya buat pulang?

Dan setelah perhitungan integral lipat dua dan regresi linear yang sangat matang *halah, akhirnya kami berdua lalu memantapkan tekad, menegakkan kepala, dan berjalan ke arah resto sambil membusungkan dada. Baru beberapa langkah masuk ke dalam resto, mbak waiternya langsung menghampiri. Apakah mbak ini menyaksikan kami hitung-hitungan dari jauh hingga takut kami gak mampu bayar? Dengan muka menyesal yang dalam, mbaknya lalu bilang, “Maaf ya mbak, untuk hari ini semua restonya sudah di-reserve orang yang ulang tahun.”

Ealaaah, tahu gituuuu kami gak usah pake acara semedi lama-lama tadi. Akhirnya dengan langkah diseret masih sambil misah misuh, saya dan Lina kembali lagi ke warung mie instan. Beli mie 2 bungkus, makan kayak orang kelaparan, trus duduk-duduk romantis sambil ngebir dan makan kacang, menikmati angin laut dan sunyinya malam.


photo by @eva_bachtiar


Dan demikianlah malam kami di Bira. Si ibu penjaga warung bahkan sudah ketiduran pas kami mau bayar makanan dan pulang. Sampai guesthouse, kami langsung mandi dan semaput dengan suksesnya.

___

Esok paginya kami bangun pagi-pagi sekali, sikat gigi gak pake mandi, langsung ngabur lagi ke tempat rental sepeda motor di dekat pantai. Tarifnya 60rebu perhari. Kami sudah mencoba mengeluarkan teknik persuasi kami yang dibalut senyum memikat, tapi si abang tetep keukeuh gak mau ngurangin harga, meskipun kami cuma akan pakai motornya setengah hari.


photo by @eva_bachtiar


Destinasi pertama kami pagi ini adalah melihat lokasi pembuatan kapal pinisi. Dengar-dengar dari orang sana, kami harus ke desa Tanah Beru yang jaraknya hampir 45 menit naik motor. Di sana kami sempat beberapa kali nanya sama orang-orang desa tapi gak ada yang tahu, dan akhirnya secara kebetulan nanya sama tukang ojek yang langsung bersedia mengantarkan kami ke rumah saudaranya, yang katanya bikin kapal pinisi.

Kami lalu mengikuti bapak ini dengan semangat, meskipun kami sempat terheran-heran juga sih, kok pembuat kapal pinisi bikinnya di tengah pemukiman gini? Sampai di rumah saudara si bapak, kami lalu ditunjukkanlah hasil karya spektakuler beliau, yang berupa kapal-kapal pinisi … pajangan -___-“

Toweweweweweeeng. Rasanya kok antara dongkol, tapi kocak juga, hihi. Jadi yaah, diambil hikmahnya saja, bahwa lain kali kalau nanya penduduk itu harus yang suangat jelas tanpa ambiguitas sama sekali, hihi. Makasih ya bapak, maaf kalau mengira kami calon pembeli potensial, sebenarnya kami hanyalah pelancong nyasar.

Akhirnya kami kembali lagi ke Bira, tepatnya ke lokasi di dekat dermaga. Dari atas jalan raya sudah terlihat pucuk-pucuk tiang kapal yang sedang dibangun. Dan betul saja, begitu kami datang, saya dan Lina langsung terpukau menyaksikan empat kapal pinisi yang legendaris itu, langsung di tanah asalnya.


photo by @linapw

photo by @linapw

photo by @linapw


Di sana nampak beberapa tukang kayu sedang sibuk bekerja. Yup, kapal raksasa yang sudah termahsyur kehandalannya menaklukkan samudra dunia itu dibuat secara manual oleh tangan-tangan ulet tukang kayu kebanggaan Indonesia. Katanya, pembuatan satu buah kapal ini bisa menelan biaya milyaran dan waktu hingga setengah tahun! Salut!


photo by @eva_bachtiar

photo by @linapw


Puas melihat-lihat kapal pinisi yang gagah, kami lalu kembali lagi ke Tanjung Bira untuk sarapan yang tertunda. Yah, bagi yang gatal pengen komentar melihat muka saya yang di bawah, itu memang ekspresi saya yang merasa hidup hampa, kelam, dan suram, kalau belum makan. Hehehe.


photo by @linapw


Akhirnya, setelah nasi sebakul sudah mendarat di perut, hati rasanya gembira lagi, hidup pun ceria dan berbunga-bunga kembali. Sekarang kami hendak meneruskan perjalanan ke Bara. Namanya Bara saja yah, gak usah ditambah-tambahin jadi Barabaraberebere *goyang koplo*.


photo by @linapw


Bara ini lokasinya tidak begitu jauh dari Bira, sekitar setengah jam naik motor menyusuri garis pantai, tapi lewat hutan dan melewati centralized prostitution. Yup, dimana ada lokasi wisata maju, disitu pasti ada pub-pub plus-plus seperti ini. Konon, Bara ini jauh lebih bagus dari Bira, dan karena belum terkenal, di sana masih sepi. Penasaran kan? Perasaan Bira aja sudah cihuy beuttt *alay kumat*, gimana dengan pantai yang lebih cihuy?


photo by @eva_bachtiar


Alkisah singkat cerita, sampailah kami di Bara. Dan masih di ujung jalan aja, kami sudah kegirangan. Pas sampai di bibir pantai, kami cuma bisa menganga. This place is such a little heaven on earth. Pantainya luaaaas, putiiiiih, bersiiiiih, haluuuuus, dan kosoooong! Kami berdua rasanya sudah semacam penguasa dunia di sana.


photo by @linapw

photo by @linapw


Siang itu ombak sedang tenang-tenangnya, nyaris tak ada pergerakan berarti. Pasirnya 11-12 sama di Bira, masih super halus dan tetap bikin pengen orang guling-guling di atasnya. Pantainya pun bersih tanpa sehelai pun sampah. Tebing-tebing rendah di pinggirnya seperti memagari dengan kokoh dan menambah keindahannya. Gradasi warna lautnya mempesona: dari bening, hijau tosca, lalu ke biru pekat.


photo by @eva_bachtiar

photo by @linapw


Ah, senangnya menemukan keindahan bumi pertiwi seperti ini. Semoga saja kelak seiring dengan semakin terkenal dan berkembangnya lokasi ini, keindahannya bisa terus dilestarikan. Sepenglihatan kami baru ada satu resort di sana. Semoga resort-resort yang nantinya dibangun di sana juga bisa menjaga keasriannya yaaa.


photo by @linapw

photo by @linapw


Dari Bara, kami lalu kembali lagi ke Bira. Yah, memang mantan aja yang bisa bolak-balik? *eaaaakk*. Kemarin kan ke Bira cuma pas sore, jadi kepengen juga menikmati Bira yang masih full terguyur matahari. Rupanya banyak sudut-sudut Bira, khususnya di atas tebingnya yang kece banget buat difoto kalau pas terang begini.


photo by @eva_bachtiar

photo by @linapw


Oia, di Bira ini kami banyak menjumpai resort-resort semacam rumah-rumah kayu yang di-abandon begitu saja. Sayang bangeeet, karena rumahnya cantik-cantik, dan view-nya astaga-juara-sekali karena menghadap langsung ke laut Bira. Ini mah ocean-view-se-ocean-view-ocean-view-nya. Nahloo.


photo by @linapw


Anyway, karena Lina harus mengejar pesawat sorenya, kami jadi harus sudah kembali siang ini. Waktu balik ke guesthouse, kebetulan anaknya yang punya guesthouse baru pulang dari sekolah. Rupanya nama Sunshine Guesthouse itu diambil dari nama si cantik ini. Sunshine namanya, ibunya asli lokal, ayahnya bule Inggris. Sekarang dia duduk di kelas I, dan doi sekolah di sekolah negeri.


photo by @linapw


Seperti anak indo lainnya, gak usah ditanya lagi, Sunshine ini cakep banget. Saya sudah kebayang doi besarnya akan jadi semacam Cinta Laura, hihihi. Tapi yang paling bikin ngegemesin adalah tingkahnya yang ceriwis sekali. Adaaaa saja pertanyaannya yang bikin kami geleng-geleng kepala.


photo by @linapw

photo by @eva_bachtiar


Akhirnya siang itu sambil menunggu pak supir datang menjemput, kami duduk-duduk di dipan, menikmati view Bira dari kejauhan. Sambil duduk-duduk, saya juga nemenin Sunshine menggambar, melayani pertanyaan dan celetukan ajaibnya, dan manut aja waktu dia semangat banget pengen nyobain dengerin lagu dari iPod pake headphone.
Ini salah satu petikan percakapan serius saya dengan Sunshine:

So you’re going back today?
Unfortunately yes, soon this afternoon.
Why?
Why what?
Why’d you have to go back?
(mencoba mencari jawaban yang gampang dicerna) Because I have to work, so I can have money, so I can come back here again sometimes later for another holiday!
But you can stay here for holiday forever!
Hahaha, I wish Sunshine, I wish.
(dengan nada menggurui) But you said, you have to work, so you can have money, for holiday. So if you can stay here for holiday, then why’d you have to go back?
… (Urrrm, ini saya yang bego apa ini anak emang jago ngomong ya? Hahahaha)

Sementara itu, Lina masih terus berusaha menghubungi pak supir yang gak muncul-muncul batang hidungnya. Beberapa kali ditelpon, si bapak malah bilang kami dialihkan ke supir lain. Kami tunggu lagi, tunggu lagi, tunggu lagi, sampai si Lina mendidih, tapi yang jemput tetap gak muncul-muncul. Setelah nelpon beberapa kali lagi, hp si bapak malah mendadak gak aktif. Baiklah, kalau begini mau gak mau, kami harus mengambil keputusan untuuuuk berangkat sendiri.

Dan demikianlah. Saya dan Lina pun akhirnya jalan kaki dari penginapan sampai ke dermaga, soalnya di sini memang belum ada angkutan umum. Sialnya, gak ada satu pun kendaraan pribadi yang lewat yang bisa di-hitchhike, huaaa. Maka dua gadis manis itu pun sukses membuat kulitnya semakin eksotis di tengah siang bolong yang panasnya naujubile. Tapi toh kekecean kami tak berkurang meskipun keringetan nenteng-nenteng carrier dan cuma pakai celana pendek *kibas poni*.  

Sampai di dermaga, untungnya selalu saja ada orang baik hati yang ngasih jalan buat kami ketemu mobil yang ke Makassar. Supir yang ini ajaib banget, berulang kali maksa kami supaya men-carter mobilnya 800ribu supaya bisa langsung cuss ke Makassar gak pake acara brenti-brenti. Yakaleee, kami rela keluar 800ribu paaak. Buat makan aja masih mikir, haha.

Akhirnya, dengan demikian berakhirlah petualangan kami di Bira, surga pantai pasir halus. Sepertinya saya akan kembali lagi ke sini kapan-kapan untuk mencoba menjelajah Selayar dan Takabonerate. Tapiii, nabung dulu, hehehe. Yuk pak supir kita berangkat. Jugijagijugijagijuuug!!



Maros: Antara Bukit Karst dan Kupu-kupu



Makassar terus diguyur hujan selama beberapa hari belakangan. Rupanya kami memang datang berlibur di tengah musim penghujan. Sedari pagi menunggu titik-titik air berkurang, akhirnya menjelang siang matahari menggeliat keluar dari peraduan.

Agenda kami hari ini adalah jalan-jalan di dalam kota sahaja. Saya dan Lina kompak berdua memakai kaos hitam putih garis-garis motif zebra. Dengan sepeda motor pinjaman milik yang empunya rumah, kami pun memulai jelajah, perlahan meninggalkan hiruk pikuk Makassar kota, menuju daerah Bantimurung di Bulusaraung. 

Perjalanan ke sana ternyata memakan waktu cukup lama. Kami berdua bahkan tak tahu sama sekali arah jalannya. Tapi apa gunanya dua cewek manis bila tak tahu menggaet orang untuk bertanya. Hahaha. Setelah beberapa kali tersasar karena salah petunjuk arah, akhirnya kami sampai juga, di depan sebuah gapura berhias patung kupu-kupu dan monyet raksasa. Kami sudah tiba!

photo by @eva_bachtiar
Dari gerbang rupanya kami masih harus masuk beberapa ratus meter lagi. Kami menemukan sebuah sekolah di dalam kompleks ini, tapi sesudahnya jalanan menjadi lengang dan sepi. Akhirnya kami temukan sebuah loket masuk, dan di sanalah kami menepi. Tapi aneh, loket ini tak ada yang menjagai. Kami berdua celingak celinguk mencari, tapi tak satu pun batang hidung muncul depan kami.

photo by @eva_bachtiar
Di belakang loket itu kami melihat anak tangga menanjak. Ah kami nekat saja beranjak. Anak tangga itu mengantar kami dari antara rimbunan semak-semak sampai di tengah hutan yang mulai basah dan pekat. Hampir sepanjang jalan kami terpukau pada banyaknya kaki seribu besar-besar menggeliat. Sementara tak henti-henti kami pasang mata mencari kupu-kupu sambil mendongak.

photo by @linapw
Konon, Bantimurung adalah kerajaannya kupu-kupu yang beraneka rupa. Setidaknya begitulah yang kami dengar dari berita. Tapi yang kami jumpai disini nihil nyaris tak ada. Hanya ada beberapa kepak sayap lewat sekali dua. Apakah mereka bersembunyi ataukah mereka tlah punah?

Setelah cukup lama kaki mendaki, kami lalu bertemu tebing-tebing tinggi yang berjejer kanan kiri. Keringat mulai deras membasahi dan akhirnya di sebuah gua kami berhenti. Gua Baharuddin namanya, seperti tertera di plang kecil di sisi. Entah siapa pula pria ini, mungkin orang penting di tanah Sulawesi.

photo by @linapw
Saya dan Lina tak perlu dikomando untuk segera masuk ke dalam. Memang kami dua wanita dengan rasa penasaran yang terlampau tinggi kadang. Guanya menurut saya mengesankan. Gua kapur dengan langit-langit tinggi dan embun air yang bertetesan. Sayangnya semakin ke dalam gua semakin gelap hingga tak lagi memungkinkan dilanjutkan. Belum lagi kami berdua hanya menggunakan sandal jepit, nyaris tak ada persiapan. Padahal lantai gua semakin licin, semakin tak aman.

photo by @linapw
Kami lalu kembali turun ke bawah dan dicegat seorang pria. Rupanya beliau adalah pak penjaga yang kecolongan dua gadis masuk wilayahnya seenaknya. Tapi tenang saja, ia tak marah. Ia justru membawa kami ke tempat penangkaran kupu-kupu serupa tenda beratap jaring kawat sederhana. Di sana kami lalu ditunjukkan pada beberapa jenis kupu-kupu yang terbang rendah. Katanya, di musim hujan begini, memang kupu-kupu yang muncul tak banyak jumlahnya. Hahaha, pantas saja. Rupanya salah musim kami berkunjung ke sana!

photo by @eva_bachtiar
Dari tempat penangkaran kami dibawa melihat ke laboratorium. Jangan keburu kagum, disana kami bukan hendak praktikum. Kami ditunjukkan oleh seorang petugas pada beraneka ragam spesies kupu-kupu, serta ditunjukkan proses perkembangbiakannya dari telur, ulat, hingga jadi kepompong yang lucu. Jika beruntung, kalian bisa menyaksikan transformasi langsung dari kupu-kupu yang keluar dari kepompongnya malu-malu. Dari sana kami juga baru tahu, bahwa rupanya TN Bantimurung ternyata cukup luas dan punya banyak destinasi seru. Ada air terjun, caving, pemandian, camping, sampai hiking.

photo by @linapw

Dari tempat hunting kupu-kupu (yang tak berkupu-kupu), kami lanjut masuk ke komplek Kawasan Wisata Alam Bantimurung yang jaraknya tak jauh. Pertama kali masuk ke sana, kami sudah disuguhi pemandangan memilukan, ribuan kupu-kupu awetan dijajakan sepanjang jalan. Tak heran kalau jumlah mereka berkurang signifikan!


photo by @eva_bachtiar
photo by @eva_bachtiar
Jalan sedikit lagi, kami bertemu Kolam Jamala. Alkisah dari kolam ini, air mengalir sepanjang masa, keluar dari dalam gua yang merupakan sungai bawah tanah. Kolam ini juga merupakan tempat mandi bidadari katanya, bisa menyembuhkan penyakit manusia, dan membuat enteng jodoh bagi yang mandi di sana. Mungkin saya harus coba, supaya peruntungan jodoh berubah! Hahaha.

photo by @linapw
Beberapa ratus meter dari Kolam Jamala kita sudah bisa melihat aliran dari air terjun Bantimurung. Menarik melihat air ini dialirkan sedemikian rupa dan dibuatkan semacam wahana air sederhana dengan seluncuran pendek di mana-mana. Beberapa anak nampak ramai main air dengan ceria.

photo by @eva_bachtiar
Kami teruskan mendaki, maka sampailah kami di bagian hulu. Entah karena hujan melulu, air terjun mengalir sangat deras dan agak keruh. Sementara itu, nampak ban-ban karet disewakan untuk pengunjung yang hendak meluncur dari hulu, dihanyutkan aliran air melewati lintasan yang cukup jauh. Sepertinya seru!

photo by @eva_bachtiar
Air terjun Bantimurung nampak eksotis karena diapit batu-batu dan rindang dedaunan. Di sisi sebelah kiri terdapat walkway bersemen untuk pejalan, lengkap dengan tempat duduk santainya yang nyaman, juga anak tangga mendaki menuju bagian puncak air terjun di kejauhan. Di sisi sebelah kanan didominasi oleh batu-batu tempat keluarga dan teman-teman berpiknik menggelar karpet dan makanan. Secara keseluruhan, tempat berlibur keluarga yang menyenangkan.

photo by @eva-bachtiar
Oia, di dalam kompleks ini juga terdapat Museum Kupu-kupu yang menyimpan 133 spesies kupu-kupu awetan. Tapi berhubung kami sudah singgah di laboratorium yang koleksinya tak kalah lumayan, dan untuk masuk ternyata ada karcis tambahan, niat masuk museum akhirnya kami urungkan. Hidup mental perhitungan! :D  

Puas bersantai di Bantimurung, perjalanan kami lanjutkan. Kali ini mengarah ke destinasi Rammang-rammang. Syahdan, daerah ini tak kalah cantiknya dari Halong Bay yang termashyur di Thailand. Untuk pergi ke daerah ini, daerah Maros harus kami lewati. Maros, buat saya adalah salah satu desa favorit. Saya sangat menikmati perjalanan naik sepeda motor berdua sahabat karib, membelah desa Maros di jalanannya yang sempit, dengan hamparan sawah serba hijau di kanan kiri mengapit, satu dua rumah sederhana dan binar mata ramah penduduk dari balik bilik, lalu seolah-olah semua keindahan itu dipagari kokoh oleh bukit-bukit, karst hitam yang gagah menjulang menantang langit. Ahh, indahnya menggigit!

photo by @eva_bachtiar
Surprisingly, tak banyak penduduk lokal yang tahu tentang Rammang-Rammang ini. Aneh sekali! Kami harus menjelaskan dengan rinci, bahwa itu-loh-Rammang-rammang-yang-kita-bisa-naik-perahu-melewati-batu-batu-karst-tinggi. Nihil, mereka masih kebingungan setengah mati. Tapi finally, dari sekian banyak orang yang kami tanyai, ada juga yang akhirnya bisa menunjukkan jalan kepada kami.

Dermaga Rammang-rammang ternyata berada di tepi jalan raya. Kami menitipkan motor pada sebuah warung kaki lima di seberang jalan dengan ongkos 5 ribu saja. Dari jalan raya, dermaga Rammang-rammang letaknya agak menjorok ke bawah, dan dari atas sini pemandangannya luar biasa indah. Seperti potongan-potongan surga yang disebar Tuhan di muka bumi-Nya.

photo by @linapw
Di dermaga, sudah menunggu pak Siama, dengan seorang anak laki-laki yang menemaninya dan kapal-kecil-satu-motor-nya. Sebelumnya kami sudah membuat janji untuk menyewa kapal beliau siang ini. Kala itu hanya 2 kapal yang beroperasi. Kapal lain berisi pasangan yang sedang sesi pre-wedding di lokasi, lengkap dengan fotografer mereka yang jumpalitan di kapal satu lagi. Pre-wedding di tempat seindah ini, tentu tak heran kami!

photo by @linapw

Tanpa banyak bicara, kami pun meloncat ke kapal dan berangkat segera! Pak Siama berada paling belakang mengendalikan motor kapalnya, saya dan Lina duduk berhadapan di tengah, dan sang anak lelaki duduk paling depan di haluan dengan heroiknya. Karena ukuran kapal yang kecil, kami tidak diperbolehkan pak Siama untuk banyak bergerak, apalagi kalau mau koprol dan joget-joget centil. Padahal saya ingin sekali duduk di haluan kapal merasakan angin semilir. Ah hidup ini gak adil!

photo by @linapw
Tak butuh waktu lama, kapal kami telah meluncur pelan membelah perairan. Rasanya romantis, kawan. Bila saja pak Siama bersedia menyanyi, mungkin rasanya akan persis naik perahu Venezia di luar negeri. Hihihi. Di sini batu karst masih jadi daya tarik utama. Bukan main, bongkah-bongkah besar karst terserak di mana-mana. Sebagian setengah muncul setengah tenggelam di perairan dengan perkasa, yang lain menyeruak akar bakau dengan gagah, dan ada pula yang menjelma dinding-dinding karst yang mempesona.

photo by @linapw
photo by @eva_bachtiar

Di beberapa titik, sungai jadi menyempit, dan kita harus menyibak tirai dedaunan sedikit. Sementara di beberapa lokasi, tampak rumah-rumah tradisional penduduk yang masih sangat asli, dengan ibu-ibu di pinggir sungai menyambung aktivitas hari-hari. Lalu sebelum kami tiba di spot tujuan, kami melewati semacam gerbang yang hanya memungkinkan satu kapal kecil jalan. Gerbang ini rupanya merupakan batuan besar bukan kepalang, yang mengapit di kiri kanan dengan langit-langit batu menggantung rendah yang mengagumkan!

photo by @linapw
photo by @eva_bachtiar

Akhirnya kami sampai di sebuah hamparan daratan, di mana sepanjang mata memandang hanya ada barisan bukit karst hitam seperti pengawal yang tinggi menjulang. Di tengah hamparan ini terdapat sebuah kolam dengan bebek-bebek lucu megal-megol berenang. Hanya ada satu dua gubuk papan dan beberapa petak sawah nampak dari kejauhan. Di sini rasanya sungguh tenang, jauh dari hingar-bingar dan keramaian. Hanya angin berdesing ringan, bebek berkicau pelan, dan air bergemericik lamban. Menyenangkan.

photo by @linapw
Sayangnya kami tak bisa lama-lama di sini karena langit tak lagi putih, sementara masih ada satu spot lagi yang hendak kami datangi. Pak Siama segera mengarahkan kapal yang kami tumpangi menuju hamparan ladang yang lain lagi. Pesonanya masih batu-batu karst hitam yang seperti ditumpah-hamburkan Tuhan di tengah-tengah kolam, dengan bentuk unik-unik nian dan ukuran bermacam-macam. Ketika kami akhirnya pulang, langit pun tlah mendung bukan kepalang dan awan menggantung hitam.

photo by @eva_bachtiar
photo by @linapw
Dengan diantarnya kami kembali ke dermaga dalam keadaan bahagia dan tak lecet satu pun jua, maka berakhir pulalah petualangan kami bersama pak Siama. Beliau ini memang tak banyak bicara, tapi ia baik hati melayani semua komentar kami berdua, yang kadang kelewat banyak tanya. Semoga penggiat wisata berbasis masyarakat lokal seperti ini bisa terus bertahan di tanah Indonesia. Sehat terus pak Siama!

photo by @eva_bachtiar
Beranjak keluar dari dermaga Rammang-rammang, hari tlah beranjak gelap, tapi saya dan Lina masih terpikat dengan karst-karst lain di kawasan Maros yang katanya cukup dashyat. Akhirnya kami sepakat, ngider-ngider dengan sepeda motor, dengan bersemangat mencari sebuah gapura bertuliskan Maros Kawasan Karst. Masuklah kami ke jalan lorong dan terus masuk ke dalam dimana di sepanjang jalan kami masih dihibur dengan karst berbondong-bondong. Karst disini memang letaknya tak terkonsentrasi, banyak tapi tersebar sepotong-sepotong. Persis permata hitam yang disebar Tuhan dengan super random.

photo by @linapw
Nah, yang ini adalah lokasi favorit saya tentu. Padang rumput hijau yang permai dan teduh. Rumput ini entah kenapa nampak miring ke satu arah, entah angin meniupnya, entah tumbuh seperti itulah memang adanya. Tapi bentuknya yang demikian rupa jadi mencipta ilusi seolah nyata, tempat tidur hijau maha luas yang seperti mengundang jiwa untuk berbaring istirahat di sana. Lalu di bagian belakangnya, potongan-potongan batu karst berderet gagah membuat saya langsung teringat pada Stone Age yang termashyur di dunia!

photo by @linapw
photo by @linapw
Dari Maros, senja sudah mulai temaram, sudah waktunya kami untuk pamitan. Konon kata ibu, tidaklah baik anak gadis keluyuran setelah maghrib datang. Terima kasih Makassar (dan Maros) yang telah memberi begitu banyak suguhan. Kini mari kita pulang, kita harus berbenah untuk persiapan esok menjelajah sudut lain Sulawesi Selatan!